Part 3

1734 Words
Part 3   Sakha dan Danang, teman baiknya sejak SMA memasuki rumah makan untuk janjian bertemu dengan perempuan yang ia kenal dari media sosial. Sama sepertinya, Danang tengah getol-getolnya mencari calon istri karena tuntutan keluarga. Rasanya tak enak setiap berkumpul dengan keluarga besar selalu ditanyakan kapan nikah? Calonnya dibawa kek, dikenalin. Belum lagi kalau kondangan, pertanyaan 'kapan nyusul?' seolah menjadi deretan pertanyaan lain yang tak pernah absen. Mereka duduk di salah satu sudut. Sakha mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumah makan yang menawarkan menu serba ayam ini cukup ramai didatangi pengunjung. “Orangnya belum datang juga. Jangan-jangan kamu ditipu, Nang.” “Insya Allah, nggak. Sepertinya ini gadis baik-baik. Pakai jilbab pula,” balas Danang. “Kamu sendiri gimana Kha? Kenapa nggak sama Alea aja? Daripada muter-muter nyari cewek lain tapi nggak ada yang cocok.” Danang melirik sahabatnya sementara tangannya menggenggam buku menu. “Entahlah, aku kurang yakin. Masalahnya dia bukan kriteriaku.” Sakha menghela napas. Ingatannya melayang pada mimpi bersama Alea yang kerap mengusik pikirannya. Nama gadis itu selalu menari-nari di benaknya tanpa ia minta. Ia juga teringat akan status-status w******p Alea belakangan ini yang membuat matanya terbelalak tak berkedip. Status-status tersebut selalu menampilkan foto seksi Alea. Setiap kali melihat foto itu, bayangan Alea yang begitu menggairahkan di mimpi panasnya seketika menyelinap. Ia sampai beristighfar berkali-kali karena gadis itu seakan menjelma menjadi magnet yang tak bisa lepas dari fantasi liarnya. Tiba-tiba ia berpikir, apa yang ada di pikiran Danang saat melihat foto-foto seksi Alea. Apalagi di foto statusnya yang terbaru tadi malam, Alea mengenakan gaun tidur tipis yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Dilihat bikin dosa, nggak dilihat kok sayang. “Kamu tahu sendiri, kan, Nang, di status WA aja dia berani pajang foto-foto seksi,” ucap Sakha kemudian. “Foto seksi? Aku jarang lihat update-an status Alea. Kemarin dia update status biasa perasaan. Dia foto bareng teman-temannya di rumah makan. Pakaiannya juga biasa aja.” Sakha mengernyit mendengar penuturan Danang. “Masa, sih? Tadi malam aja dia update status terbaru.” Sakha mengernyitkan alis. “Aku beneran nggak lihat.” Danang mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan daftar update status kontaknya. Tidak ada status dari Alea. Untuk memastikan, Sakha kembali membuka w******p-nya. Status Alea masih ada. “Jangan-jangan dia memprivat statusnya. Artinya hanya kamu yang bisa lihat. Terus setahuku dia jarang nyimpen kontak teman-temannya kecuali yang benar-benar dekat apalagi ada grup juga.” Sakha berpikir sejenak. Ya, mungkin saja Alea memprivat statusnya dan sengaja menggodanya dengan menampilkan foto seksinya. Kini ia paham, itu jadi salah satu strategi Alea untuk memikatnya. “Emang status apa, sih?” tanya Danang penasaran. Sakha menggeleng dan memaksakan senyum di bibirnya. “Enggak... Enggak penting...,” jawab Sakha sedikit terbata. Danang mengangkat wajahnya dan menatap dua gadis yang berjalan ke arahnya. Ia kaget saat melihat Alea berjalan beriringan bersama gadis berjilbab yang hendak ia temui. Pasalnya ia tak pernah melihat foto mereka bersama di **. Atau mungkin dia yang tidak teliti. “Danang, ya?” tanya gadis berkerudung pink. “Lho jadi cowok yang janjian ketemuan sama kamu itu Danang?” Alea menatap Danang lalu beralih mengamati Sakha yang juga terkejut melihatnya. “Lho ngapain Mr. Perfeksionis ada di sini juga?” tanya Alea sembari menatap Alea tajam. “Yang jelas bukan untuk ketemu kamu. Aku nemeni Danang,” balas Sakha sewot. “Silakan duduk, Bella dan Alea. Nggak nyangka Alea dan Bella berteman,” ujar Danang dengan senyum sumringah. Mereka duduk saling berhadapan. Sakha duduk di sebelah Danang, sedang Alea duduk di sebelah Bella. “Bella kegiatannya sehari-hari selain kerja di bank, ada lagi nggak?' tanya Danang lembut. Awal berjumpa ia sudah merasa cocok. “Aku jualan online sih, Mas. Jualan kerudung sama gamis. Aku jualan produknya butik Alea juga, dipasarin online,” jawab Bella dengan senyum ramahnya. “Bella ini dari SMP udah rajin jualan. Aku juga nyaman kerja sama bareng dia buat masarin produkku secara online. Dia ini pekerja keras dan disiplin.” Alea tersenyum melirik sahabatnya. “Ah, Alea mah berlebihan. Aku orangnya biasa aja,” sahut Bella malu-malu. “Bagus itu, dari muda sudah kerja keras dan disiplin. Soalnya banyak kan cewek sekarang yang hobi hang out nggak jelas. Seneng-seneng sama teman-temannya. Liburan ke mana aja, nongkrong-nongkrong di kafe, nggak ada guna. Mending uangnya ditabung untuk masa depan. Seneng-seneng seperlunya aja.” Sakha bicara dengan santainya, tak peduli akan raut wajah Alea yang sudah memerah karena kesal. Gadis itu merasa tersindir. “Nggak masalah seneng-seneng, liburan, nongkrong, toh pakai uang sendiri. Hidup itu jangan terlalu dibawa serius. Terlalu kaku juga nggak bagus. Hidupnya bakal kemrungsung mulu nyinyirin orang. Katanya pendidikan bagus, kerjaan bagus, tapi nyinyirin kehidupan orang lain. Kan nggak sinkron.” Alea memilin rambutnya dan menatap tajam Sakha. “Hidup kalau seneng-seneng mulu dan nggak ada seriusnya juga bagus. Bikin otak buntu, jadi nggak bisa mikir mana yang baik, mana yang nggak. Kan lebih parah efeknya.” Sakha tak mau kalah. “Hidupku itu seimbang. Ada saatnya serius, ada saatnya santai. Kamu tuh kebanyakan serius mulu, kurang hiburan. Makanya kerjaannya nyinyirin orang. Pikiran kalau nggak sehat dan kurang hiburan itu emang seperti itu. Nyinyir aja kerjaannya, seolah dirinya yang paling bener.” Nada bicara Alea terdengar semakin ketus. Sakha tergugu. Ditelisiknya wajah gadis itu yang menurutnya berubah seperti Mak Lampir ketika sedang bawel dan nyolot begini. “I’m happy with my life... Nggak usah berspekulasi macam-macam. Apalagi nuduh aku kurang hiburan. Situ sehat? Hidupku jauh lebih tertata. Aku biasa bangun pagi, kamu bangun siang. Aku makan sehat, kamu sering jajan sembarangan, aku pakai baju sopan, kamu sering pakai baju kurang bahan, aku bisa berpikir dewasa, kamu masih kanak-kanak dan manja, aku tahu mana yang prioritas mana yang nggak, sedang kamu segala yang nggak prioritas sekalipun menjadi prioritas.” Alea menaikkan sebelah sudut bibirnya, “Oh, segitu sempurnakah diri anda Pak Sakha Devandra Yudha? Saking sempurnanya sampai nggak ada cewek yang mau. Jomblo sedari lahir.” Kata-kata pedas Alea meluncur dengan lancarnya. Sakha membulatkan matanya. “Aku sampai sekarang menjomblo bukan karena nggak laku. Yang antri banyak. Termasuk kamu,” ketus Sakha. Bella dan Danang saling menatap dengan pandangan bertanya, kenapa dua sahabatnya seperti musuh bebuyutan yang tak pernah akur. “Nggak usah sok iya banget, Pak Dosen. Cowok di luaran sana masih banyak yang jauh lebih baik dari situ. Nggak usah sok merasa yang paling iyez.” Alea semakin menggebu-gebu “Udah-udah jangan ribut, mending kita makan dulu. Kasihan makanannya udah dingin.” Danang mencoba menetralkan suasana yang sudah terasa panas atmosfernya. Baik Sakha dan Alea beradu pandang dengan tampang jutek masing-masing lalu membuang muka. ****** Sakha dan Alea menekuk wajah masing-masing, sementara kedua orang tua masing-masing saling berbincang akrab dengan sesekali terlontar canda tawa. Keluarga Sakha mengunjungi rumahnya. Terkadang keluarganya yang mengunjungi keluarga Sakha. Argan dan Nara, orang tua Sakha telah lama bersahabat dengan Diandra dan Rayga, orang tua Alea. Rayga adalah ayah tiri Alea. Ibu dan ayah kandungnya telah bercerai saat dia berumur lima tahun. Meski orang tuanya bercerai, keduanya masih menjalin hubungan yang baik. Alea terkadang menginap di rumah Aldebaran, ayah kandungnya, terutama saat dirinya berdebat dengan mamanya. Alea sering kali beradu argumen dengan Diandra karena perbedaan pemikiran dan prinsip. Untuk menenangkan diri, dia akan menginap satu atau dua hari di rumah Aldebaran. Di matanya, papa kandungnya jauh lebih memahami dirinya dibanding mamanya. “Alea ini sudah punya calon belum, nih? Gadis secantik Alea pasti banyak yang suka.” Nata menatap Alea dengan senyum terulas. Dia terkadang berpikir untuk menjodohkan Sakha dan Alea. Di matanya Alea ini anak baik. Dia hanya perlu dibimbing agar lebih baik lagi. “Alea masih jomblo. Dia belum pernah pacaran. Nggak tahu tuh apa yang dia cari. Padahal aku dan papanya ingin dia cepat menikah.” Diandra melirik putrinya yang tertunduk. Sakha tersentak mengetahui Alea belum pernah pacaran. Di balik perangainya yang terkesan liar ternyata Alea belum pernah pacaran. Rasanya tak bisa dipercaya. “Sama kayak Sakha. Sakha juga tidak pacaran. Kayaknya sama-sama cocok, ya. Dari kecil saya sudah seneng lihat Alea dan Sakha main bareng.” Argan menimpali dengan senyum berseri. Sakha dan Alea terdiam. Mereka mencium aroma perjodohan yang sudah tersusun dan terencana secara sistematis sejak mereka kecil. “Wah, kita jodohkan saja, ya. Saya yakin Sakha bisa membimbing Alea yang rada bandel,” tukas Rayga disusul tawa yang lain. Alea mengerucutkan bibirnya. Ia beradu pandang dengan Sakha. “Sepertinya Sakha dan Alea keberatan dijodohkan,” sela Sakha segera. “Iya, Alea keberatan,” ucap Alea tak mau kalah. Ia tak mau terkesan menginginkan perjodohan ini. “Lho kenapa pada nggak mau? Kalian berdua cocok.” Diandra menatap Alea dan Sakha bergantian. “Iya lagipula dua-duanya sama-sama nggak punya calon,” sahut Nara. “Pokoknya, Sakha nggak mau,” balas Sakha. “Alea juga,” susul Alea cepat. “Begini saja, kalau dalam sebulan ini kalian nggak juga dapet calon pasangan, kalian akan dinikahkan!” tegas Argan. “Setuju,” Rayga menimpali. Alea dan Sakha menganga sekian detik. “Apa???” ****** Alea dan Sakha duduk di gazebo taman rumah orang tua Alea, sementara orang tua masing-masing masih berbincang di dalam. “Pokoknya aku nggak mau pernikahan kita terjadi.” Sakha menatap bunga-bunga yang bermekaran. Sayangnya hatinya tak seindah taman tersebut. Dalam pikirannya berkecamuk segala ketakutan. Ia tahu Alea sangat..... Menggairahkan, menggoda, seksi, menggiurkan, bikin panas dingin tak karuan, bikin-bikin cenut gimana, rasanya dia bakal betah di kamar kalau beristrikan Alea. Namun menikah bukan semata urusan ranjang. Ia butuh seseorang yang mau dibimbing dan nggak nyolot seenaknya. Seseorang yang memudahkan tugasnya sebagai suami, bukannya mempersulit. “Kamu pikir aku mau? Aku juga nggak mau.” Alea membuang muka. Jauh di lubuk hati yang terdalam, Sakha adalah laki-laki yang ia imajinasikan akan menjadi suami masa depan. Namun ia juga berpikir, dia dan Sakha sering bertolak belakang, tak pernah sepemikiran dan sejalan. Bagaimana nanti mereka bisa menyatukan perbedaan itu dalam pernikahan? “Ya, udah. Aku bakal cari calon istri dalam waktu sebulan ini.” Sakha bersedekap santai. “Aku sih nggak perlu nyari, udah ada.” Alea tersenyum bangga. Sakha mengernyit. Mau bertanya siapa calonnya, tapi dia nggak mau dinilai kepo. Alea menelepon seseorang. “Assalamu’alaikum, Revan, kita ketemuan, ya.” Sakha melongo mendengar Alea menyebut nama 'Revan'. Revan pemilik distro, atasan Adira? Yang kata Alea ganteng pakai banget, dewasa, santun, dan disebut laki-laki idaman? Entah kenapa seperti ada yang mengaduk-aduk isi hatinya. Ada rasa tak ikhlas, Alea sudah lebih dulu menemukan calon suami. Atau memang dia tak ikhlas, Alea terpikat laki-laki lain? ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD