Part 4

1740 Words
Part 4   Alea berfoto selfie, memanyunkan bibirnya untuk menonjolkan bibirnya yang sensual dan cipokable. Tak lupa mengenakan gaun tidur dengan kerah yang agak rendah. Rambut panjangnya ia ikat, hingga leher jenjang dan putihnya terpampang sempurna. Misinya malam ini adalah membuat Sakha klepek-klepek melihat foto sensualnya. Seperti biasa setiap post status foto seksi spesial untuk Sakha, ia mengatur statusnya menjadi privat dan hanya Sakha yang bisa melihatnya. Ia yakin dosen sok ganteng yang memang ganteng itu akan semakin terpikat padanya. Di sudut kota yang lain, Sakha tengah mengoreksi skripsi mahasiswa bimbingannya. Belum selesai mengoreksi, ia menguap. Rasanya sangat mengantuk. Sakha berjalan ke arah ranjang. Ia duduk selonjoran sambil mengecek smartphone-nya. Ada banyak pesan masuk ke grup SMA dan rekan dosen. Ia lewati pesan-pesan yang masuk ke grup. Diceknya update status dari kontak yang ada di w******p-nya. Matanya yang sudah meredup kembali membulat dan hawa panas seketika merongrong pikirannya kala foto Alea terpajang begitu sensual dan menggoda, seolah minta dicium dan diremas. Apanya yang diremas? Sakha beristighfar berulang kali. Jika hatinya diibaratkan sebuah ruangan, dan di setiap sudut dipasang pengeras suara, maka saat ini kalimat istighfar tengah bergaung di segala sudut, saling bersahutan. Semakin ia berusaha mengenyahkan Alea dari pikirannya, nama gadis itu semakin menempel kuat seperti lintah yang tengah mengisap darah. Sebenarnya dengan semakin canggihnya teknologi digital, sangat memungkinkan untuknya melihat foto-foto perempuan seksi yang kadang berseliweran di media sosial atau ulah usil teman cowok satu grup yang kadang share foto atau video yang menampilkan adegan erotis atau foto-foto perempuan mengenakan pakaian super minim. Namun ia bisa menahan diri, bahkan keluar dari grup yang senang membagikan foto-foto atau video erotis. Dia tak suka membicarakan seksualitas di grup, bersama teman-temannya, itu sama saja melecehkan perempuan. Ketika ia melihat foto-foto seksi Alea, ia merasakan hal lain. Entah kenapa bayangan Alea terus menghantui. Sampai-sampai Alea masuk ke dalam mimpinya. Siapa yang nggak mengakui pesona Alea? Meski ia berusaha mati-matian menolak, nyatanya gadis itu selalu mengusik pikirannya. Ia selalu mengatakan Alea bukan kriterianya. Logikanya memasang sederet kriteria, tapi hatinya yang terdalam menginginkan Alea. Ia melirik kembali satu update status terbaru dari Alea. Kali ini fotonya bersama seorang cowok di coffee shop. Caption yang ia tulis berbunyi, bareng Revan. Sakha membuka matanya lebar-lebar. Ditelisiknya wajah Revan yang memang seperti yang Alea bilang, ganteng! Entah kenapa hatinya memanas, meradang melihat kebersamaan mereka. Alea selangkah lebih ke depan dibanding dirinya. Sedang dia, dirinya belum pernah dekat dengan perempuan manapun. Ia gelisah tak menentu, tak bisa tidur. Ia memikirkan Alea. Bagaimana bisa Alea begitu cepat menemukan calon dan melupakannya. Ia yakin, Alea mencintainya. ****** Esoknya di kampus, Sakha kurang bisa fokus mengajar. Pikirannya masih terus memikirkan Alea. Apalagi status terbaru Alea di w******p-nya mengatakan bahwa ia akan menonton film ke bioskop jam dua siang ini. Ia membayangkan Alea dan Revan nonton berdua dalam gedung bioskop yang gelap, lalu keduanya memanfaatkan kesempatan untuk genggaman tangan. Bahkan ia juga membayangkan Revan mencuri kesempatan untuk mencium Alea. Tidak... Tidak... Sakha tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Dia harus menyusul Alea ke bioskop. Kondisi menguntungkan untuk Sakha. Dia tak ada jadwal mengajar di jam dua. Seusai sholat Dhuhur, ia bersiap menuju bioskop. Bahkan ia tak sempat makan siang. Selain malas makan karena hatinya sudah terlanjur bergemuruh dengan serangkaian prasangka negatif, dia juga tak ingin terlambat datang ke bioskop. Ia menduga, Alea dan Revan akan tiba di sana sebelum jam dua. Sakha melajukan mobilnya menuju bioskop. Di dadanya masih berkecamuk segala prasangka. Sungguh ia tak rela, Alea jalan dengan Revan. Ia tak bisa membiarkan gadis itu dimiliki orang lain. Sakha menghentikan mobil di area parkir bioskop. Ia melihat ke arah kanan kiri, siapa tahu menemukan mobil Alea di sana. Tak ada mobil Alea. Sakha berpikir, Alea ke bioskop menaiki mobil Revan. Sakha bertambah kesal. Ia masuk ke dalam bioskop. Terlihat beberapa pengunjung tengah mengantri di loket. Sakha memicingkan matanya. Ia terbelalak menatap Alea berdiri di antrian itu. Sakha berjalan mendekat ke arahnya. Seketika tangannya mencengkeram tangan Alea dan menariknya keluar dari antrian. Alea kaget setengah mati. Ia tak menduga Sakha tiba-tiba datang dan menarik tangannya. Alea berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Sakha. Sementara teman-teman Alea yang memang janjian nonton film bareng mengernyit dan bertanya-tanya, siapa cowok yang menggandeng Alea dan menuntunnya keluar dari gedung? Di luar gedung, Alea melepaskan diri dari genggaman Sakha. “Apaan sih kamu? Aku mau nonton.” Sakha menajamkan matanya, “Kamu mau nonton bareng Revan, kan? Seenaknya banget kamu mau nonton bareng Revan. Berduaan di bioskop!” Alea mengernyit. “Yang mau nonton bareng Revan siapa? Aku mau nonton bareng temen. Aku ke sini ramai-ramai bareng teman, naik mobilnya teman.” Glek... Sakha sadar, dia telah salah menduga. Di status WA-nya, Alea hanya mengutarakan bahwa ia akan menonton bioskop jam dua siang ini, sama sekali tak menyebutkan nama Revan. Sakha terlalu takut Alea akan menonton film berdua dengan Revan di bioskop. “Kamu pikir aku akan nonton bareng Revan makanya kamu nyusul ke sini.” Sakha terdiam. Ia tak dapat menutupi rasa malunya karena salah duga. “Kamu jealous, ya?” Alea bersedekap dan tersenyum penuh arti. “Nggak,” balas Sakha lantang. “Kalau nggak jealous, kenapa nyusul aku ke sini? Kenapa ngira kalau aku ke bioskop bareng Revan?” Alea terus mencecar. Sakha tak bisa berkata-kata. Dia tak bisa menyangkal lagi. “Aku mau masuk lagi, mau nonton bareng teman,” ucap Alea. “Nggak usah nonton. Pulang aja. Aku anter,” tukas Sakha. Alea mengerutkan dahinya. Seenaknya saja Sakha mengatur-atur hidupnya. Ia menuntun Alea ke arah mobilnya. Dibukanya pintu mobil itu dan dipaksanya Alea untuk masuk. Alea hanya bisa menurut. Sakha melajukan mobil tanpa menoleh Alea yang bengong menatapnya. “Bagus banget ya, Pak Dosen, anda mengacaukan hari saya.” Alea menggeleng pelan. “Temani aku makan. Aku belum makan,” sela Sakha datar. Alea mengerucutkan bibirnya meski dalam hati ia bersorak gembira karena berhasil membuat Sakha cemburu dan salah paham. Sakha mengajak Alea makan di satu rumah makan. Pelayan mencatat apa yang mereka pesan. “Saya ayam penyet sama jus jambu,” ujar Sakha. “Kamu pesan apa?” Sakha melempar pertanyaan pada Alea. “Saya pesan ayam penyet, cah kangkung, tempe goreng, karedok, eh ada makanan favoritku juga, semur jengkol, terus minumnya jus jeruk, jangan lupa air putih juga,” balas Alea ringan. Sakha melongo. Alea pesan makanan sebanyak itu. Cantik-cantik ternyata makannya banyak. Bukan sekali ini mereka makan bersama, tapi Alea belum pernah makan sebanyak ini. “Kamu makannya banyak banget,” tukas Sakha geleng-geleng. “Mumpung ditraktir,” balas Alea ringan. Pelayan menyajikan makanan yang dipesan keduanya. Sakha sesekali mengamati cara Alea melahap makanannya. Ia terlihat begitu menikmati makanan yang terpampang di hadapannya. Apalagi saat melahap semur jengkol, lahap sekali. “Orang yang banyak makan harusnya bisa masak juga,” ujar Sakha masih menelisik cara Alea makan. “Aku nggak bisa masak,” Alea menimpali. “Aku menginginkan istri yang bisa masak,” cicit Sakha. “Itu artinya kamu ingin aku belajar masak?” Alea memicingkan matanya. “Itu labih bagus,” jawab Sakha. “Kenapa aku harus belajar masak? Kamu ingin aku jadi istrimu?” tanya Alea lagi. Sakha menggeleng, “Enggak...” Dia gelagapan. “Ya, sudah...” sahut Alea. “Ya sudah apa?” “Kalau kamu memang nggak ingin menikahiku, aku nggak akan mengharapkanmu. Aku akan menerima permintaan ta'aruf dari Revan.” Kata-kata Alea meluncur tegas. Sakha terdiam sesaat. Ia sibuk bermonolog di dalam batinnya. Apa ia benar-benar ikhlas merelakan Alea dipinang Revan? Apa dia siap kehilangan Alea? Rasanya ia tak sanggup. Ia benci mengakui, tapi ia sadar benar, ia menaruh hati pada gadis manja, centil, slebor, makannya banyak, dan suka semur jengkol yang saat ini masih sibuk menghabiskan makanannya. Seusai makan, Sakha mengantar Alea pulang. Sepanjang jalan keduanya lebih banyak membisu, terbelenggu pada pikiran masing-masing. Alea mengira, Sakha memang tak pernah berniat menikahinya. Ia bahkan tak merespons apapun saat ia mengatakan Revan meminta berta'aruf dengannya. Revan adalah satu laki-laki dari sekian banyak laki-laki yang mendekatinya, tapi ia selalu menjaga hati untuk Sakha. Sayangnya cowok satu itu tidak peka. Sakha bertanya-tanya dalam hati, apa Alea serius menerima ta'aruf dari Revan? Ia akui Revan bukan laki-laki sembarangan. Ia pria yang baik, mapan, dewasa, penampilan fisiknya pun rupawan. Tak terasa mereka sudah tiba di depan pintu gerbang rumah orang tua Alea. “Makasih traktirannya,” ucap Alea. Ia hendak membuka pintu mobil, tapi Sakha buru-buru mencegahnya. “Tunggu... Aku ingin nanya, kamu benar-benar ingin ta'aruf sama Revan? Apa itu artinya kamu siap menikah dengannya?” Pertanyaan Sakha membuat Alea bingung menjawabnya. Gadis itu hanya mengangguk. “Kalau tidak ada lagi yang mau menikahiku, aku akan menikah dengannya,” jawab Alea. “Jangan menikah dengannya,” tukas Sakha kemudian. Alea menaikkan alis matanya, “Kenapa?” “Karena masih ada yang mau menikahimu... Menikahlah denganku, Lea...” Sorot mata Sakha terlihat begitu tajam dan raut wajahnya menggambarkan keseriusan. “Kamu ngajak aku nikah?” Alea tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Akhirnya cowok angkuh satu itu takluk pada perasaannya. “Iya. Orang tua kita juga sama-sama merestui.” Alea tersipu. Wajahnya mendadak memerah, antara bahagia juga tersanjung. Sakha mendekatkan wajahnya. Gadis itu berdebar dan deg-degan. Debaran itu kian bertalu. Mata keduanya saling beradu. Sakha tak dapat mengontrol diri. Entah kenapa ia ingin mencium bibir ranum Alea. Bayangan ciuman panas mereka di dalam mimpi seketika menyusup dalam pikirannya. Alea semakin gugup. Begitu juga dengan Sakha. Debaran diantara keduanya kian menguat. Saat jarak mereka semakin dekat, Alea sadar dia baru saja makan semur jengkol. “Aku habis makan semur jengkol,” bisik Alea. Keromantisan yang terbangun itu pun buyar seketika. Sakha menjauhkan jaraknya kembali. Bukan karena semur jengkol yang menghentikan aksinya, tapi ia sadar tak seharusnya ia mencium Alea sebelum mereka halal. Bisa dibilang semur jengkol turut jadi andil yang membangunkannya dari kekhilafan yang hampir terjadi. Keduanya tampak kikuk, canggung, dan malu-malu. “Kamu nggak mau mampir dulu?” tanya Alea masih dengan ekspresi wajah malu-malu. “Nggak, udah mau sore... Aku mau langsung pulang...” Sakha pun terbata. “Nanti aku kabari lagi kapan aku dan orang tuaku datang ke rumahmu,” ucap Sakha seraya menoleh Alea yang masih menundukkan wajahnya. Alea mengangguk pelan. “Aku keluar dulu.” Alea tersenyum dan membuka pintu mobil. Sakha mengamati gadis itu hingga masuk ke dalam rumah. Kedua sudut bibirnya tersenyum. Ia berpikir, pernikahannya dan Alea lebih baik dipercepat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ada rasa diantara dirinya dan Alea, kedua orang tua juga sudah sama-sama merestui. Apa lagi yang ditunggu? ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD