Saat Matahari Tenggelam

1518 Words
"Duhhh … pakai baju apa, ya? Mana Ryan bentar lagi sampai." Manda menatap layar ponsel yang menampilkan wajah sahabatnya melalui fitur video call. Dia kemudian menunjukkan beberapa baju untuk dinilai oleh Lisa. "Lebih bagus pakai warna terang atau gelap, ya, Lis?” “Ryan nggak ngasih tau mau ke mana?” tanya Lisa. Manda membongkar isi lemari pakaian sejak satu jam yang lalu. Heboh sendiri karena Ryan mengajaknya berkencan hari ini. Dia bahkan tidak tahu mau ke mana. Saat bertanya pada Ryan hanya dijawab "Nanti juga tau". Kan, jadi serba salah memilih baju yang tepat. Kalau cuma menonton bioskop, kan, tidak mungkin pakai setelan untuk candle light dinner. Apa dia bawa baju ganti saja buat jaga-jaga? "Duh, pusinggg …!" Manda berteriak frustrasi. “Jadi diri lo sendiri aja, Nda. Lo itu cantik pakai apa aja, kok. Gue yakin Ryan pasti terpesona dengan diri lo, bukan karena pakaian lo,” saran Lisa. Manda terdiam. Dia pun menuruti saran Lisa dan menutup panggilan video. Akhirnya dia memilih midi dress warna biru dan outer tipis berwarna putih. Berusaha mencocokkan, yang penting tidak norak. Rambutnya di-blow agar sedikit bergelombang. Untuk riasan dia pakai yang light agar cocok dengan bajunya. Dia memperhatikan penampilan akhir pada cermin di sudut kamar. Semoga yang dia pakai bisa cocok di segala suasana. Tak lama selesai dandan, Ryan pun sampai di rumah Manda. Dia membawa makanan untuk mama dan papa Manda. "Menantu idaman banget, ya, Pa," puji mama Manda. Ryan cuma menyengir. Manda keluar dari kamar dan menghampiri Ryan. "Udah lama nunggu?" tanya Ryan. "Nggak, aku juga baru siap, kok." "Ya udah, langsung aja, yuk!" Ryan dan Manda pamit sebelum pergi. Manda masih belum tahu akan dibawa ke mana. Dia ikut saja ke mana maunya Ryan. Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk sang gadis yang tersenyum akan perlakuan manis tersebut. Pada umumnya, usia tiga puluh tahun merupakan masa-masa yang rawan. Apalagi untuk seorang wanita. Pertanyaan-pertanyaan seputar kapan akan menikah pasti selalu muncul di berbagai kesempatan. Itulah sebabnya, orang tua Manda berinisiatif mencarikan jodoh untuk putrinya. Manda sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan ucapan orang-orang. Baginya, kebahagiaan jauh lebih penting daripada sekadar status. Namun, hatinya sempat sedih saat tahu akan dijodohkan oleh orang tuanya. Hatinya sempat berbunga saat tahu orang itu adalah Ryan—laki-laki yang pernah Manda sukai semasa kuliah. Namun, sikap acuh tak acuh Ryan membuatnya kembali bersedih. Dia kemudian sering membayangkan pernikahan hambar tanpa ada rasa cinta. Gadis itu sempat menangis di beberapa waktu saat mengetahui bahwa kebahagiaan mungkin tak akan menghampirinya setelah menikah. Meski begitu, ia terlalu takut untuk menolak keinginan orang tua yang sangat menyayanginya. Namun, hari ini, bunga-bunga bermekaran dalam hati Manda. Dia merasakan secercah harapan bahwa Ryan akan membalas perasaannya. Pernikahan ini akan menjadi indah, dia yakin soal itu. Manda tidak pernah berusaha, hati Ryan jatuh dengan sendirinya. Tidak ada lagi yang Manda inginkan. Ryan mencintainya saja sudah lebih dari cukup baginya. Lamunan Manda kemudian buyar saat Ryan mengajaknya berbicara. "Aku nggak pernah nge-date sebelumnya. Jadinya aku nyari-nyari referensi, terus nanya ke Chandra sama Farrel juga. Jadi, kalau nanti kamu nggak suka sama tempatnya, bilang aja, ya. Biar kita cari tempat yang lain." "Masa ganteng gini nggak pernah nge-date, sih?" tanya Manda tidak percaya. Ryan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Banyak, sih, yang bilang gitu. Nggak maksud sombong, sih, tapi banyak cewek yang naksir aku." "Terus, nggak ada yang bikin kamu tertarik, gitu?" "Aku dulu nggak tau apa-apa selain belajar. Kayaknya malas aja ngejalanin sesuatu yang bisa ganggu fokus aku. Dulu banget, sih, pernah coba ngejalanin hubungan sama teman kuliah. Tapi, belum apa-apa udah nuntut ini-itu. Harus selalu ngasih kabarlah, harus ngantarin ke sana kemarilah, ribet!" Manda tertawa. Sepertinya Ryan adalah orang yang terlalu realistis. Orang yang tidak suka dengan segala keruwetan dalam sebuah hubungan. Akhirnya Manda paham, kenapa butuh waktu yang lama bagi Ryan untuk memutuskan menikah. Seperti dirinya, Ryan juga sudah memasuki masa-masa rawan. Lelaki itu juga pasti sering menjadi sasaran empuk keluarga besarnya saat acara-acara tertentu. "Hampir semua perempuan, sih, gitu ya, Yan." "Kenapa coba? Padahal sebelum punya pasangan juga bisa, kan, pergi sendiri?" "Karena dia udah menemukan orang yang bisa diandalkan." Ryan masih tidak paham, tetapi tidak mau ambil pusing. Kalau sudah berstatus sebagai istri, masih dapat dia pahami. Sebab dalam berumah tangga, seorang suami bertanggung jawab penuh kepada istrinya. Namun, jika masih berpacaran, kenapa harus merepotkan pasangan padahal masih bisa dilakukan sendiri? Sungguh memusingkan. Mereka baru saja tiba di taman bermain. Suasana masih belum terlalu ramai meskipun sedang akhir pekan. Manda memilih wahana yang ingin dinaiki dan Ryan setuju. Pertama, wahana Viking. Meski duduk bersebelahan, awalnya Manda bersikap biasa aja. Namun, setelah wahana mengayun dan semakin kencang, membuat Manda mulai panik. Tanpa sadar, Manda sudah menggenggam lengan Ryan dengan kuat dan berteriak sekencang-kencangnya. "YAANNN …, YA AMPUN, KENCANG BANGEETTT …!" Ryan berteriak sambil tertawa melihat Manda yang matanya sudah memejam. Hal ini terus terjadi setiap menaiki wahana ekstrim. Anehnya, Manda tetap tidak kapok meskipun dia yang paling ketakutan seperti dikejar zombie. Selesai bermain, mereka makan siang di tempat yang tidak jauh dari taman bermain. Tubuh Manda memang kecil, tetapi makannya banyak sekali. Berantakan pula. Asli, tidak ada jaga imej sama sekali di depan Ryan. "Nanti juga kalau udah nikah, kamu bakalan sering lihat aku nggak pake make-up. Aku belum sikat gigi juga kamu bakalan nyium aku. Udah nggak ada yang ditutup-tutupin lagi." Benar juga. Ryan menopang dagu, melihat Manda makan sambil tersenyum. "Cantik banget kamu, Nda. Nggak ada jelek-jeleknya," puji Ryan. Mungkin bagi orang lain ini terkesan gombal. Namun, Ryan berkata seperti itu tulus dari dalam hati. "Iya, dong, kalau aku nggak cantik, mana mungkin kamu mau sama aku," canda Manda. Ryan menyubit pipi Manda, membuat gadis itu mengaduh-aduh. Mereka kemudian membicarakan banyak hal. Umumnya tentang masa sekolah dan kuliah. Saling bertukar pandangan tentang arti pernikahan. Juga membahas berapa anak yang mereka inginkan nanti, di mana mereka akan bersekolah, ilmu parenting apa yang akan diterapkan, dan lain sebagainya. "Satu atau dua anak, kayaknya cukup, ya?" tanya Ryan. Manda mengangguk. “Soalnya lihat dari usia kita juga, 'kan? Aku mau merawat mereka pas masih sanggup, masih kuat.” Ryan setuju akan hal itu. Setelah selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini, Ryan mengajak Manda ke bioskop di salah satu mal besar di kota mereka. Dia sempat mencari tahu dari mama Manda tentang genre film yang gadis itu suka. Ternyata, Manda adalah Tim Marvel. Kebetulan Shang-Chi—film Marvel terbaru—sedang tayang di bioskop. "Lah, iya, saking sibuknya ngurusin nikahan sampai lupa mau nonton ini!" Manda menepuk jidat saat Ryan menunjukkan e-ticket film Shang-Chi. "Makasih banget, ya, Yan!" Manda memeluk Ryan karena saking senangnya. Namun, dia langsung menarik diri ketika sadar akan kelakuannya. Gadis itu berdeham, lalu pura-pura permisi ke toilet, padahal sedang tidak ingin buang air. Sesampainya di toilet, dia menampar-nampar pelan pipinya. "b**o banget,sih, kenapa pakai acara meluk segala, coba? Jadi kayak kegatelan, kan, gue," keluh Manda. Manda tidak tahu saja, kalau kuping Ryan sudah memerah saat mendapat pelukan mendadak tapi singkat dari Manda. Dalam hati Ryan berkata, Maunya agak lama gitu meluknya. Senang sekali hatinya Ryan hari ini. Saking fokusnya menonton, Manda sampai tidak sadar sudah berapa kali Ryan melirik padanya. Anaknya sangat tenang diajak menonton—tidak suka memainkan ponsel atau mengoceh sendiri. Asli, gadis ini benar-benar idaman! Mereka membahas tentang film yang baru saja ditonton di sepanjang perjalanan. Ryan yang memang lebih sibuk melirik Manda ketimbang menonton, hanya bisa mendengarkan Manda bercerita. Dia cuma menanggapi sesekali saja pada bagian yang dia tonton. Saat sampai, Manda membuka sepatu dan turun dari mobil. Pasir pantai yang lembut segera menyapa kakinya saat dia berlari-lari kecil ke arah air. Sebentar lagi matahari akan tenggelam—waktu yang sangat tepat. Ryan mengambil ponsel dan berlagak menjadi fotografer untuk memfoto Manda. "Aku lupa bawa kamera." "Iya, nggak apa, Yan." Manda memang sangat baik. Orangnya tidak suka protes. Apa pun yang dibuat oleh Ryan, Manda akan menerimanya dengan senang hati. Tidak ribet dan tidak suka mengatur. Malah, dia selalu menanyakan jikalau Ryan capek, supaya bergantian menyetir dengan dirinya. Dia juga selalu mengingatkan Ryan untuk sering minum air putih supaya tidak dehidrasi. Dikarenakan berteriak-teriak di wahana permaian sampai panas-panasan di pantai. "Kamu ingat, nggak, pas pertama dikenalin, kamu manggil aku kakak?" tanya Ryan. Manda mengangguk. "Kenapa, Yan?" "Nggak, sih, cuma waktu itu rasanya canggung aja. Makanya aku suruh kamu panggil nama." Ryan sudah tidak peduli lagi. Saat ini dia menggenggam tangan Manda seraya berjalan menyusuri pantai. Jaketnya juga sudah dia pakaikan ke Manda, khawatir gadis itu kedinginan. "Sekarang udah nggak canggung lagi, ‘kan?" tanya Manda. Saat tidak memakai high heels seperti ini, membuat perbedaan tinggi Manda dan Ryan menjadi jauh. Ryan menengok terlalu ke bawah, sedangkan Manda harus mendongakkan kepala. Ryan kemudian melihat satu batu di dekat pantai bibir, lalu menyuruh Manda untuk naik ke situ. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya dan hari semakin gelap. "Nah, sekarang udah nggak canggung lagi," kata Ryan karena tinggi mereka sudah setara setelah Manda naik ke batu itu. Dikarenakan langit sedang memerah, Ryan sampai tidak sadar kalau Manda sedang merona. "Manda ...." Ryan mengeluarkan kotak beludru dari saku celana dan membukanya di depan Manda. "Kamu mau, ‘kan, jadi istri aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD