BAB 3 Cermin Kejujuran (3)

1164 Words
Usaha Si peri berjanggut kali ini gagal. Ia tak mampu mengendalikan massa yang panik seperti sebelumnya. Kebingungan, ia pun ikut-ikutan berteriak panik, berjalan mondar mandir tak tentu arah hingga membentur dahan rendah yang menjulur di dekat podium, pingsan. "Ini resmi! Sudah resmi!" Alfred tampak kalut bukan main, ia mengkhawatirkan Milena yang entah masih tertidur atau kini tengah menjelajahi hutan sendirian. Ia berpusing seperti gasing di tengah kerumunan yang panik. Plak! Frida menamparnya tanpa ragu. "Tenangkan dirimu!" bentaknya tegas. Alfred melongo keheranan. "Baru saja kau menamparku?!" Katanya bingung, entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan yang terlontar dari mulutnya. "Ya! Aku baru saja menamparmu! Sadarlah! Kau seperti orang gila! Milena pasti baik-baik saja! Ada apa denganmu? Memalukan!" desisnya marah, mata menyipit tajam. "Frida..." ia mengerjapkan mata tak percaya, baru kali ini Frida begitu terang-terangan memperlihatkan emosinya. Kedua rekan mereka juga ikut-ikutan tak percaya, mereka sampai tersentak kaget dan nyaris jatuh terjengkang ke belakang. "Aku, aku…" Alfred kehilangan kata-kata, terdiam. Bola mata Frida membesar, ia baru sadar apa yang dilakukannya dan buru-buru minta maaf. Dari kejauhan, kedua temannya seperti menonton drama panggung tanpa suara, mereka menggeleng-gelengkan kepala, mulut mengerucut. Entah apa yang dikatakan oleh Frida, Alfred tampak kecewa dan terbang meninggalkannya yang kini mulai menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya. *** "Tolong aku! Tolong aku!" Teriak Milena yang muncul di depan pos jaga, ia memasang wajah ketakutan yang meyakinkan. Oh! Milena sangat jago berakting! Ia memegang bahu kirinya yang seolah-olah memar terkena hantaman benda tumpul—hanya bubuk pewarna sebenarnya. Lalu ia berpura-pura terjatuh di depan pos jaga, napasnya dibuat pendek-pendek. "Oh! Astaga! Kenapa kau bisa berada di sini? Semua peri berada di ibukota mengadakan aksi demo! Apa kau gila berkeliaran sendirian di sini? Untung saja kau bertemu kami!" rekan kerja peri berwajah tirus tadi segera membantunya berdiri dan menyandarkannya setegak mungkin. "Ada apa? Apa kau melihat penyihir kegelapan?" peri berwajah tirus itu gemetar ketakutan. "Benar juga! Apa kau dikejar oleh penyihir kegelapan?" ia meraih tombaknya dalam posisi siaga. "Penyihir kegelapan?" Milena pura-pura terperanjat kaget. "Apa maksud kalian?" "Apa? Apa ini? Kau tak dikejar oleh penyihir kegelapan?" Peri itu terdengar kecewa, tombaknya diturunkan dengan gerakan lesu. "Bukan penyihir, lalu apa?" peri berwajah tirus itu mendekat, menelan ludah gugup. "Namaku Danine, aku adalah peri yang baru saja pindah dari hutan sebelah. Kalian tahu? Yang ada danau emeraldnya yang luas?" ucapnya tanpa ragu sedikit pun, mereka menelan sandiwara Milena bulat-bulat. "Aku baru saja tiba di sekitar sini beberapa jam lalu, saat aku beristirahat tak jauh dari sini, aku mendengar sesuatu dari balik semak-semak, lalu sebuah bayangan gelap besar berkelebat entah darimana!" Milena menggambarkan sosok besar itu di udara dengan kedua tangannya. "Sebesar ini! Lebih besar malah!" Milena nyaris menjerit histeris. Peri tirus tadi berteriak tanpa sadar. Itu membuat peri satunya terkejut. "Berhenti berteriak!" lengkingnya marah, lagi-lagi ia memukul belakang kepala rekannya itu. "Maafkan aku, tapi aku baru di hutan ini. Penyihir adalah hal yang tabu di dunia peri, bukan? Ada apa sebenarnya?" Milena berpura-pura keheranan, suaranya dijaga sekecil mungkin. Mereka berdua tampak diam dan mulai gelisah. "Biar aku yang jelaskan." Ia memberi isyarat pada peri berwajah tirus agar tak buka mulut. "Dan siapa kalian?" Tanya Milena lagi. "Tahan pertanyaanmu, anak muda, Aku akan menceritakannya!" ia menyetop Milena dengan telapak kanannya, ia menarik napas dalam, kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi padanya, dimulai dengan sejarah peri-peri menghilang dan dijadikan hiasan stoples di rak-rak penyihir hingga nasibnya dipasangkan dengan peri berwajah tirus di sampingnya sebagai rekan kerja hari itu. "Oh! Sungguh mengerikan! Aku tak tahu ada sejarah seperti itu!" satu tangan menutup mulutnya, matanya dibuat seolah-olah nanar mendengar tragedi kelam itu. Dan nada suaranya terdengar sungguh-sungguh prihatin, namun semua itu hanya akting belaka. Jujur saja, Ia sebenarnya tak peduli dengan sejarah tak penting macam itu, apa untungnya memikirkan hal yang sudah lewat dan berkubang dalam kesedihan? Beberapa orang memang menyebutnya peri tak berperasaan, toh, ia sudah terbiasa dengan cibiran para peri. "Yeah! Mengerikan!" seru peri berwajah tirus itu, mengangguk cepat. "Dan ia punya cermin kejujuran!" tambahnya lagi, suaranya berbisik seolah hutan akan mendengar apa yang dikatakannya dan menyampaikannya pada sang penyihir. Buk! Peri satunya menginjak kaki peri berwajah tirus tadi, "jangan bicara hal yang tidak perlu!" "Apa? Ada apa? Apa itu cermin kejujuran? Apa itu senjata berbahaya?" Milena berpura-pura tampak menggigil ketakutan kali ini. "Oh! Tenanglah! Jangan takut seperti itu! Itu hanya cermin yang mengungkapkan kejujuran, tak akan membunuh siapapun, "ia terkekeh. "Yeah, jika yang menggunakannya adalah orang baik-baik." imbuh peri berwajah tirus itu, sarkastik. "Diam, Spicklose!"bentaknya kesal. "Tapi, Bartamiel, itu benar!" Spicklose, peri berwajah tirus itu memekik tak mau kalah. "Cukup!" Bartamiel menggerakkan tangan seolah-olah menutup mulut Spicklose. "Spicklose? Bartamiel? Nama yang aneh!" Milena terkikik sembunyi-sembunyi. "Apa yang barusan kau katakan?" Tanya mereka berdua serentak. "Maaf! Jadi, penyihir ini, penyihir kegelapan ini. Dia muncul di jalan utama dan memiliki cermin kejujuran? Yang mana cermin kejujuran mampu membuat siapapun berkata jujur dan memiliki potensi lain jika digunakan secara sembarangan?" Milena berusaha mengkonfirmasinya. Mereka berdua mengangguk nyaris seirama. "Apa kalian pernah melihat cermin itu?" "Tidak, tidak. Aku bahkan tak mau membayangkannya." Spicklose cepat-cepat menggeleng. "Ah.... Aku pernah melihatnya di sebuah buku, bentuknya cukup besar, melebihi tinggi rata-rata peri yang ada, dan katanya dilapisi campuran perak yang tak pernah ada sebelumnya. Ada sebuah batu rubi biru yang terpasang di puncak tengah cermin. Sangat indah di buku yang aku lihat, pasti lebih indah lagi melihat aslinya." Ungkapnya dengan nada terpesona. "Artinya aku tak bisa membawanya kemana-mana kalau begitu." Keluhnya, setengah berbisik. "Maaf, kau mengatakan sesuatu, anak muda?" "Bukan apa-apa." dia tersenyum lebar. "Jadi, cermin ini sekarang dimiliki oleh penyihir kegelapan yang dirumorkan itu?" "Yeeeah... Soal itu, aku juga kurang tahu. Ada banyak penyihir yang telah mencoba mencuri harta dunia peri, kecil kemungkinan dia yang memiliki cermin itu. Kita tak tahu penyihir kegelapan mana yang memilikinya. Spicklose hanya asal bicara. Jangan dengarkan dia." Bartamiel melotot pada peri berwajah tirus itu. "Oh…" kepala Milena tersentak ke belakang dengan kening bertaut, rencananya tidak sesuai apa yang dipikirkannya. "Jadi, apa kau pekerja baru di hutan ini?" Tanya Bartamiel penasaran. "Yeah. Bisa kau beritahu aku jalan menuju desa?" pintanya memelas. "Kau ikuti saja jejeran pohon di belakang sana," Bartamiel menunjuk jalan terbuka di belakang Milena, "akan ada sungai tepat di ujungnya, ikuti saja asal airnya mengalir, kau akan melihat papan nama desa di sekitar sana." "Baiklah. Kalau begitu, kalian berhati-hatilah!" Ia meraih tangan Bartamiel, menggenggamnya dengan kuat, berkata dengan nada sungguh-sungguh. "Terima kasih. Itu sudah tugas kami, anak muda." Ia tersenyum nyaris menitikkan air mata haru. "Hati-hatilah di jalan, aku yakin kau akan menyukai desa kami!" teriak Spicklose pada Milena yang kini terbang sedikit demi sedikit menjauh dari mereka, ia melambaikan tangan dengan sapu tangan berkibar-kibar di udara. Milena terkekeh melihatnya, lalu menatap ke depan, wajahnya tiba-tiba datar, "dasar peri-peri penjaga yang aneh, apa yang mereka lihat, sih?" gerutunya kesal. Ia mengangkat sebuah kantongan kain kecil berwarna ungu, mengguncangnya seraya berkata dengan penuh kemenangan, "debu penyamaran, membuat siapapun akan melihat apa yang ingin mereka lihat! Sungguh sangat berguna!" setelah berkata demikian ia terbang menuju tepian sungai. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD