BAB 4 Tekad Milena (1)

802 Words
Alfred terlihat kurang senang, wajahnya kusut dan ia terbang sempoyongan. Ia masih kaget dengan pengakuan Frida barusan. Peri perempuan itu menyukainya? Bagaimana mungkin hal itu sampai terjadi? Ia tahu orang-orang tak mengendalikan perasaan mereka sendiri, seperti yang dialaminya terhadap Milena, namun, kenapa mesti dia? lelaki yang disukai Frida? Rekan kerjanya sendiri dan sudah dianggapnya sebagai keluarga? Sangat membingungkan, entah bagaimana ia akan menghadapi Frida nantinya. Tiba-tiba saja ia memikirkan skenario itu terjadi padanya dan Milena, bagaimana reaksi peri perempuan itu jika ia menyatakan cintanya? Sudah banyak peri laki-laki patah hati dan cintanya diinjak-injak oleh Milena seolah bukan apa-apa, mirip daun-daun kering bertebaran di jalan. Bagaimana hubungan mereka selanjutnya? Apakah Milena masih akan menganggapnya sebagai teman semasa kecil? Atau sama seperti pria lainnya yang telah mengaku? Ia menggelengkan kepala, bukan saatnya untuk memikirkan hal tersebut, ia memacu sayapnya lebih cepat, keselamatan Milena jauh lebih penting saat ini. Sarang Milena berada di atas pohon yang cukup tinggi, jadi ia tak bisa tahu dari kejauhan apakah peri pemarah itu masih tertidur atau tidak, ia melesat tajam ke atas cabang pohon tersebut dan mendarat di tepi sarang. Tempat tidurnya berantakan, ia memeriksa kalau ada hal yang mencurigakan terjadi, namun pemandangan itu sama seperti hari-hari biasanya, terbengkalai jika ia sudah menemukan hal yang menarik perhatiannya. Alfred berjalan pelan menuju rumah pohon Milena—sebuah lubang di batang pohon tersebut, isinya minimalis dan lebih rapi dari sarang Milena di luar. "Oh, tidak. Kemana perginya dia?" Alfred menepuk jidatnya dengan helaan napas berat. Karena tak menemukan Milena baik di sarangnya, maupun di rumah pohonnya, ia memutuskan menuju jalan utama. Jika pihak kerajaan memutuskan pengumuman resmi terkait penyihir itu, maka seharusnya ada penjaga perbatasan sementara di sana. Ia melesat bagaikan peluru, menerobos cabang-cabang pohon yang mulai mengering, menunduk dan memutar di semak-semak belukar tanpa berpikir panjang hingga membuat pipi kirinya tergores. "Halo, selamat pagi menjelang siang!" sapa Alfred, terkekeh. Spicklose dan Bartamiel terkejut. "Apa? Kau juga peri dari hutan lain?" sindir Bartamiel sarkastik, matanya menyipit tak senang. "Apa? Apa maksudnya itu? Aku dari desa. Aku sedang mencari seorang teman." ia terkekeh kembali. Sesaat suasana menjadi hening. Detik berikutnya Alfred menyadari sesuatu, ia membeku. Dengan mulut menganga lebar, panik mulai menyerangnya. "Jangan bilang kalian baru saja bertemu peri baru pagi ini?" "Ya! Dia sungguh anak laki-laki yang malang, baru tiba di hutan ini sudah menghadapi hal yang menakutkan, tapi aku kagum, dia sungguh pemberani." puji Bartamiel. "Kau bicara apa? Dia anak perempuan yang cantik! Matamu rusak, ya?" ledek Spicklose. "Apa? Kau tak bisa membedakan laki-laki dan perempuan? Jelas-jelas dia itu anak laki-laki, hanya karena rambutnya sedikit panjang, bukan berarti dia itu perempuan. Dasar bodoh!" Ucapnya dengan nada naik satu oktaf. "Tapi, Bartamiel! Dia itu perempuan! Wajah secantik itu, masa laki-laki, sih? Mana ada laki-laki normal berpakaian perempuan berkeliaran di hutan!" Belanya lagi, sorot matanya terlihat bingung. "Ya, ampun!" Alfred menepuk jidatnya untuk kesekian kalinya. "Debu penyamaran! Milena! Astaga!" "Apa? Debu apa?" Tanya Bartamiel penasaran, beringsut mendekat. "Kalian tak salah. Itu adalah Milena yang menggunakan debu penyamaran. Debu itu membuat kalian melihat apa yang ingin hati kalian lihat." Kedua bahu Alfred memelas. "Apa? Milena? Mustahil?" Kepala Bartamiel tersentak ke belakang, kaget. "Oh! Debu penyamaran! Aku tahu tentang debu itu! Pantas saja! Ya, ya, ya! Aku memang ingin punya anak perempuan yang cantik, makanya aku melihatnya sebagai anak perempuan!" Kepalan tangan kanannya memukul telapak kirinya, bola mata membesar. "Apa? Apa ini? Apa karena aku ingin menjadi panutan bagi semua anak laki-laki, makanya aku melihat dia sebagai anak laki-laki?" "Oh! Bagaimana ini! Cermin kejujuran! Kita menceritakannya tentang cermin itu!" rona wajahnya berubah seperti hantu. "Cermin kejujuran?" kata Alfred, mengeryitkan kening. "Yeah! Cermin yang membuatmu jujur, sejujur-jujurnya! Dan bisa berbahaya jika jatuh di tangan yang salah!" Spicklose sengaja mengucapkannya dengan nada horror dibuat-buat, tangan kanannya bergerak-gerak bebas di udara. "Apa yang kalian ceritakan pada?" Tanya Alfred gelisah, tenggorokannya seakan tercekat. Ia memikirkan sebuah skenario terburuk. "Oh, Soal itu... " Baratamiel berdeham, lalu ia mulai menceritakan kembali kisah cermin kejujuran itu. Alfred tampak kalut, namun berusaha menguasai diri sebaik mungkin. Setelah beberapa menit mendengarnya, Alfred berterima kasih dan pergi mencari Milena—sebuah tempat di mana satu-satunya yang akan dituju setelah menggunakan debu penyamaran. "Apa kau memikirkan apa yang kupikirkan?" Tanya Spicklose pada Bartamiel, matanya menatap kepergian Alfred. "Hentikan bertanya hal-hal yang tak masuk akal! Aku tak tahu apa maksudmu." Gerutu Bartamiel, ia kembali pada posisi jaganya. Sebelah kening Spicklose naik sebelah, sinar matanya memancarkan ketakutan, "kau tak berpikir kalau Milena akan mencuri cermin itu, kan, dari si penyihir?" Bartamiel terbahak keras, lalu menyeringai lebar, "yeah! Kalau dia ingin misi bunuh diri. Tak ada yang melarangnya! Penduduk desa malahan akan senang!" "Bartamiel!" Bentaknya marah. Rekannya itu tersontak kaget, ia beringsut mendekat dan berkata dengan suara menggeram. "Apa kau baru saja membentakku?" "Aku tak bermaksud begitu! Tapi, pikirkan lagi! Jika dia berhasil mencurinya, apa yang akan terjadi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD