Petunjuk

1776 Words
Akhir-akhir ini, semenjak aku memutuskan untuk bersama dengan Aya sampai ingatannya kembali... Aku selalu dihadapkan dengan masalah yang benar-benar tak biasa, dan hal itu memaksaku untuk bertindak dengan berhati-hati dan menganalisa masalah yang kini kuhadapi, dengan cara yang tak biasa. Sekarang aku berdiri di depan seorang gadis kecil misterius yang tak kukenal. Sementara itu, di depan kami aku bisa melihat sesosok dua makhluk kehitaman samar yang sedang bertarung satu sama lain. Salah satu makhluk hitam itu terlihat bagaikan sebuah arca raksasa yang hanya duduk menghalau makhluk kedua yang terbang mengganggunya Baiklah... Saatnya memahami semua hal tidak masuk akal di depan mataku ini. Kasus kesurupan disebabkan oleh sesosok hantu yang tak bisa kulihat. Lalu hantu itu kini sedang bertarung dengan Aya... Kedua sosok kehitaman yang sedang bertarung di depanku kini pastilah Aya dan hantu itu, awalnya aku tidak bisa melihat mereka. Namun entah kenapa sekarang aku bisa melihat mereka, meskipun wujudnya terlihat tidak karuan. Selain itu, gadis kecil berkuncir dua di depanku ini... Mungkin mengetahui sesuatu... "Oi kamu!" "I... Iya kak?" Gadis itu menatapku kembali, ia baru saja melihat Aya dan hantu raksasa dengan tatapan cemas sambil tak henti-hentinya menggumamkan sesuatu. "Kau tahu apa yang terjadi pada kedua makhluk itu?" Hanya gelengan kepala yang kudapatkan sebagai jawaban, gadis berkuncir dua, aneh, misterius, dan pemalu itu kembali menonton pertandingan Aya dan hantu raksasa. Kuacuhkan gadis kecil itu dan berlari mendekati Aya, Paku Puntianak masih tergenggam di tanganku, tubuhku berlari makin dekat dengan mereka, saat itulah aku menyadari sesuatu. Sosok Aya dan makhluk itu kini terlihat jelas... Rambut hitam panjang Aya, gaun putihnya, dan juga bulu hitam lebat pada tubuh monster raksasa Jarakku dengan mereka mungkin hanya tiga meter, sekarang Aya sedang dicengkeram oleh makhluk itu dan dihantamkan beberapa kali ke tanah. "AYA!!!" makhluk itu menganggap teriakan histerisku sebagai gangguan, ia lalu menghantamku untuk kedua kalinya dengan tangan hitam raksasanya. Tubuhku terlempar beberapa meter dan terhempas ke tanah dengan rumput hijau yang empuk. Paku Puntianakku terlepas dan jatuh entah kemana Aku mengumpat dalam hati, sepertinya tulang punggungku bergeser. Seharusnya sekarang aku masih berada di UKS dengan Aya, dan tidak berurusan dengan kasus kesurupan sialan ini. Bentuk Aya kembali kabur dan perlahan menghilang, tch... Padahal aku masih ingin melihatnya lebih lama lagi. Kucari-cari Paku Puntianak yang terlepas dari genggaman tanganku, untunglah Paku itu kini menggelinding tak jauh dari genggaman tanganku. Kugenggam Paku Puntianak kembali, sosok Aya dan Hantu rambut hitam lebat kembali muncul sebagai sosok bayangan hitam. Otakku segera mencerna peristiwa yang terjadi, dan akhirnya aku menyimpulkan satu hal, yakni Paku Puntianak dapat digunakan untuk melihat hantu dengan pada jarak yang terbatas jika aku menyentuhnya. Kalau memang Paku itu memiliki kekuatan sehebat itu, apa mungkin itu artinya Paku Puntianak juga bisa digunakan untuk mengalahkan hantu? Kulangkahkan kakiku kembali mendekati pertarungan mengerikan di depanku, tapi kali ini aku mendekatinya dengan perlahan. Posisiku kini sangat tidak menguntungkan, bentuk samar-samar hantu rambut raksasa membuatku tak bisa mengetahui apakah dia sedang berniat untuk menyerang ataupun bertahan. Ia mungkin bisa saja menyerang dengan tiba-tiba tanpa kusadari, dan saat itulah aku harus segera menebaskan Paku Puntianak ke tubuhnya. Langkahku semakin cepat, dalam jarak tiga meter aku kembali melihat wujud asli makhluk itu. Tubuhnya hitam bagaikan gorila setinggi 3 meter, rambut hitamnya lebat memenuhi tubuhnya kecuali telapak tangan dan telapak kaki, cakarnya bagaikan setandan pisang berwarna gading, sementara itu giginya mencuat keluar dari bibirnya. Makhluk itu menatapku marah dengan mata merahnya, kembali menyerangku dengan mengayunkan tangannya yang sedang tidak ia gunakan untuk mencengkeram Aya. Namun sayangnya serangan yang sama takkan berpengaruh padaku untuk ketiga kalinya, saat tangan besarnya mengayun, aku berhasil menghindar dan menancapkan Paku Puntianak ke siku tangannya, anehnya kulit dan daging di sekitar Paku Puntianak terlihat membengkak. Dengan cepat, segera kulepas Paku Puntianak untuk bersiap pada serangan selanjutnya. Tak kusangka, apa yang kulakukan ternyata berdampak besar pada monster itu. Tangannya meledak bagaikan balon, bulu hitamnya berterbangan di udara, dan kuku-kukunya berceceran di atas tanah. Makhluk itu berteriak memekakkan telinga, lidahnya yang juga hitam terlihat bagaikan seekor kelabang di mataku saat mulutnya terbuka. Tangannya yang masih utuh melepaskan Aya, kulihat sepertinya Aya tidak mampu bergerak, ia hanya menatapku lemas dengan mata kanannya. Sebelum makhluk itu menginjak-injak Aya, aku segera menyelamatkannya dan menggendongnya di punggungku. Beruntung bagiku Aya berada dalam wujud Kuntilanaknya, tubuhnya kini lebih ringan bagaikan kapas. Gadis kecil yang menonton Aya terlihat berlari mendekati monster mengerikan itu tadi, ia mengeluarkan kantung plastik hitamnya. Mengeluarkan sesuatu berwarna putih dan menyuapkannya pada makhluk itu. "Aji... Maaf... Genderuwo itu terlalu kuat..." Kuturunkan Aya dari punggungku dan menyandarkannya pada sebatang pokok pohon yang tumbuh di pinggir lapangan... "Tidak apa Aya... Setidaknya kau tidak apa-apa, setelah ini kita bisa pulang dan meminum Teh kembang tujuh rupa lagi." Sepertinya Aya mengangguk pelan, aku sudah tidak melihatnya lagi karena begitu menurunkannya, aku segera melangkah mendekati makhluk mengerikan yang kini mulai tenang. "Oi gadis indigo! Bisa kau ikut aku sekarang? Ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadamu..." Gadis kecil itu hanya mengangguk sambil terus menyuapi monster berbulu hitam yang tangannya kini mulai tumbuh perlahan... Kuputuskan untuk kembali pada Aya untuk mengembalikan wujud manusianya, akan tetapi langkahku terhenti ketika ekor mataku melihat sebuah Paku mungil berwarna biru yang kini berada diantara bekas tangan Genderuwo. Paku biru itu... POV Aya Sore hari yang tenang dengan matahari yang mulai menggelincirkan dirinya di ufuk barat, hari ini banyak hal yang terjadi, dan aku ingin menenangkan diri sejenak dengan Kembang Tujuh Rupa yang diseduh dengan air panas dan Semangkuk Telur Ayam Kampung Rebus buatan Aji. Semua hal itu kini tersedia untukku, tapi sayang ketenanganku harus terusik dengan seorang gadis kecil dan juga Genderuwo raksasa yang kini berada di teras rumah Aji. Tubuh ruhku kini membaik dan begitu juga tubuh fisikku, seharusnya perasaanku juga membaik, akan terapi melihat seorang gadis kecil didepanku yang mengenakan pakaian milik adik Aji, dan mandi di kamar mandi yang sama denganku membuatku sedikit kesal. Seakan-akan Aji akan memperlakukan semua gadis dengan cara yang sama. Gadis berkuncir dua yang hidup sendirian bersama Genderuwo? Sepertinya tak jauh berbeda dengan Aji yang tinggal berdua denganku... Aji sialan, ia tega sekali meninggalkanku berdua dengan gadis kecil sialan itu. Apa dia tidak tahu kalau semenjak aku bertemu gadis iblis sialan itu aku jadi membenci semua gadis kecil? Selain itu, kenapa gadis kecil itu hanya diam mengacuhkanku sambil duduk melamun bagaikan orang t***l? Apa tidak ada otak di dalam kepalanya? "Hai semuanya... Maaf menunggu lama..." Aji datang dengan membawa sepiring makanan tradisional bernama jadah, aku sangat mengenal makanan itu, karena kadang-kadang aku menemjkannya di sesaji yang kutemukan untuk kumakan. Akan tetapi aku tidak pernah menyukainya, aku lebih suka memakan bunga tujuh rupa atau telur ayam kampung mentah. "Makananmu sudah datang Uwo..." Monster Genderuwo di samping gadis itu berteriak kegirangan bagaikan gorila mendapatkan setandan pisang, benar-benar kontradiksi. Bagaimana caranya monster mengerikan itu bisa dekat dengan gadis mungil itu? "Baiklah... Hmm.. Kita mulai dari mana ya?" Kutatap Aji dengan tatapan tertajam yang kumiliki seakan aku bisa menebak isi pikirannya saat ini. Gadis kecil aneh yang tadi ia temui hanyalah pengemis dengan pakaian lusuh, dan kini gadis pengemis itu menjadi seorang gadis kecil manis yang mengenakan gaun tanpa lengan milik adik kecilnya. Hal itulah yang membuatnya menjadi salah tingkah, dasar pedo sialan. "Ahh baiklah hmm... Namamu... Lia bukan?" Gadis aneh itu hanya mengangguk sambil mengacuhkan Aji, mata bulatnya tak sekalipun memandang Aji. Lia, gadis kecil aneh itu sepertinya hanya peduli pada Genderuwonya. "Bisa kau ceritakan kenapa Genderuwomu menyerang sekolahku dan juga Aya?" Tenang sejenak, sinar matahari bersinar memancarkan warna oranye, gadis itu terdiam beberapa saat. Ia seperti menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan, hal itu mungkin karena dia jarang berbicara dengan siapapun selain Genderuwonya. "Orang itu... Orang itu yang membuat Uwo melakukannya..." Kami terdiam, Aji merogoh sakunya lalu duduk pada kursi kayu yang berada di sampingku. Entah kenapa aku merasa kalau kami berdua sedang menginterogasinya seperti filim bioskop yang kulihat semalam. "Kau tahu sesuatu tentang Paku aneh ini?" Aji menunjukkan sebuah Paku berwarna kebiruan yang ia letakkan di atas meja kayu bundar, diantara piring berisi telur dan jadah. "Laki-laki itu yang memberikannya padaku, ia memintaku... Untuk memasangkannya pada tangan Uwo." Di mata Aji Paku itu mungkin terlihat seperti Paku biasa, tapi tidak dimataku. Ada tiga berkas aura disana, aura hitam milik Uwo Genderuwo, aura kuning cerah milik gadis itu, dan aura biru dari seseorang yang pernah kukenal. Aura asli paku itu sepertinya sudah menghilang bersama tangan Uwo yang hancur. "Orang itu..." "Namanya Chandra bukan?" Kupotong kata-kata Aji sebelum ia menyelesaikannya, ia tak akan marah hanya karena hal itu. Aku hanya benci jika Aji terlalu lama menggali informasi dari gadis itu. "Kak Aya benar... Laki-laki itu... Bernama Chandra..." Senja berkhianat pada siang dan perlahan meninggalkannya, kulihat wajah langit berubah muram... Cerita ini sepertinya masih belum berakhir... ############ Halaman belakang sekolah yang sepi, di tengah kegelapan malam yang kelam. Tiga sosok bayangan terlihat berdiri di atas lapangan berumput tempat Aya dan Uwo bertarung siang tadi. Salah satu dari mereka adalah seorang gadis berambut panjang yang mengenakan gaun hitam berpita, sebuah rosario perak tergantung di lehernya, sementara itu tangan kanannya memainkan sebuah pistol genggam berwarna hitam dengan simbol bunga mawar merah. Sosok yang lain adalah laki-laki tinggi tegap yang mengenakan jas hitam dan berdasi kupu-kupu, sosok itu terlihat paling tinggi dan paling menakutkan. Seluruh tubuhnya pucat dengan rambut yang sudah memutih. Taring panjang samar-samar terlihat mencuat tajam ketika ia membuka mulutnya. Sosok terakhir barkebalikan dengan kedua sosok lainnya, ia mengenakan sebuah jubah putih dan bercelana putih diatas lutut. Rambutnya tertutup sorban putih yang terlihat bagaikan sebuah sarang burung di kepalanya.Tangan kanan laki-laki itu menggenggam sebuah pedang scimitar bertuliskan aksara arab yang terlihat samar. "Tak ada apa-apa disini, kau bisa menurunkan pistolmu!" Gadis itu menganggukkan kepalanya sambil memasukkan senjatanya di balik gaunnya, sementara itu pedang milik laki-laki bersorban itu berubah wujud menjadi seekor harimau putih yang terlihat bersiaga dengan sepasang mata kuning keemasannya. "Alarm palsu?" "Tidak... Aku yakin ada tekanan ruh yang tinggi disini, setidaknya mungkin beberapa jam yang lalu." Untuk beberapa saat mereka tidak saling berbicara, laki-laki bersorbanterlihat berjongkok sambil menyentuh rerumputan hijau di atas tanah. "Sebenarnya Ihsan... Alarmnya memang berbunyi, pada waktu tengah hari tadi..." "Kalau begitu kenapa kau tidak datang bersama Vincent?" Laki-laki bersorban itu berdiri, ia membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel. Laki-laki itu tak pernah sekalipun berbicara sambil menatap gadis bergaun hitam itu. "Adik kecilku terlalu takut untuk pergi tanpamu..." Kali ini laki-laki berdasi kupu-kupu berbicara, suaranya berat dan lirih bagaikan sebuah bisikan. "Sudahlah, lagipula kementrian juga tidak meminta kita untuk terlalu serius pada pekerjaan ini jika tidak ada korban jiwa... Lain kali pergilah kesana tanpaku, sudah aku bilang bukan? Dzulfikar dan aku hanya bisa bekerja diantara pukul delapan sampai dua malam. Selain itu Maria... Kasus yang harus kita utamakan adalah... Meniadakan Chandra, satu-satunya anomali yang bisa mengendalikan makhluk supranatural sesuai keinginannya..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD