Chapter 2

1048 Words
"Ren Shaiviro, dia sekelas sama gue." "Oh, jadi yang satu lagi Ren, di kelas IPA-1?" Afia melirik ke Isha. "Eh, mereka kembar?" Pandi memiringkan kepala. "Kayaknya iya, sih." Fernan mengurut dagu. "Kembar? Jadi ... mereka kembar tiga?" Mata Shila membulat. "Wah, tambah keren aja mereka bertiga!!" Afia menggebu-gebu. "Iya, jarang-jarang ada kembar tiga, 'kan? Keren banget menurut gue." "Bener tuh!" Tapi kalian tau nggak? Yang bikin gue lebih seneng?" "Apa?" "Ken itu duduknya di belakang gue astaga!" seru Afia. "Biasa aja kali! Orang dia juga cuek sama lo!" tukas Pandi. "Iih, bilang aja sirik!" Afia nyengir kuda. "Idih, siapa yang sirik? Biasa aja tuh!" Pandi mengerucutkan bibir. "Ken duduk di belakang lo, dan Zen duduk di depan gue, terus Ren duduk di mana, Is?" "Di samping gue." Isha fokus mengaduk saus dan kecap pada mi ayamnya agar tercampur rata. "What?!" Shila dan Afia terbelalak. Isha tergemap, lalu menggosok-gosok telinganya pelan. "Udah nggak usah lebay, Isha aja nggak lebay tuh!" Pandi melambaikan tangan di depan wajah Afia, nyaris menyentuh hidungnya. "Emang lo nggak nervous?" Shila tidak sadar membuka mulutnya sedikit alias melongo. "Iya, Is. Nggak deg-degan gitu?" Ekspresi Afia tak jauh beda dari Shila. "nervous sama deg-degan sama aja kali, Af!" Pandi menyela. "Oh sama, sejak kapan?" Afia berlagak pilon. "Sejak dulu, Afia!" Shila dan Pandi sama-sama gemas pada gadis mungil, imut, nan menyebalkan itu. "Iya-iya!" Afia menutup kedua telinganya. "Jadi gimana perasaan lo, Is?" Shila kembali ke laptop, sambil memakan minya lagi. "Biasa aja." Air muka Isha datar, tidak menunjukkan ekspresi kagum, terkesan, atau pun nervous. "Biasa aja? Kalau gue udah mati berdiri, Is!" Afia menyedot es tehnya. "Kan gue udah bilang, Isha tuh nggak lebay. Iya kan, Fer?" Pandi melirik ke Fernan. "I-iya." Dilempari pertanyaan tiba-tiba membuat Fernan terkejut dan hampir tersedak. "Mmm ... Tapi menurut lo, Ren itu ganteng nggak?" Shila masih melanjutkan sesi wawancaranya. "Semua cowok itu ganteng, Shil. Kalau cantik itu buat cewek." Isha seperti ibu-ibu yang sedang menuturi anaknya. "Iya juga sih." Shila menggaruk pipinya, antara setuju dan tidak puas mendengar jawaban realistis Isha. Saat itu juga, Ren, Zen, dan Ken tiba di kantin. Mereka duduk di salah satu meja kosong yang paling pojok. Seketika seluruh penghuni kantin terdiam, dan memperhatikan mereka. Ken memesan makanan untuknya dan dua saudaranya. Setelah makanannya siap, mereka pun makan tanpa mengacuhkan semua cewek maupun cowok yang terus saja memperhatikan mereka sejak tadi. "Zen, menurut lo cewek-cewek di sini cantik nggak?" Ken membuka topik pembicaraan. "Lumayan, cuman nggak ada yang bikin gue tertarik," Zen tersenyum miring. "Kalau menurut lo, Ren?" Ken ganti bertanya ke Ren. "Gue nggak tertarik sama kecantikan," Ren menjawab dingin. "Kenapa?" masih pertanyaan itu yang selalu diulang Ken. "Karena kecantikan sering dipakek buat nutupin keburukan," Ren tetap tidak bosan menjawab menggunakan kalimat andalannya itu. "Hmm... bener juga sih," Ken memberikan senyuman yang sedikit mengerikan. "Tapi gimana kalo ada cewek cantik yang baik? Apa lo bakal suka sama dia?" pertanyaan Zen ini baru muncul saat mereka menginjakkan kaki di sekolah baru itu. "Itu urusan gue," Ren masih tetap memberikan jawaban dengan wajah dingin. "Ok," Zen tidak mau berbelit-belit dengan Ren yang selalu saja bisa membelitnya balik. "Mmm... Kalau yang bikin lo tertarik, itu cewek kayak apa sih, Zen?" baru kali ini Ken penasaran soal tipe cewek Zen. "Cewek yang bisa ngeredam amarah gue," Zen menjawab santai, seperti sudah menyiapkannya sejak awal. "Apa? Emang ada?" Ken sebenarnya ingin menertawakan Zen, tapi dia harus mempertahankan karismanya di depan umum. "Mana gue tau?" Zen tak acuh. "Selama ini selain Ren sama papa, kan nggak ada yang bisa ngeredam amarah lo," Ken meneguk soft drink-nya, "Hmm... Kalo gue sih mudah soal cewek, yang penting dia bisa bikin gue tertarik sama sifatnya yang nggak ngebosenin." ... Ketika bel masuk berbunyi, semua murid langsung masuk ke kelasnya masing-masing. Di kelas XI Fisika 2, bu Fina ingin menguji daya ingat murid-muridnya tentang pelajaran di semester satu, dengan memberikan soal-soal latihan yang harus diselesaikan sebelum pulang. Isha yang merupakan juara di kelas itu, mampu menyelesaikan soal-soal latihan dengan cepat. Tapi tanpa dia duga, Ren bisa selesai lebih cepat dan segera mengumpulkan hasilnya kepada bu Fina. Semuanya tentu kagum kepada Ren, karena dari kelas X sampai sekarang, baru dia yang bisa menyelesaikan tugas lebih cepat dari Isha. Tidak lama setelah itu, para guru mengakhiri pelajarannya, dan semua murid pun pulang. Seperti biasa, Isha, Shila, Afia, Fernan, dan Pandi berkumpul terlebih dahulu di halaman sekolah. Isha sudah berganti kostum, rok pendeknya berubah menjadi celana jeans hitam mengkilap yang ketat, dan kemeja putihnya kini dilapisi jaket kulit hitam. Tampak benar seperti anak motor. "Eh, guys. Kalian tau nggak? Selain keren, ternyata Ken itu juga pinter banget tau!" selalu Afia yang paling heboh. "Masak sih?" Shila menyilangkan tangannya. "Iya, dia bisa jawab semua pertanyaan yang ditanyain pak Jhon, dan kayaknya pak Jhon kagum banget sama dia." "Oh ya? Jadi Ken juga pinter? Sama dong, Zen juga pinter banget. Tadi bu Richa aja sampek muji-muji presentase yang dia bikin." "Wah hebat. Tapi... apa Ren juga sepinter mereka?" "Sepinter apapun, dia nggak akan bisa ngalahin Isha di kelas Fisika," Pandi berkata dengan yakin. "Lo salah, Pan," Isha menyela. "Tadi Ren bisa selesai lebih cepet dari gue." "Hah?" Shila tercengo. "Jadi dia bisa ngalahin lo, Is?" "Iya," Isha mengangguk. "Tapi menurut gue itu cuma kebetulan," Fernan menyatakan pendapatnya. "Mungkin tadi lo kurang konsen, Is. Jadi dia bisa selesai lebih cepet dari lo." "Nggak, Fer," Isha menyangkal. "Gue tadi udah maksimal, jadi itu bukan kebetulan." "Hmm... Kok mereka bisa pinter-pinter banget, ya?" Afia mengurut dagu. "Iya, mereka minum jamu apa sih?" Pandi sedikit melawak, sudah kebiasaannya. "Jamu?" Fernan nyengir, "Mana ada minum jamu bisa bikin pinter?" "Tau nih, konyol banget lo," Afia ikut nyengir. "Ya, siapa tau?" Pandi terkekeh. "Mmm... pinter itu sih bisa dari turunan, 'kan?" Shila menekankan telunjuknya ke pipi, kebiasaannya saat dia sedang memutar otak. "Iya," Fernan setuju. "Mungkin aja orang tua mereka pinter-pinter," Shila memprediksi. "Bisa jadi sih," Afia membenarkan prediksinya itu. "Udahlah, mending kita pulang aja sekarang," wajah Isha terlihat eneg, apa karena mereka terus membicarakan si kembar tiga itu? "Iya, yuk," Shila menggandeng tangan Afia. Isha, Fernan, dan Pandi pulang dengan naik motor ninja mereka yang berturut-turut berwarna seperti pelangi. Sementara Shila dan Afia pulang naik taxi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD