Sekolah

1536 Words
POV Aji Saputra Aku tahu gadis kecil merah mengerikan itu memang memberikan usul agar Aya masuk ke sekolah bersamaku. Akan tetapi aku benar-benar tak menyangka kalau dia akan mengurusnya. Hari ini Agnia datang lagi kerumahku, membawakan Aya seragam sekolah dan juga perlengkapannya. Tentu saja semua itu tidak gratis, aku berhutang sepuluh juta kepada gadis itu. Dia tak hanya menyiapkan semua itu, ia bahkan juga mengurus semua administrasi agar Aya bisa masuk ke sekolahku. Seharusnya aku tak terkejut, mengigat statusnya sebagai makhluk supranatural yang hidup berdampingan bersama manusia. Awalnya Aya menolak menemui Agnia, setelah apa yang terjadi kemarin. Akan tetapi Agnia memaksaku untuk menemui Aya, dan entah bagaimana Aya mau berkerjasama dengan Agnia. Meskipun begitu, aku bisa merasakan aura kebencian yang luar biasa pada dirinya. Berbicara tentang sekolah, itu berarti membicarakan tentang kehidupan membosankanku sebelum aku bertemu dengan Aya. Aku benci bersosialisasi, karena itulah aku duduk di kursi paling belakang bersama dengan anak-anak bermasalah yang telah bosan berurusan denganku. Walaupun nilaiku tak begitu buruk, akan tetapi aku juga tidak terlalu memperhatikan guru di kelas. Aku lebih suka meletakkan kepalaku dengan bosan sambil melihat ke arah jendela, berharap disana ada sebatang pohon beringin raksasa dengan gadis kuntilanak berambut panjang yang menatapku diam-diam. Di rumah aku tak memiliki hobi khusus, jadi aku memilih belajar di rumah untuk menghabiskan waktu luangku. Setelah melalui kehidupan sepi yang membosankan seperti itu, aku merasa beruntung telah dipertemukan dengan Aya. Hari ini, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Meskipun aku duduk di bangku belakang seperti biasanya, tapi aku tak bisa duduk tenang. Tubuhku terduduk dengan kaku dan tegang di kursiku, mataku tak berhenti menatap pintu kelas yang tertutup. Dua jam pelajaran telah terlewati, dan guru mapel matematikaku yang galak hampir menyelesaikan pelajarannya. Guru Laki-laki usia paruh baya itu berhasil menjelaskan rumus negasi tanpa ada satu jari telunjuk pun yang bertanya lagi. Saat-saat terakhir memang selalu menegangkan, bahkan untuk saat ini. Pintu kelasku diketuk oleh salah seorang guru BK wanita berkacamata, ia juga adalah guru wanita sama yang kemarin berhasil kutipu agar aku berhasil datang ke tempat Kakek Slamet. Guru BK itu kalau tidak salah namanya adalah Tiara, ia kini sedang bercakap-cakap dengan Pak Saswana, guru matematikaku. Tak lama kemudian Bu Tiara masuk, ia datang bersama seorang anak perempuan berambut hitam panjang. Jantungku berdetak kencang, memompakan darah ke aliran pembuluh darahku. Sementara itu, keringat dingin mengalir di telapak tanganku. Tak peduli seberapa keras aku mencoba tenang, tubuhku tetap mencoba berontak. Anak perempuan itu langsung menarik perhatian teman-teman sekelasku. Bahkan Andra yang biasanya tertidur, kini lebih bersemangat dari pada ketua kelasku Rina. Bu Tiara memperkenalkan anak perempuan itu sebagai siswi pindahan. Meskipun siswi pindahan di tengah semester seperti ini terasa aneh, akan tetapi tak ada yang menyadarinya. Anak laki-laki di kelasku sudah merasa bosan dengan anak perempuan di kelasku yang terlalu rajin dan sulit diajak bermain. Karena itulah kedatangan siswi pindahan bagi mereka bagaikan anugerah terindah. Aku mungkin benci mengakuinya, akan tetapi gadis iblis itu benar-benar melakukan pekerjaannya dengan sempurna. "Kalau begitu Aya, silakan memperkenalkan dirimu..." Anak perempuan itu mengangguk pada Bu Rina, rambut panjangnya yang menjuntai sampai betis terlihat anggun. Wajah polosnya dengan poni dan sepasang mata hitamnya terasa sangat imut. Ditambah lagi Aya kini mengenakan seragam osis putih longgar dan juga rok abu-abu yang dipanjangkan sampai mata kaki. Semua kombinasi itu benar-benar menunjukkan sosok gadis anggun. Sosok yang ingin kulihat dari Aya yang biasanya pemalu dan polos. "Per... Perkenalkan teman-teman, nama saya Aya... Aya Puntianak, saya lahir dan tinggal beberapa tahun di Kalimantan lalu pindah ke Jawa. Untuk saat ini saya tinggal bersama sepupu saya, Aji Saputra..." Aya sengaja menghentikan kata-katanya, ia ingin melihat reaksi teman-temanku, begitu juga denganku. Reaksi mereka benar-benar seperti yang kupikirkan, sebagian dari mereka memandangku biasa, ada yang tersenyam-senyum sambil melihatku, dan ada juga yang melihat dengan iri kearahku. Tak ada satupun dari mereka yang kukhawatirkan. Bagiku Semua itu wajar, karena sebagian dari mereka tahu kalau aku tinggal sendirian selama beberapa minggu sampai orang tuaku pulang. "Ehm... Apa ada pertanyaan trman-teman?" Sebagian besar anak laki-laki dan sebagian anak perempuan mengacungkan jari mereka. Mereka bertanya tentang alasan kepindahan Aya, tanggal lahir, hobi, dan lain sebagainya. Walaupun Aya terlihat kikuk dan canggung, aku bersyukur ia bisa melewati semua pertanyaan itu dengan mudah. Agnia mungkin sudah berusaha melatih Aya yang seharusnya sulit berkomunikasi dengan orang banyak, akan tetapi tampaknya tidak mungkin bagi ia untuk mengatur tempat dimana Aya biasa duduk. Karena walaupun bangku disampingku kosong, Pak Saswana lebih memilih menempatkan Aya di samping Rina sang ketua kelas yang duduk di bangku paling depan. Diam-diam Aya melihatku yang tersenyum di bangku belakang dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa... Berharap semuanya baik-baik saja... POV Aya Hari itu aku benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Semuanya bagiku terjadi terlalu cepat, entah bagaimana caranya, aku kini berada diantara sekumpulan makhluk bernyawa bernama manusia. Gadis manusia disampingku adalah Rina, gadis manis berkacamata bulat dengan rambut hitam berkuncir dua. Ia mengajakku berkenalan beberapa menit yang lalu, memberitahukanku hal-hal yang tak kumengerti tentang pelajaran atau apalah itu. Tak ada yang bisa kulakukan selain tersenyum sambil memberikannya sebuah anggukan kecil agar ia mengira kalau aku mendengarkannya. Bagiku, semua ini terasa terlalu cepat. Selama ini hanya Aji seoranglah manusia yang aku kenal, tidak ada yang lain. Karena itulah, tiba-tiba dipaksa untuk berbaur bersama manusia sebanyak ini terasa sangat menyebalkan dan memuakkan bagiku. Gadis Iblis itu menipuku, pagi ini ia datang ke kamarku, mengenakan pakaian adat jawa norak itu. Aku mencoba membuatnya pergi dengan melemparkan gelas berisi air yang Aji letakkan di atas meja kecil disamping tempat tidurku. Namun ia memamerkan kekuatannya seperti biasanya, membuat air dalam gelas itu melawan gaya gravitasi dan mengembalikannya ke tempat semula. Ia mengajakku berbicara, mengatakan sesuatu tentang mencoba berbaur bersama manusia. Akan tetapi aku hanya diam bersikap tak acuh kepadanya, sampai kemudian ia mengancam akan membunuh Aji dan memindahkan kepemilikan Paku itu pada kakeknya. Bagiku kematian Aji bukanlah masalah yang besar, karena selama ini hubungan diantara kami hanyalah seperti majikan dan pelayan. Jika karena Paku itu aku mungkin sudah kabur dari tempat ini, aku tak peduli dengan menjadi manusia atau apapun itu, aku bisa mengembalikan ingatanku tanpa harus menjadi manusia. Namun sayangnya, bagian pemindahan kepemilikan paku itu benar-benar masalah besar bagiku. Karena sepertinya, Kakek gadis iblis itu adalah orang yang mengerikan, dan tentu lebih buruk daripada Aji. Kuhelakan nafas panjangku... Dengan ancaman menakutkan seperti itu, akhirnya aku terpaksa berada disini, berbaur bersama manusia dengan ribuan peraturan ketat dari Iblis itu, agar penyamaranku tak terungkap. Untuk kali pertama ini, aku dipaksa untuk menyembunyikan rasa kesalku. Terus menerus menunjukkan senyuman palsu, sambil berpura-pura memperhatikan seseorang bernama guru di depan kelas. Namun, kekesalanku itu perlahan mulai berubah menjadi rasa takut... Setelah selama ini mengurung diri dalam kesendirian, sekarang aku terpaksa berhadapan dengan ketakutanku yang sebenarnya. Yakni keramaian... Dalam keramaian ini, aku merasakan ketakutanku yang sesungguhnya. Perasaan merasa berbeda dengan yang lainnya, terasingkan, dan juga kehilangan kepercayaan diri. Semua perasaan itu bercampur, menjadi mimpi buruk yang lebih mengerikan dari pada kesendirianku selama ini. Di mataku kini, semuan manusia yang berada di sekitarku bukanlah siapa-siapa bagiku selain orang asing. Aku hanya bisa merasakan aura hangat milik Aji dibelakang tubuhku, aura tak berwujud milik semua orang di kelas selain Aji bagaikan sesuatu yang asing dan menakutkan bagiku. Aku tak mengenal satupun dari mereka, apakah mereka musuh? Ataukah teman? Apakah mereka menyukaiku? Atau malah mebenciku? Tubuhku gemetar, kalau saja aku bisa mengeluarkan keringat mungkin saja kini keringat dingin telah mengalir di atas telapak tanganku. Gawat, kalau aku terus-terusan seperti ini, mau tak mau aku harus bergantung pada Aji. Seharusnya aku tidak bergantung pada siapapun, selama ini aku sudah terbiasa hidup sendirian dan tak pernah bergantung pada siapapun, dan aku tak pernah ingin mencobanya. Bagiku, ide berbaur dengan manusia bukanlah hal yang buruk, akan tetapi jika itu dilakukan dengan tiba-tiba, dan tanpa persiapan seperti ini, aku pasti akan kesulitan mengatasinya. Namun meskipun begitu, aku merasa tak asing dengan suasana seperti ini... Seakan-akan sebagian dari diriku menikmati semua ini... "Bagaimana Aya? Kau bisa mengerjakannya?" Suara Rina membuyarkan lamunanku, kutolehkan wajahku melihatnya sambil memasang wajah polos kebingungan. Di mataku, gadis manusia itu terlihat sangat manis, senyuman tulusnya terasa murni berasal dari hatinya. Rina adalah ketua kelas di kelas ini, dengan kata lain, ia adalah pemimpin di tempat ini. Penampilannya sebagai ketua kelas bagiku cukup meyakinkan. Ia memiliki pandangan mata teduh dibalik kacamata bulatnya, rambut hitamnya panjang sebahu dengan wajah bersahabat yang mampu akrab dengan siapapun. "Nanti aku pinjamkan catatanku, aku sudah meringkasnya agar lebih mudah dipahami" Ekor mataku tak sengaja tertuju pada buku catatan bersampul hijau di depan Rina. Lembaran kertas putih di dalamnya telah ditulisi olehnya dengan berbaris-baris tulisan tentang pelajaran hari ini. Coretan-coretan biru menandakan hal-hal penting yang harus diingat, dan garis-garis kuning di bawah beberapa tulisan berarti materi yang akan muncul dalam ujian. Begitulah yang tertulis di bagian belakang sampul buku milik Rina. Ia menunjukkan bagian itu tanpa bersuara, setelah guru di depan kelas berdehem melihat kami berbicara. Aku tak terlalu paham tentang ujian, akan tetapi sepertinya hal itu adalah sesuatu yang penting dalam sekolah. Pandanganku tiba-tiba terasa kabur, kupejamkan mataku sejenak, lalu mengedipaknnya beberapa kali. Penglihatanku kembali menjadi seperti semula, akan tetapi kali ini suara dengungan terdengar di kepalaku. "Aya... Kenapa wajahmu pucat?" Suara Rina timbul tenggelam diantara dengungan-dengungan tak jelas di telinga dan kepalaku. Kemudian, pandanganku kembali kabur, begitu juga kesadaranku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD