Hari di Saat Dia Pergi

1534 Words
Tiga pekan berlalu seperti tiga hari. Rasanya cepat sekali. Namun, Ryan sudah tidak sabar menunggu hari-H pernikahannya dengan Manda. Padahal dulunya Ryan selalu mencari alasan supaya tidak terlibat dengan masalah pernikahan. Maunya terima bersih saja. Namun, sekarang malah dia yang merasa khawatir kalau Manda pergi ke mana-mana sendirian. Ryan tetap menuntaskan pekerjaannya sebelum menepati janjinya menemani Manda untuk bertemu dengan vendor-vendor pernikahan. “Makanan utama udah clear. Sekarang menentukan side-dish untuk di pondokan. Kamu maunya apa, Yan?” tanya Manda seraya menyodorkan menu kepada Ryan. Ryan melihat dengan saksama dan memilih dengan cermat. Seperti Manda, Ryan juga ingin resepsi mereka berkesan untuk para tamu. Itu sebabnya, harus menyediakan makanan-makanan lezat. Gaun pengantin sudah selesai, begitu juga dengan jas Ryan. Jas tersebut digantung di dekat pintu kamar agar setiap mau keluar, dia bisa melihatnya. Agar menjadi motivasi mencari uang untuk calon istri. Sebelumnya Manda bekerja sebagai konsultan keuangan untuk banyak perusahaan. Jadi, dia bisa bekerja kapan saja bahkan di waktu-waktu libur. Kliennya tidak kalah banyak dari Ryan. Beberapa hari yang lalu, mereka sempat bertengkar karena untuk membalas chat saja hampir tidak sempat—saking sibuknya. Manda merasa emosi, Ryan pun tak mau kalah. "Ya udah, kalau gitu kamu berhenti kerja," kata Ryan saat mereka berdebat. Manda terdiam. Dia sangat senang dengan pekerjaannya. Bukan cuma menghasilkan banyak uang, tetapi juga jadi kepuasan tersendiri baginya jika para klien senang dengan hasil kerjanya. "Yahhh ...." protes Manda. "Nggak mungkin aku yang berhenti, ‘kan?" tanya Ryan. "Kalo aku yang berhenti kerja, jadi, aku di rumah aja gitu, kamu yang kerja?" Manda tidak bisa membalas, benar juga kata Ryan. Tidak lucu kalau Ryan yang jadi Bapak Rumah Tangga. Gadis itu mulai mewek. Penyakit para wanita, jika kalah berdebat maka pasti menangis. "Yah, Sayang, jangan nangis, dong," pujuk Ryan panik. Ini adalah pertama kalinya Manda menangis di depan Ryan. Itu sebabnya, dia tidak tahu harus apa supaya Manda diam. "Sayang ...." panggil Ryan. "Aku tau ini keputusan sulit. Tapi, ini demi kita berdua. Aku juga nggak mau berantem sama kamu terus karena masalah ini. Aku sayang banget sama kamu, nggak mau liat kamu sedih kayak gini." Ryan mencoba membujuk Manda. "Ya udah, aku berhenti. Besok aku masukin surat resign," janji Manda. Ryan merasa lega sekaligus tidak enak hati. Dia cuma berharap, nantinya Manda merasa bersyukur karena keputusan yang dia ambil. Manda sudah mulai memindahkan barang-barang dari rumahnya ke apartemen Ryan sedikit demi sedikit. Sudah lama Ryan tinggal sendiri, akhirnya sebentar lagi ada yang menemani. Dia juga merenovasi kamar dan mendekor dapur sesuai keinginan Manda. Dinding apartemen yang biasanya putih polos, sekarang sudah dipasang wallpaper sesuai pilihan Manda. Everything for her. Ryan oke-oke saja dengan pilihan Manda. “Mungkin nanti kita bisa tambah beberapa perabot untuk menaruh barang-barang. Apalagi kalau udah punya anak, pasti peralatannya, tuh, banyak banget,” jelas Manda. “Jadi, mau beli sekarang apa nanti aja?” tanya Ryan. Manda berpikir sejenak. “Setelah resepsi juga boleh, kok. Kan, butuhnya nggak buru-buru.” Ryan mengangguk mengiyakan. Mereka pun masih menjalani beberapa keseharian sendirian. Seperti Ryan yang masih sibuk bekerja. Nely meletakkan setumpuk laporan di atas meja kerja Ryan yang dengan senang hati dia kerjakan. Sesekali dia mengecek notifikasi ponsel, kalau-kalau Manda mengiriminya pesan. Aneh juga, semakin ke sini Ryan semakin sering merasa rindu pada calon istrinya. Rasanya ingin setiap saat mengobrol atau sekadar bertukar kabar. Namun, pekerjaan ini membuat Ryan tidak dapat melakukannya. Akhirnya, dia berinisiatif menghubungi Manda terlebih dahulu. "Besok kamu ada acara?" tanya Ryan. "Ada, Yan. Mau ketemu sama temen," jawab Manda. "Cewek apa cowok?" tanya Ryan lagi. "Hmm, cowok, sih ...." jawab Manda ragu. "Siapa?" Manda bisa merasakan nada suara Ryan yang berubah, seperti tidak suka. "Temen sekolah dulu waktu SMA. Udah lama nggak ketemu, katanya ada yang mau disampein." Manda menjelaskan dengan pelan agar Ryan tidak marah. Tiba-tiba, Manda mendapatkan ide. "Mau ngasih undangan nikahan mungkin." Dan sepertinya cara itu berhasil. "Oh, ya udah. Mau aku antar?" tawar Ryan. "Jangan, Yan. Kamu, kan, kerja. Tapi, kalau mau jemput pulangnya, sih, nggak apa." "Ya udah, pulangnya aja aku jemput, ya." Ryan mengembuskan napas dengan panjang setelah menutup telepon, berusaha meredam emosi dan rasa cemburunya. "Cuma temen, Yan. Iya, itu cuma temennya." ... Keesokan harinya, rasa khawatir Ryan terbukti. Manda tidak dapat dihubungi sejak pukul lima sore. Terakhir kali Ryan menghubungi Manda saat jam makan siang karena cuma di saat itu yang sedang luang. Pekerjaannya sangat banyak karena pesta pernikahan tinggal lima hari lagi. Jadi, Ryan mengejar tayang semua pekerjaannya supaya besok atau lusa dia sudah bisa libur. Ryan tidak menghitung sudah berapa kali dia menelepon Manda, tetapi dia yakin sudah ada sekitar puluhan notifikasi panggilan tak terjawab di layar ponsel gadis itu. Ratusan chat yang dia kirim juga tidak ada yang dibaca—satu pun. "Duh, Nda, kamu di mana, sih?" Ryan lupa sekali menanyakan tentang lokasi pertemuan Manda dan temannnya hari ini. Hal itu membuat Ryan semakin panik, tidak tahu harus bagaimana. Ryan duduk di kantornya, bingung mau melakukan apa. Mau pulang, tetapi niatnya menjemput Manda; mau menghampiri Manda, tetapi tidak tahu Manda ada di mana dan tidak bisa dihubungi. Ryan memutuskan untuk menunggu lagi. Siapa tahu saja Manda keasyikan mengobrol sampai tidak mengecek ponsel. Apalagi temannya seorang laki-laki, semakin tidak tenang Ryan rasanya. Tidak terasa sudah pukul enam sore dan masih belum ada kabar dari Manda. Namun, tiba-tiba ada pesan masuk dari gadis itu. Dengan cepat Ryan melihat isinya. Dia mengernyit. Dari sekian banyak chat yang Ryan kirim, Manda hanya membalas dengan mengirim lokasi. Mungkin gadis itu sedang ada di sana. Ryan pun langsung bergerak tanpa membalas pesan Manda. Dia mengebut—secepat-cepatnya. Entah kenapa firasatnya tidak enak. Dan benar saja, saat Ryan sampai, rasanya seperti ditolak ke dalam jurang. Ryan melihat tubuh Manda terbaring di lorong gelap. Ryan mengira Manda hanya pingsan. Namun, saat didekati, ternyata ada banyak darah di atas semen, di tempat tubuh gadis itu tergelatak tak berdaya. "Manda ...." panggil Ryan. Manda tidak menjawab. Semakin dekat, Ryan bisa melihat mata Manda yang setengah terbuka, setengah menutup. Dia berlutut dan menyentuh bahu Manda, lalu mengguncangnya pelan. "Sayang ...." Suara Ryan mulai gemetar. Masih tidak ada jawaban dari Manda. Ryan memegang pergelangan tangan Manda untuk memeriksa denyut nadinya. Tidak ada. Ryan mulai menangis. "Sayang ...." Ryan mengangkat tubuh Manda perlahan dan memeluknya. "Manda, please bangun, Sayang. Jangan ngerjain aku kayak gini karena nggak lucu." Tetap tidak ada jawaban apa-apa dari Manda. Ryan menangis sekuat-kuatnya sampai dadanya terasa sakit. Masih berusaha mengguncang-guncang pelan tubuh Manda. Masih berharap ini cuma mimpi, cuma bohongan, cuma prank. Namun, ini adalah kenyataan. Manda sudah pergi … pergi untuk selamanya. ... Suasana di pemakaman benar-benar menyedihkan. Mama Manda bahkan menangis sampai pingsan. Kondisi Ryan juga tidak lebih baik. Dia cuma duduk diam dan menangis tak berhenti. Airin pun sampai ikut menangis melihat Ryan. Sedih sekali melihat Ryan seperti itu. Dia pasti benar-benar kehilangan Manda. Chandra dan Farrel berusaha menghibur Ryan, tetapi Ryan tidak merespon. Akhirnya, mereka berdua cuma ikut duduk diam di sebelah Ryan. Isaknya sesekali kedengaran, membuat Chandra dan Farrel juga ingin ikut menangis. “Sedih banget, ya. Padahal udah mau nikah, loh, mereka.” “Oh, ya? Itu calon suaminya, ya?” “Iya. Katanya semua udah selesai, tinggal tunggu hari-H aja.” Ryan dapat mendengar selentingan omongan orang-orang yang hadir di rumah duka. Dia tidak sanggup untuk melarang mereka. Apakah setidaknya mereka diam saja? Semua ini masih cukup menyakitkan baginya, jadi, jangan ditambah lagi oleh ucapan-ucapan mereka. Apa tidak bisa mereka memahami perasaannya saat ini? Ryan masih ingat segala hal tentang Manda. Bagaimana gadis itu tersenyum, bagaimana dia makan, cara dia memanggil nama Ryan dengan panggilan sayang, dan hal-hal indah lainnya. Semua masih tergambar dengan sangat jelas. Ryan bahkan tidak tahu apakah ini semua kenyataan atau hanya mimpi. Ryan mengambil ponsel dan membaca ulang isi chat antara dirinya dengan Manda. Setelah berhenti bekerja, Manda selalu membalas pesan Ryan dengan cepat. Ryan mengusap wajah dengan gusar. Separuh dari dirinya menyesal karena tidak bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Manda. Kenapa tidak sejak awal dia menerima Manda masuk ke dalam hidupnya? Jika saja dia bisa mengulang waktu, dia akan langsung menerima dengan senang hati perjodohan mereka dan bersama dengan Manda selama yang dia bisa. Namun, kini, menyesal pun sudah percuma. Tidak ada yang bisa Ryan lakukan untuk membawa Manda kembali. Setelah ini, bagaimana dia bisa melanjutkan hidup? Apakah dirinya akan baik-baik saja setelah ini? Rasanya untuk bernapas saja pun dia sudah kesusahan. Sakit … sakit sekali. Perlahan, rumah duka tidak seramai sebelumnya. Banyak yang sudah pamit setelah menyampaikan ucapan dukacita. Mereka memberikan doa terbaik, berharap keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Ketika semua orang sudah pulang, Ryan masuk ke kamar mandi di rumah Manda untuk mencuci muka. Mama Manda menyuruh Ryan untuk menginap, khawatir terjadi apa-apa pada Ryan di jalan. Namun, Ryan berkeras ingin pulang dan minta diantarkan oleh Chandra. “Hati-hati, ya, Yan. Jangan lupa makan, istirahat yang cukup. Manda pasti sedih kalau kamu sakit,” ucap mama Manda. Ryan hanya mengangguk dan berusaha sekuat tenaga menahan tangis. Saat akan keluar dari pekarangan rumah, seseorang menabrak tubuh Ryan. "Hei!" teriak Ryan. Namun, orang itu terus berjalan tanpa menggubris Ryan. Ryan merasakan saku jasnya menjadi berat. Dia merogoh isinya dan mengeluarkan sesuatu dari sana, membuat matanya membelalak. Ponsel Manda? Kenapa bisa ada di sana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD