BAB 3 Cermin Kejujuran (1)

1140 Words
Bencana yang menimpa mereka bukanlah hal yang bisa ditolerir lagi. Kasak-kusuk menyebar ke seantero hutan itu—topiknya tentu saja Milena. Siapa lagi? Tiga hari berlalu semenjak insiden itu, gerakan gelombang penentang Milena secara perlahan semakin besar dan semakin lantang bersuara di publik. Massa yang setuju dengan propaganda pemboikotan Milena hari demi hari semakin meningkat, disusul gerakan pemboikotan pada peri cantik itu, puncaknya adalah aksi protes keras mereka pada hari di mana pihak kerajaan mengumumkan pengumuman penting. Penduduk desa berbondong-bondong menuju ibukota—nyaris semua kalangan peri yang ada ikut dalam aksi itu. Mereka ramai berdesak-desakan di jalan sambil memegang papan bertuliskan: - Usir Milena! - - Penjarakan Milena! - - Asingkan Milena ke hutan terlarang! - - Cabut hak sayapnya! - Dan masih banyak lagi kata-kata yang tak suka kehadiran Milena di desa itu. Beberapa peri terbang dengan tak sabaran menuju ibukota dengan spanduk super panjang dan super besar. Mereka mengumpulkan nyaris semua tanda tangan (atau cap jempol ajaib) penduduk desa—mungkin hanya Alfred saja yang tak melakukannya, ia menghindar sebisa mungkin dari kedua orang pembawa spanduk tersebut. Alfred berjalan lunglai di barisan paling belakang, tak bersemangat. Rencananya untuk membuat Milena berbaur dengan yang lain kini gagal total. Keadaan saat ini membuat temannya itu tak meragukan pendapatnya lagi. "Ada apa denganmu? Jangan katakan ini karena peri pemarah tak jelas itu." Grace menyikut Alfred. "Bisa tidak kau diam!" Alfred memukul jidatnya sendiri. "Aku pusing tujuh keliling." "Dasar bodoh!" ledek Grace, ucapnya tak peduli lalu terbang menuju spanduk besar tadi, ikut-ikutan dalam pawai demo besar-besaran itu. "Kau yakin kau tak apa-apa?" Frida menyentuh bahu kanannya, tampak mencemaskan teman kerjanya itu. "Ah, iya, aku tak apa-apa, " ia tersenyum kecut, "aku hanya tak tahu harus berbuat apalagi." desahnya pelan. "Yaaaahhh… Hmmm... aku yakin mereka tak akan menghukumnya tanpa bukti begitu saja, kan?" Frida berusaha agar kata-katanya tak membuat Alfred semakin tak bersemangat. "Yeah, kau benar." Alfred tersenyum sedikit cerah dari sebelumnya. Pihak kerajaan tak bisa begitu saja menuduh Milena tanpa bukti. Sebuah lilin harapan kecil menyala dalam hatinya saat itu juga. *** Di saat semua peri menuju ibukota dengan segala macam emosi di benak mereka, Milena masih tertidur nyenyak di atas bekas sarang burung yang telah disulapnya menjadi tempat tidur kesukaannya—ia membiarkan sang burung membuat sarang pada mulanya dan mengusirnya ketika sarang itu siap untuk dihuni. Sangat licik, huh? Tuduhan yang diarahkan padanya sama sekali tak dipedulikannya. Ia tak bersalah, kenapa harus repot-repot memikirkannya, bukan? Lagipula mereka tidak kehilangan semua persediaan mereka! Untuk menghindari warga yang marah dan kesal, beberapa hari belakangan ini ia sibuk berkeliling di hutan sampai terasa lelah; mencari-cari hal baru atau sekedar berpetualang seberapa jauh ia bisa terbang seharian. Selain itu, percuma juga berbicara sampai mulutnya berbusa kalau bukan dialah pelakunya. Toh, mereka tetap tak akan percaya. "Kenapa kita yang harus mengawasi jalan utama? Sial sekali!" gerutu peri laki-laki berwajah tirus yang terbang di dekat sarang tersebut. "Yeeeah... karena kita adalah peri penjaga, bodoh! Tugas kita adalah mengawasi jalan utama agar tak ada peri i***t yang menyelinap di saat yang lainnya berkumpul di ibukota." Seorang peri lain di sampingnya menjawab dengan nada menggerutu. Tubuhnya gempal dan pendek. "Tapi, ini membahayakan jiwa kita! Kau tak dengar kalau penyihir jahat itu suka mengoleksi peri-peri dalam toples , dan diawetkan!" lengkingnya hingga membuat Milena tersentak bangun dari tidurnya. "Lalu kenapa kau mendaftar sebagai peri penjaga sedari awal? Hentikan keluh kesahmu itu! Telingaku sakit mendengarnya!" bentaknya galak. Wajah Milena kusut dan merah seperti tomat rebus. Terlihat kesal. Dalam hati ia berpikir, tak bisakah setidaknya ia mendapat tidur yang nyaman setelah semua fitnah yang ia peroleh? Ditegakkannya badannya dan menunduk dari balik sarang, dari kejauhan terlihat dua peri berseragam penjaga terbang menuju jalan utama. Tak biasanya ada peri penjaga di hari-hari seperti ini di hutan, apa yang terjadi? Pikirnya penasaran. Milena mengikuti kedua peri penjaga tersebut dari jarak aman, ia berniat membalas dendam. Sepanjang jalan, ide-ide jahil bermunculan di otaknya, menimbang-nimbang mana yang layak untuk dieksekusi, akan tetapi hal itu perlahan lenyap dari benaknya ketika mencuri dengar perkataan mereka. "Sungguh tak apa-apa hanya kita berdua yang bertugas di jalan utama? Kau tak berpikir kita terlalu sedikit? Bagaimana jika penyihir itu muncul dan menangkap kita?" peri berwajah tirus itu menggigil membayangkan segala macam siksaan yang diberikan oleh sang penyihir padanya. "Dari tadi kau terus mengeluh! Mana kehormatanmu sebagai seorang peri penjaga? Sungguh memalukan!" Peri satunya lagi memasang wajah tampak jijik pada pasangan kerjanya itu. "Aku lebih memilih kehormatanku dijual, ketimbang harus mati mengering dalam stoples pajangan di ruangan gelap dan pengap milik penyihir itu." Ia bergidik ngeri, pikiran tidak-tidak muncul dalam bayangannya. Milena berhenti sejenak dari aksi menguntitnya itu. Punggungnya disandarkan pada sebuah batang pohon besar, mengelus-ngelus dagunya, berpikir. "Penyihir kegelapan, eh?" ucapnya dengan nada penasaran. "Aku tak sempat memperhatikan masalah ini sebelumnya karena sedang marah. Jadi, rumor itu benar adanya, kenapa pihak kerajaan masih diam atas hal ini? Apa yang sebenarnya yang terjadi?" ia mengernyitkan kening. Milena lalu mengintip kembali, kedua peri tadi sudah berada cukup jauh dari jangkauan pendengarannya. "Darimana kau tahu hal itu?" Tanya si peri berwajah tirus tadi. Milena berada dalam posisi terdekat dan aman, ia mengepakkan sayapnya dua kali lipat dari biasanya guna mengejar ketinggalan. "Cepat sekali mereka terbang!" omelnya lebih kepada dirinya sendirinya. "Tanpa sengaja aku mendengarnya saat aku jaga malam di dekat ruangan terlarang itu. Seorang peri bodoh kelepasan bicara tanpa melihat sekitarnya." Dia terkekeh. Milena terbang lebih dekat tanpa ia sadari. "Jadi, maksudmu penyihir itu memiliki cermin kejujuran yang telah dicurinya dari dunia peri, begitu?" peri berwajah tirus itu terkejut bukan main. "Sungguh beruntung benda mengerikan seperti itu dicuri, aku tak mau semua hal tentang diriku terbuka keluar." "Kau itu bodoh atau apa?" ia memukul belakang kepala peri itu, dan berkata lagi, "kau bukan penjahat, kenapa mesti takut dengan benda semacam itu. Atau jangan-jangan kau sudah melakukan hal yang melanggar hukum?" matanya menyipit tajam. "Apa kau bilang? Aku tak pernah melakukan hal semacam itu! " ia berjengit, "hanya saja aku sering tertidur di saat berjaga, jika pihak kerajaan menggunakannya sebagai alat menguji kesetiaan kita, maka tamatlah riwayatku! Keluargaku mau makan apa? Jatah dari pihak kerajaan hanya untuk makan malam! Kami mau makan apa untuk pagi dan siangnya?" "Kalau begitu sebaiknya kau bersungguh-sungguh dengan pekerjaanmu! Dasar payah!" tukasnya kesal. Cermin kejujuran? Pikir Milena sejenak. Dua kata itu menarik perhatiannya. Matanya mengerjap cepat, ia kini terbang lebih dekat dari hanya sekedar menguntit. "Aku benci tugas jaga selain di dalam istana." Keluh peri berwajah tirus itu. "Yah! Dan aku benci kau mengeluh sepanjang jaga bersamaku!" pekik peri satunya, telinganya mulai panas mendengar ocehan dan keluhan rekannya. "Baiklah! Baiklah! Aku akan diam!" katanya, cemberut. Mereka akhirnya diam satu sama lain. Si peri berwajah tirus itu tak mau lagi membuat rekannya mengomel tak ketulungan, ia hanya menelan ludah setiap kali ia hendak berbicara, sungguh sulit, tapi akhirnya ia diam seribu bahasa. Dan Milena tak menyukai keadaan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD