BAB 2 Massa yang Marah (3)

935 Words
"Apa kalian sudah bisa berhenti melempar benda-benda ke arah kami?" Tanya Alfred was-was. "Kami melempar ke arahnya, bukan padamu, Al!" teriak seorang peri lagi dari sudut ruangan yang berlawanan. "Ya! Cukup! Cukup! Aku bilang cukup!" sergah Alfred, kedua tangannya dalam posisi bertahan; telapak tangannya menghadap ke depan, kepalanya miring ke kanan. Napasnya naik turun. "Mungkin aku sebaiknya keluar sekarang, Al." bisik Milena dari jauh. "Dan kau!" ia berbalik ke arah Milena dengan wajah super galak, telunjuknya mengacung ke arahnya. "Berhenti menghindar dari kenyataan! Berhenti bersikap menyebalkan dan keras kepala! Kali ini setidaknya kau bisa membela dirimu yang tak bersalah!" Alfred menariknya dari persembunyiannya di bawah meja. Dan lagi! Dengan cengkeraman erat. "Alfred! Kau menyakitiku!" rintihnya kesakitan. "Tahan sejenak! Sekarang jelaskan pada mereka kalau bukan kau pelakunya!" perintahnya galak. Grace yang melihat tatapan Frida yang nanar, meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. Frida tersentak kaget. Grace hanya tersenyum kecil dan berbisik, "sabarlah." "Terima kasih." Bisiknya terharu. "Kalau bukan kau pelakunya, lalu siapa?" Gustraf maju ke depan, di tangannya tergenggam sendok sup besar. Milena berjengit melihatnya. "Jelaskan pada mereka!" Alfred menarik tangan Milena lebih kuat dari sebelumnya, takut jika Si Peri Pemarah itu kabur tanpa penjelasan. "Baiklah! Tapi bisa kau lepaskan tanganku?" pinta Milena galak. Alfred hanya menggelengkan kepala dengan tegas. "Baiklah! Aku akan cerita!" dia memutar bola mata. "Dan kami akan dengarkan!" ucap Gustraf sungguh-sungguh. "Aku janji tak akan ada yang melemparimu lagi kali ini. Ia memandang galak pada seantro ruangan. Rata-rata mereka hormat pada Gustraf, jadi mereka hanya mengangguk setuju. "Yah… Baiklah. Boleh aku duduk?" Tanya Milena waspada. "Silahkan!" Gustraf mengangguk setuju. Milena meraih kursi terdekat dan duduk agak jauh dari mereka. Alfred duduk disampingnya. "Jadi…"Katanya memulai, "sebenarnya aku sedang marah, seseorang dengan sengaja melempari kepalaku dengan buah arbei saat aku tidur siang tadi..." Milena mengerucutkan mulutnya, seluruh ruangan terkikik mendengarnya, "karena tak bisa menemukan pelakunya, aku mencurigai salah satu peri pekerja yang mengerjaiku. Aku sampai seperti peri gila berbicara pada tupai!" nadanya suaranya naik satu oktaf, pengunjung kedai itu semakin menjadi-jadi saking gelinya mendengar pengakuannya. "Yeah... Dan aku berniat membalas dendam dengan mencuri tiga perempat persediaan musim dingin." Milena tersenyum menyeringai, kali ini tak ada satupun yang terkikik ataupun menertawakannya. Raut wajah mereka semua berubah merah mendidih. "Katakan sesuatu lagi, Milena!" desak Alfred, panik. "Baik! Aku belum menyelesaikan ceritaku!" Milena mengernyitkan keningnya. "Saat aku mencuri buah anggur satu persatu dari persediaan, aku mendengar seseorang sedang menggali sesuatu. Kupikir itu mungkin hanya peri tambang yang hendak memperluas ruangan untuk menampung lebih banyak buah dan biji-bijian, jadi aku terus saja dengan kegiatanku." "Berapa banyak buah yang kau curi, pencuri!" Tanya seorang peri laki-laki dengan suara dalam. "Yeah! Aku memang pencuri! Baru saja aku berniat mengembalikan buah itu, tapi kalian malah menuduhku sebagai pelakunya." Ia membuang muka. "Kenapa kau tak pernah menyebutkan soal pencurian buah?" pekik Alfred, sadar suaranya meninggi, ia mendekati Milena dgn marah, mencengkeram kedua bahunya dan berbisik pelan, "jangan memancing kemarahan mereka, katakan saja yang penting dan seperlunya. Mengerti?" matanya melotot. "Ok! Ok! Jangan melotot seperti itu! Sungguh mengerikan!" Milena menampik kedua tangan Alfred. "Aku mencuri lebih dari kurencanakan. Sisanya masih ada di tempat penyimpanan rahasiaku. Saat aku berusaha mengambil buah arbei, aku tak mendengar suara berisik peri tambang bekerja lagi, sebagai gantinya malah suara gemuruh dan retakan keras yang perlahan-lahan semakin keras dan besar. Ketika kuselidiki, aku tersapu air sungai yang masuk ke pohon persediaan hingga ke hilir. Selebihnya aku tak tahu. Aku sempat pingsan di tepi sungai, lalu saat terbangun, aku melihat kalian yang kalang kabut dengan malapetaka itu dan tertawa saking lucunya." Milena terbahak keras. Sebagian yang mendengarnya naik pitam dengan tawa Milena, tawa itu terdengar menghina. Kebanyakan mereka yang naik pitam adalah dari peri-peri pemetik buah. "Jadi, maksudmu, kau menuduh peri dari divisi pertambangan sebagai penyebab tragedi ini?" ucap Gustraf berang, maklum, sepupunya bekerja sebagai peri tambang. "Kenapa kalian masih menyebutnya sebuah tragedi? Malapetaka? Bukankah kalian berhasil mengumpulkan nyaris semua buah dan biji-bijian yang hanyut? Kurasa sebagian lagi tenggelam ke dasar sungai. Sayang sekali." Kata Milena dengan irama yang cepat, ia mengelus-ngelus dagu dan keningnya mengernyit. "Hentikan tingkah lakumu yang kurang ajar itu. Kau bohong! Mana ada penjahat yang mengaku!" tuduh Lucinda, seluruh tubuhnya gemetar mengatakan hal itu sekuat tenaga. "Mana bisa kau menuduh divisi pertambangan dalam hal ini." Gustraf terlihat tegang. "Aku tak menuduh! Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya yang terjadi!" pekik Milena, kesal. "Apa kau serius? Coba kau ingat apa yang sebenarnya yang terjadi? Jangan menarik orang lain dalam hal ini, Milena, kumohon!" Alfred tampak lesuh mendengar pengakuan Milena. "Apa? Kau menyuruhku untuk mengatakan yang sebenarnya, Al! Dan kau tak percaya? Seorang pembuat onar yang sedang berkata jujur! Demi, bunga Lily! Siapa yang percaya hal itu?" Milena mendengus kecewa. "Kurasa memang percuma memberikan penjelasan pada massa yang sedang marah, Alfred, mereka tak akan mendengarkan apapun, selain melampiaskan amarah mereka." Milena menyindiri kata-kata Alfred sebelumnya dan memberikan tekanan khusus pada nama teman semasa kecilnya itu. Alfred ternganga mendengarnya. Milena memutar bola mata dan berbalik meninggalkan kedai itu. Mereka semua terdiam, beberapa di antaranya hanya memandang lantai yang kosong, Gustraf menelan ludah dan tak tahu harus berkata apa-apa. "Bagaimana dengan pihak kerajaan? Apa mereka sudah memutuskan sesuatu terkait kejadian ini?" Alfred terduduk lesu di kursi, kaki dan sayapnya terlalu lemas untuk mengejar Milena setelah mendengar kata-kata tersebut. "Pihak kerajaan belum memutuskan sesuatu, tapi para penduduk desa sudah menyimpulkan bahwa pelakunya adalah Milena. Mereka memaksa pihak kerajaan mengasingkan Milena dari desa kita. Sepertinya gelar keturunan legendaris sudah tidak mempan lagi kali ini." Terang Grace tanpa emosi sedikitpun dalam nada bicaranya, ia terlihat santai dengan melipat tangan di d**a, cuek. "Mimpi buruk…" gumam Alfred, wajahnya pucat pasi.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD