BAB 3 Cermin Kejujuran (2)

1059 Words
Milena menunggu cukup lama untuk mendengar kelanjutan percakapan mereka, sia-sia belaka, setibanya di pos jalan utama, mereka hanya sibuk meneropong dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, begitu seterusnya hingga raut wajah Milena mengkerut saking kesalnya. Ia gelisah ingin mengetahui lebih banyak mengenai cermin kejujuran. Dengan cermin itu mungkin bisa membuktikan dirinya tak bersalah kepada penduduk desa—dirinya memang tak bersalah, toh, ia menceritakan hal yang sesungguhnya terjadi! Sebenarnya Milena tak peduli mereka menuduhnya atau tidak, tapi ia ingin melihat wajah super bersalah mereka padanya. Dan itu adalah sebuah kemenangan besar! Sangat menghibur hati! Sungguh memuaskan! Ia bisa mengolok-olok para penduduk desa yang berpikiran sempit dengan nada sombong setiap kali mereka berpapasan di jalan nanti. Untuk merealisasikan rencananya itu, ia butuh informasi lebih banyak mengenai cermin itu dan bagaimana mendapatkannya dari sang penyihir yang entah siapa. Milena berpikir keras selama sisa pagi itu, pikirannya sibuk berputar mencari berbagai macam cara agar kedua peri itu kembali berceloteh, namun tak satupun ide bagus menghampirinya. Seekor burung terbang melintas di atas pohon yang dijadikan tempat persembunyiannya, dari jauh ia melihat seekor capung berusaha menghindar dari kejaran burung itu dengan cara berbaur ke dedaunan yang masih hijau. Aha! Dia mendapat sebuah ide cemerlang! Senyumnya menyeringai lebar. *** "Baiklah! Diam!" teriak seorang peri laki-laki berjanggut, kedua telapak tangannya menghadap ke kerumunan yang kian padat dari menit ke menit. Ia berdiri di atas podium, berdeham sejenak, lalu memperbaiki letak kacamatanya, lirikannya menyapu pandangan di depannya dari kanan ke kiri. "Dengarkan baik-baik!" lanjutnya dengan nada yang setengah dibuat-buat. "Pihak kerajaan tahu apa yang kalian rasakan terhadap kejadian kemarin. Takut! Panik! Horor! Merana! Dan putus asa menjadi satu dalam benak kalian! Beruntunglah kita, demi sang hutan yang bijak, terima kasih—" ujung kalimatnya mengecil, terdengar seperti berbisik, lalu menundukkan kepala serta menutup mata dengan khidmat. "Terpujilah hutan yang bijak... " gumam mereka nyaris serentak, mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh pria di podium tadi. "Setelah perundingan yang panjang dan penyelidikan brutal. Hari ini—" Dia berhenti sejenak untuk menghela napas napas. "Akan ada dua pengumuman penting untuk kalian! Dan sayang sekali semuanya berita buruk. Maafkan aku." Ia mengalihkan pandangan matanya dari kerumunan, gelisah. Peri-peri itu mulai ribut-ribut satu sama lain, suasananya nyaris kacau dengan berbagai macam nada erangan yang bergejolak. "Diam!" teriak peri berjanggut tadi, kali ini ia memasang wajah super tegas, berusaha mengendalikan situasi, dan itu berhasil, mereka kembali menaruh perhatian padanya, tak ada yang berani bersuara. "Aku tahu apa yang aku sampaikan adalah kabar tak menyenangkan. Kurasa akhir-akhir ini desa kita mengalami hal yang buruk, selain Milena tentunya...." suaranya mengecil ketika menyebut nama itu, para peri beruhu keras dan rata-rata mereka berpura-pura muntah karena jijik. "Baik! Pertama yang akan aku sampaikan adalah bahwa pelaku kejadian kemarin belum jelas. Maafkan kami, peri-peri yang baik! Pihak kerajaan tak bisa mengabulkan keinginan kalian tanpa bukti kuat yang mendukung." Ia menyeka keringat dari dahinya, peri-peri yang mendengarnya memasang wajah kecewa dan duka yang mendalam—ini lebih buruk dari sebuah acara pemakaman bagi desa tersebut. Alfred tiba-tiba saja memiliki rona wajah yang cerah, senyum lebar mengembang di wajahnya, tanpa tedeng aling-aling ia memeluk Frida yang sontak kaget mendapat perlakuan seperti itu. Grace hanya syok, mulutnya menganga lebar, "ini buruk!" desisnya kepada dirinya sendiri, "gadis itu kini memiliki harapan lebih tinggi dari sebelumnya!" "Yeah… Lihat itu... wajahnya tersipu malu seperti seorang putri bermartabat tinggi. Itu membuatnya tampak lebih cantik." Timpal Lucinda, puas. "Kau tahu?" Grace menelengkan kepalanya ke kanan. "Hell, yeah! Seluruh desa bisa melihatnya dengan jelas! Cinta segitiga! Klasik!" Lucinda mendengus pelan. Grace hanya memutar bola mata dan mendesah pelan. "... jadi begitulah. Akan tetapi, ada yang perlu aku umumkan lagi mengenai pelakunya. Terlepas Milena bersalah atau tidak, ia tak boleh berkeliaran bebas di luar sana, mungkin ia tak ada di sini sekarang, maka aku harap kalian memberitahukan padanya…" belum selesai ia melanjutkan kalimatnya, mereka mulai mengeluh, "… bahwa jika ia bersedia tak melakukan perbuatan mengacau sampai matahari terbenam, pihak kerajaan mencabut tuduhan yang diarahkan padanya." Kali ini keluhan yang membahana seantero podium lebih keras dari sebelumnya. "Aku tahu! Aku tahu! Aku juga berpikir ini tidaklah adil! Namun, seburuk apapun perilaku Milena, keadilan tetaplah keadilan! Jika ia tak bersalah, maka keadilan harus ditegakkan. Ingat! Kita adalah peri-peri baik. Peri pekerja yang senantiasa bernyanyi dan bersuka ria bersama-sama, bukannya malah menghakimi seseorang sebelah mata. Jangan lupakan itu!" Dan kata-kata terakhir itu membungkam mereka. "Akhirnya keajaiban datang juga! Ini kesempatan baik untuk Milena!" Alfred mengguncang kedua bahu Frida. Dia sangat bersemangat, tapi tidak dengan Frida, meski ia tersenyum manis, hatinya sungguh sakit berpilin-pilin. "Yup! Patah hati!" komentar Grace singkat. Lucinda mengangguk setuju. Mereka berdua melihat pemandangan itu dengan tatapan naas. "Kalau begitu aku akan memberitahu kabar baik ini padanya! Aku yakin dia pasti masih tertidur di sarangnya!" Alfred hendak terbang meninggalkan kerumunan itu, tanpa diduga Frida menarik tangannya hingga nyaris membuatnya tersungkur ke tanah. "Frida!" serunya terperanjat kaget. "Itu bisa menunggu! Kau bilang ia masih tidur, bukan? Sebaiknya kau dengar pengumumannya sampai habis. Mungkin saja ada hal bagus tambahan untuknya." Frida berusaha terdengar perhatian, namun kedua peri yang dari tadi memperhatikan mereka tahu betul kalau Frida hanya berusaha menahan kepergian Alfred. Mereka hanya bisa menghela napas panjang dan memutar bola mata. "Ah! Kau benar juga!" Alfred menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, tersipu malu. Frida diam-diam tersenyum penuh kemenangan. Mereka lalu kembali memusatkan perhatian pada peri berjanggut tadi. "Maka karena itu, status Milena saat ini bukanlah pelaku, dia akan mendapat status sebagai saksi. Selebihnya akan kita lihat perkembangannya ke depan." ia terdiam, melempar pandangan dengan mata setajam silet jaga-jaga ada yang protes kembali dan membuat ricuh. Suasana hening, ia berdehem beberapa kali lalu tiba-tiba saja menjadi lebih serius. "Kali ini adalah pengumuman yang lebih penting. Jika beberapa di antara kalian akhir-akhir ini telah mendengar rumor mengenai penyihir kegelapan berkeliaran di jalan utama, " dia terdiam, "itu benar adanya." Suaranya terdengar tercekat, tenggorokannya kering, dan bulu kuduknya merinding. Peri-peri yang mendengar pengumuman itu, menarik napas panjang dengan kedua bola mata melotot—kaget, panik, linglung, semua menjadi satu. Wajah mereka berubah pucat pasi, seolah-olah roh mereka telah direnggut seketika itu juga. Penyihir merupakan hal yang tabu dalam dunia peri, terlebih lagi penyihir kegelapan yang menjadi momok menakutkan. Beberapa di antara mereka ada yang mulai menangis, berteriak minta tolong, dan ada pula yang mematung. "Berhenti bersikap seperti orang gila!" teriak peri berjanggut itu untuk kesekian kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD