Akan Melamarmu

1502 Words
Ryan benar-benar merasa bahagia saat ini. Sangat. Dia tak bisa berhenti memikirkan yang baru saja terjadi sejak siang tadi. Manda, wanita yang sangat cantik itu, akan segera menjadi istrinya. Membayangkannya saja sudah membuat Ryan tak bisa berhenti tersenyum. Seraya menyetir, dia mengambil sebuah benda yang dibeli setelah pergi dari rumah Manda. Benda itu akan dia berikan untuk calon istrinya itu. Namun, Ryan tidak tahu pasti apakah Manda akan menyukainya atau tidak. Ryan ingat saat di toko perhiasan tadi. Dia benar-benar tidak mengerti sehingga membuat gadis pramuniaga sedikit tertawa. Dia banyak tahu soal apa pun kecuali wanita. Jika saja sang pramuniaga tidak cukup sabar meladeninya, pasti benda itu tidak akan jadi terbeli. Dia sadar ini adalah hal yang sakral, itu sebabnya dia tidak mau sembarangan memilih barang yang akan dipakai oleh Manda seumur hidupnya. Ryan tiba di sebuah kafe yang merupakan tempat di mana dia dan teman-temannya biasa berkumpul. Mereka hanya menentukan waktu, tidak pernah menyebutkan lokasi. Sebab sejak SMA hingga sekarang, mereka akan selalu bertemu di kafe legendaris ini. Dia masuk ke areal parkir mobil dan mencari lot kosong. Mobil Chandra, Farrel, dan Airin terlihat olehnya. Teman-temannya sudah tiba lebih dulu. Sebelum mematikan mesin, Ryan meraih ponsel dan mengetikkan sebuah pesan. Aku udah sampai. Tak lama kemudian, sebuah pesan balasan masuk. Selamat bersenang-senang! Ryan kembali tersenyum. Dia suka pada wanita yang mau menentukan makan apa lebih dulu, juga yang bisa membalas pesan dengan cepat. Itu membuktikan bahwa Manda menghargai hubungan mereka. Setelah mengunci layar ponsel, dia mematikan mesin mobil lalu turun. Tidak sulit bagi Ryan untuk mencari di mana keberadaan teman-temannya. Meski cukup luas, mereka akan berusaha mencari tempat duduk di lokasi tertentu saja. Setelah menemukannya, Ryan tak berhenti tersenyum dari kejauhan hingga tiba di hadapan ketiga temannya. "Semringah bener lo, Yan. Kenapa, sih?" Farrel, orang yang bertanya, merasakan keanehan pada diri Ryan. Bagaimana tidak? Ryan datang sambil tersenyum-senyum tidak jelas. Padahal sedang tidak ada yang bercanda. "Kayak nggak pernah jatuh cinta aja, sih, lo, Rel," jawab Ryan. Chandra tidak sengaja menyemburkan minuman ketika mendengar Ryan berkata seperti itu. "Isss … jorok banget, sih, lo, Ndra!" teriak Airin sambil mengelap tangan yang terkena semburan Chandra dengan tisu. "Apa? Lo? Jatuh cinta?" tanya Farrel tidak percaya. "Biasa aja kali, Rel, Ndra. Nggak usah ngegas!" "Lo ngomong apa, sih, Yan? Jatuh cinta sama siapa? Lo itu udah mau nikah. Masih bisa kepikiran cewek lain?" cerocos Airin. "Ya, jatuh cinta sama calon istri, dong, Rin," jelas Ryan dengan cengiran. Wajah Airin langsung berubah. Dia kemudian mengambil minuman di hadapannya dan mengaduknya asal. Meski begitu, dia tetap ingin mendengarkan cerita dari Ryan. "Kok, bisa tiba-tiba jadi suka? Gimana ceritanya?" tanya Chandra penasaran. Farrel, Chandra, dan Airin menunggu Ryan menjawab pertanyaan. Namun, Ryan malah bilang, "Nungguin yaaa ...?" Keplak! Airin sangat puas memukul kepala Ryan. "Aduh, Rin, sakit bener tau, nggak?" "Salah lo sendiri, kesel gue!" Memang dasarnya Airin sudah badmood sejak tadi. Ryan tersenyum-senyum tidak jelas lagi, membuat ketiga temannya memutar bola mata. Ia merogoh saku jas dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Lihat, nih ..." Ryan membuka kotak beludru di tangannya dan membuat ketiga temannya terpana. Sebuah cincin berlian. "Bagus, nggak? Buat ngelamar Manda," kata Ryan. "Bagus, sih, menurut gue, Yan. Cuma kita, kan, sebagai laki-laki nggak begitu paham seleranya perempuan. Menurut lo gimana, Rin?" tanya Farrel ke Airin. "Hm," jawab Airin sekenanya sambil mengangguk-angguk, lalu menyeruput minuman. "Ya, masa gitu doang, sih, Rin responnya? Kalau memang nggak bagus, biar gue tukar, nih," protes Ryan. "Udah jadi bucin, ya, lo sekarang?" tanya Airin sarkas. "Ya, nggak apa, dong, Rin. Kan, Ryan juga bakalan nikah sama dia," kata Chandra. "Heran aja, sih, gue. Ryan, si Ice King yang nggak pernah jatuh hati sama cewek, sekarang jadi bucin. Karena dia bisa tau cincin idaman para wanita dan dia beli buat ngelamar calon istrinya. Keren!" puji Airin sambil tersenyum lebar dan mengacungkan jempol ke arah Ryan. "He-he-he ... thanks, ya, Rin." Ryan menyengir. "Dia pasti suka banget pas lihat cincin itu. Yakin gue seratus persen!" tambah Airin. Chandra memperhatikan Ryan dan Airin bergantian. Meski sesekali Airin mau tersenyum, tetapi tidak dapat dimungkiri ada semburat kesedihan yang menghiasi wajah cantiknya. Chandra sangat yakin soal itu. Ketika Airin dan Farrel sudah pulang lebih dulu, Chandra berkeras masih ingin tinggal dan mengobrol berdua saja dengan Ryan. "Ada apa, Ndra?" tanya Ryan heran. "Lo nggak ngerasa, tiap lo bahas soal nikah, pasti Airin jadi badmood?" Dahi Ryan berkerut. "Nggak, sih, gue nggak pernah merhatiin." Chandra membuang napas dengan kasar. "Gue nggak paham. Lo itu sebenarnya tau tapi pura-pura nggak tau atau memang nggak tau?" Dahi Ryan semakin berlipat-lipat seperti bentuk perut orang obesitas. Tidak mengerti ke mana arah omongan Chandra. "Maksud lo apa, sih, Ndra? Langsung ke intinya aja, deh." Chandra melihat ke luar, memastikan kalau Airin sudah menghilang dari parkiran. "Sebelum lo datang, kita bertiga ngobrolin soal pernikahannya Airin. Kayaknya, sih, dia kurang bahagia. Bawaannya pengen cerai aja." Ryan mendadak emosi. "Kenapa? Si Niko jahat sama dia?" "Nggak, nggak bukan gitu!" Chandra mendadak panik sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Lah, terus?" "Niko, sih, nggak macam-macam orangnya. Cuma sibuk banget sampai hampir nggak punya waktu buat Airin. Kayaknya Airin jadi bosan." Ryan kembali tenang. Bagaimanapun, ia dan Airin sudah bersahabat sejak SMA. Jelas tidak rela kalau Airin disakiti oleh laki-laki. Dulu saja saat SMA, ada laki-laki yang membuat Airin menangis, segera diterjang oleh Ryan sampai babak belur. Tidak peduli setelah itu diskors oleh pihak sekolah. "Nah, terus Airin kesel lihat gue bahagia mau nikah sementara dia nggak bahagia sama pernikahannya?" Ryan mencoba mencari korelasi antara badmood-nya Airin dengan rencana pernikahan Ryan. "Bukan, bukan itu." "Terus?" Chandra menggaruk-garuk kepala. Sepertinya Ryan memang benar-benar tidak peka. "Airin itu sebenarnya suka sama lo, Yan. Udah lama." Ryan terkejut. "Ah, nggak mungkinlah, Ndra! Gue sama Airin cuma temenan." "Tapi dia nganggap lo lebih dari teman. Cuma dia nggak berani buat bilang. Takut kalo lo nggak suka dia balik, eh, yang ada malah jadi canggung, ‘kan? Awalnya dia dekat sama Niko juga buat lihat respon lo gimana. Cemburu, nggak? Kalau cemburu berarti perasaan lo sama kayak dia. Tapi, ternyata lo malah dukung dia buat jadian sama Niko. Kebetulan Niko juga serius sama Airin. Ya udah." Ryan masih terkejut dan tidak menyangka akan penjelasan Chandra. Jujur saja dia tidak pernah punya perasaan apa-apa pada Airin. Cuma menganggap Airin sebagai teman saja, sudah seperti saudara sendiri. Mama Airin juga sudah Ryan anggap seperti mama sendiri. "Serius gue nggak tau, Ndra. Gue kira selama ini kita cuma sahabatan aja." "Ya, udah terlanjur juga, sih, ya. Dia udah punya suami, lo juga udah mau nikah. Apalagi Manda juga anaknya baik banget. Awalnya dia biasa aja nanggapin lo mau nikah karena tau lo biasa aja ke calon istri lo. Makanya hari ini dia jadi badmood pas tau lo udah suka sama Manda. Tapi, Yan, aslinya gue senang banget lo akhirnya bisa jatuh cinta. Gue cuma pengen lo bahagia dan nyusul kita untuk berkeluarga." "Iya, Ndra. Makasih banget, ya. Doain gue lancar-lancar aja sama Manda. Soal Airin, entar juga lama-lama dia lupa sendiri. Mudah-mudahan, ya." "Gue pikir Airin bakalan bahagia punya suami kaya raya. Tapi ternyata, uang nggak segalanya, ya, Yan." Ryan dan Chandra mengesalkan apa yang terjadi pada Airin. Andai suaminya punya waktu lebih, pasti ia sudah move on dari Ryan. Ryan tidak sadar memikirkan soal Airin terus selama perjalanan pulang. Airin memang cantik, sangat malah! Saat SMA, sepertinya tidak ada gadis yang lebih cantik dari Airin. Dulu Ryan memang pernah dijodoh-jodohkan dengan Airin karena saking dekatnya, padahal cuma bersahabat saja. Yang tidak tahu atau tidak mengenal mereka, pasti mengira mereka berpacaran. Namun, Ryan benar-benar tidak pernah menyimpan perasaan apa pun untuk sahabatnya itu. Apakah dia jahat karena tidak pernah menyadari perasaan Airin? Atau dia memang tidak sepeka itu? Akan tetapi, meskipun Ryan menyadarinya, apa dia bisa membalas perasaan Airin? Jatuh cinta tidak sebercanda itu. Ada perasaan yang akan dikorbankan jika hanya berpura-pura. Dan jika hubungannya dengan Airin tidak bertahan lama, bisa jadi pertemanan mereka juga akan berhenti di saat itu juga. Ryan merinding memikirkan jika dia harus kehilangan sahabat-sahabatnya karena hal tersebut. "Udahlah, nggah usah dipikirkan," ucap Ryan pada dirinya sendiri. Begitu tiba di apartemen, Ryan turun dari mobil dan naik lift menuju kamarnya. Dia menghela napas dan mencoba membuang pikiran-pikiran yang tidak perlu. Saat masuk, ada notifikasi muncul di layar ponselnya. Dari Manda. Belum melihat pesannya saja sudah membuat Ryan tersenyum-senyum. Udah pulang, Yan? Ryan membalas pesan Manda. Udah, Sayang. Kok, belum tidur? Ryan tidak tahu kalau Manda sangat tersipu saat mebaca pesan dari Ryan. Besok aku jemput, ya. Kita nge-date. Semesta sedang berbaik hati. Mempertemukan dua insan yang dulunya tidak pernah saling bergesekan, kini saling merindukan. Cinta bukanlah sebuah hukum pasti. Tidak akan ada yang menjamin meski sudah terikat janji suci.  Ryan dan Manda, berhak merasakan cinta yang membahagiakan keduanya. Namun, apakah semesta akan selalu berpihak kepada mereka? Akankah setiap jalan yang dilalui akan menyambut dengan sukacita? Ataukah akan ada lubang dan rintangan besar yang harus dihadapi keduanya? Oh, semesta. Luasnya dirimu akan tetap selalu menjadi misteri bagi seluruh umat manusia. Begitu juga bagi Ryan dan Manda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD