Tantangan

1187 Words
Tiga wanita itu nampak asyik menyantap sebungkus pizza. Persahabatan yang sudah terjalin hampir lima belas tahun membuat ketiga wanita itu selalu menghabiskan waktu luang bersama. Meskipun ketiganya mempunyai pekerjaan masing-masing, namun Valaria selalu berhasil memaksa kedua temannya untuk berkumpul. Suara seruputan Marcella pada segelas cola terdengar begitu nyaring. Hingga membuat Elsa dan Valaria mendengus kesal. "Habis..." Marcella mendesah pelan, selera makannya menghilang begitu saja. Baginya tidak lengkap jika memakan pizza tanpa cola. Sedangkan Valaria dan Elsa tertawa pelan dengan mulut yang penuh pizza. "Vale, masih ada soda kan di lemari es?" tanya Marcella. Dirinya segera bangkit meninggalkan kedua temannya ketika mendapat anggukan dari Valaria. Marcella pun langsung membuka lemari es. Dia mengambil botol cola yang berukuran besar. Ketika hendak berkumpul kembali bersama kedua temannya, Marcella menahan niatnya mendengar notifikasi email masuk di ponsel. Dia meletakkan botol cola itu di atas meja lalu membuka email. Matanya membelalak ketika membaca isi pesan itu. Tanpa menunggu lama, jarinya pun menekan sebuah file lampiran email tersebut. Sepasang bola mata hijaunya menatap sosok pria dewasa di layar ponselnya. Dia menganggukkan kepala seolah sudah menghapal garis wajah pria tampan itu. "Dillon Robels, usia 28 tahun," gumam Marcella ketika membaca informasi singkat tentang sosok pria itu. "Marcel? What's are you doing there?" Marcella segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans ketika mendengar teriakan Valaria dari arah depan. Dirinya pun segera menyusul kedua temannya di ruang depan. Diam-diam Marcella dan Elsa mendaftarkan Valaria di sebuah situs online. Bahkan mereka memalsukan scan tanda tangan Valaria ketika mengisi formulir pendaftaran dan sebagai persyaratan paten. Kedua wanita itu hanya ingin menghilangkan pandangan buruk Valaria tentang seorang pria. Bahwa tidak semua pria akan seperti ayahnya dan mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya. Semenjak kepergian mantan kekasihnya tujuh tahun yang lalu, Valaria seolah begitu membenci sosok pria. Dirinya beranggapan mampu hidup tanpa kehadiran pria. Dan Marcella serta Elsa tidak ingin Valaria mempunyai anggapan itu selamanya. Mereka ingin Valaria mampu melupakan masa lalu dan membuka hatinya kembali untuk pria lain. Bukan hanya itu alasan kedua temannya. Alasan lain mereka melakukan hal tersebut adalah karena Valaria selalu mengganggu waktu kedua temannya bersama kekasih mereka masing-masing. Seolah Valaria ikut membenci kekasih kedua temannya. "Kita berhasil," bisik Marcella saat duduk di samping Elsa. "Benarkah?" tanya Elsa memastikan dan langsung mendapatkan anggukan dari Marcella. Keduanya pun tersenyum senang tanpa diketahui oleh Valaria yang sedang memperhatikan layar ponselnya sembari memakan pizza. ~ "Ada apa?" Seth menoleh sekilas ke arah Kevin yang berdiri di sampingnya. Dirinya hanya tersenyum sembari menatap lekat-lekat layar ponsel. "Dia lumayan cantik," gumam Seth pelan. "Itu lagi?" Kevin bertanya dengan nada malas seolah merasa bosan. Bahkan dia menggelengkan kepalanya, merasa aneh pada sepupunya yang tidak pernah bosan bermain dengan para wanita. "Lihat," Seth memperlihatkan foto seorang wanita berambut hitam itu nampak tersenyum manis dengan kedua tangannya berpose piece. "Bagaimana menurutmu yang ini?" tanyanya. Kevin diam sejenak memperhatikan gambar itu. Hingga perlahan dia menganggukkan kepalanya, "Iya. Dia cukup cantik," dia ikut memuji. "Lalu... bagaimana dengan janjimu dua puluh menit yang lalu?" tanya Kevin sembari menaikkan sebelah alisnya. Seth hanya tersenyum. Dia menggidikkan bahu, "Aku belum bisa pastikan. Kita lihat saja nanti," jawabnya lalu menepuk pundak Kevin yang mempunyai tingga setara dengannya. Seth berjalan masuk ke dalam ruangan. Dirinya melihat Javier dan Xavier nampak asyik menonton acara favorit mereka sedangkan anggota keluarga lainnya mengobrol di ruang depan. Kevin menghela napas pelan. Dia tertegun ketika merasakan ponselnya bergetar di dalam saku. Dirinya pun segera merogoh saku jasnya untuk mengangkat telepon dari adiknya, Leanne. "Halo," sapa Kevin. "Kak, kenapa Mommy tidak mengangkat telepon dariku?" tanya Leanne dengan nada kesal. "Mungkin Mommy tidak mendengar teleponmu," jawab Kevin. "Memangnya Mommy ke mana?" "Kami sedang di rumah Paman Johnathan. Malam ini ada acara makan malam perayaan Ulang tahun pernikahan Paman Johnathan," jelas Kevin. "Apa Seth sedang bersamamu?" Kevin reflek menoleh ke arah pintu, "Dia sudah masuk ke dalam." Kevin hanya diam mendengar adiknya ber-oh ria menanggapi jawabannya. "Kapan kau pulang?" "Aku tidak tahu, Kak. Tugas kuliahku banyak sekali jadi belum pasti kapan bisa pulang," jawab Leanne. "Jangan lupa kabari aku jika kau hendak pulang nanti." "Okay. By the way, sudah dulu ya Ka. Bye..." Leanne memberikan kecupan sebelum memutuskan sambungan teleponnya. ~ "Apa?!" Valaria menatap tak percaya pada kedua temannya. Sedang mereka hanya menyengir kuda mendapatkan tatapan tersebut. "Aku tidak mau!" putus Valaria dengan nada penolakan yang terdengar susah mendapat bujukan. "Tapi, Vale—" "Aku tidak mau! Ini adalah masalahku sendiri. Jadi jangan melakukan apapun tanpa mengatakannya lebih dulu padaku." "Kami hanya ingin membantu, Honey," bujuk Marcella dengan nada lembut. "Marcel benar, Vale. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," Elsa menambahi. "Ta—" "Coba saja dulu. Setidaknya satu hari saja," potong Marcella membuat Valaria merasa kesal dan memutar bola matanya di depan kedua temannya. "Vale," Elsa memanggil. Dia menggenggam kedua tangan Valaria membuat wanita itu menatapnya. "Kau pernah berjanji padaku dulu kalau kau akan membalas kebaikanku, bukan? Kali ini saja, kami meminta bantuanmu untuk mengikuti pelatihan cinta itu. Kami mohon padamu..." "Aku..." Valaria tidak mampu mengucapkan apapun. Dia hanya menghela napas sembari menundukkan kepalanya. Dirinya merasa bingung dan takut. Terlebih pelatihan itu tidak bersama orang yang dikenalnya. Valaria tidak tahu sejak kapan kedua temannya mencoba mendaftarkan dirinya ke situs online tersebut. Dirinya hanya mengingat jika gelagat kedua temannya nampak aneh sejak dua hari lalu. "Aku... tidak bisa," gumam Valaria pelan. "Vale..." panggil Marcella dan Elsa bersamaan dengan nada memohon. "Sekali ini saja," sambung Marcella. "Jangankan satu hari, Marcel. Lima menit saja aku tidak mau. Aku tidak mau pria-pria di luar sana semakin senang menyakiti perempuan, terlebih padaku. Aku sudah muak dengan mereka." "Apa kau masih menyukainya?" Pertanyaan tiba-tiba dari Elsa membuat Valaria terkejut, terlebih sekarang Elsa menatapnya dengan sorot mata interogasi. "Jawab aku, Vale. Apa kau masih menyukai pria itu?" "Tidak. Aku tidak menyukainya sedikit pun. Aku hanya merasa menyesal karena mengenalnya," gumam Valaria pelan sembari memalingkan wajahnya. "Kalau begitu, kau harus bertemu dengan Dillon. Setidaknya kau harus membuktikan padaku jika kau sudah tidak menyukai mantanmu itu." "Tap—" "Jangan lupa nanti jam dua siang di kafe Kotariana," Elsa sengaja memotong ucapan Valaria karena tidak ingin temannya menolak. Sedangkan Marcella nampak menatap pasrah pada kedua temannya. Valaria diam sejenak. Hingga akhirnya dia mendesah kasar. "Baiklah," jawabnya dengan nada terpaksa. Dirinya bangkit berdiri meninggalkan kedua temannya. ~ Tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat. Kini Valaria sudah berada di depan sebuah kafe di tengah kota Chicago. Valaria menahan niatnya memasuki kafe yang tak ramai pengunjung tersebut. Dirinya justru menoleh ke arah Marcella dan Elsa yang berdiri di sisinya. "Ak—" Valaria menahan ucapannya ketika mendapat tatapan interupsi dari Elsa. Dia menghela napas panjang hingga akhirnya kedua kakinya melangkah pelan memasuki kafe tersebut. Sepasang bola matanya mengabsen seisi ruangan dalam kafe. Dirinya mencari sosok pria yang memakai kaos berwarna biru dengan celana jeans. Valaria mengernyitkan keningnya ketika tidak menemukan pria yang dimaksud oleh Marcella. Saat Valaria hendak memutar langkahnya untuk keluar sari kafe, matanya menemukan sosok yang dimaksud Marcella. Pria itu muncul dari balik lorong yang tertuju pada toilet. Valaria masih diam memperhatikan ketika pria asing itu mulai duduk di mejanya. "Hanya sehari saja, Vale," Valaria bergumam seorang diri hingga perlahan kedua kakinya berjalan mendekati meja nomer delapan tersebut. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD