Kesurupan

1702 Words
Aku pingsan... Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi saat itu, aku hanya merasa kalau ada beberapa teman sekelas yang menuntunku berjalan menuju sebuah lorong panjang. Aku ingin melihat wajah mereka, tapi sayang mataku kesulitan melihat wajah-wajah mereka. Salah seorang dari mereka membantuku berbaring di atas tempat tidur dalam ruangan serba putih, kuucapkan terima kasih dengan sangat lirih padanya. Kupejamkan mataku sejenak, mencoba membuat tubuhku merasa lebih baik. Entah telah berapa lama mataku terpejam. Ketika kubuka mataku, tak ada seorang pun disekitarku, selain seorang anak laki-laki yang bersandar pada dinding putih. Ruangan tempatku berada terasa sempit, ada dua buah tempat tidur dengan tirai dan kotak kaca tergantung di tembok. Sebuah meja cokelat terlihat ada di salah satu sudut ruangan bersanding dengan sebuah kursi cokelat. Bagian atas meja itu dipenuhi buku dan catatan yang tak kukenal. "Ahh akhirnya kau bangun Aya..." Anak laki-laki yang bersandar pada salah satu bagian dinding putih itu adalah Aji, ia tersenyum seperti biasanya. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya begitu aku melihatnya. Akan terapi kuurungkan niatku ketika Aji terlihat mengambil sesuatu dari bawah tempat tidur. "Efek bunganya berkurang, kau harus minum lagi Aya. Sepertinya cahaya matahari membuat efeknya berkurang lebih cepat. Besok aku akan mengusulkan agar tempat dudukmu dipindah." Tak ada suara yang keluar dari bibir mungilku, kata-kata Aji sempat membuatku tak bersemangat. Setelah tadi pagi menikmati cahaya matahari yang biasanya tak bisa kunikmati, kini akhirnya aku harus kembali menghindarinya. "Jadi aku tetap lemah pada matahari ya? Hmm... Padahal kupikir kelemahanku itu telah hilang." Aji hanya terdiam sambil mengeluarkan sebuah termos air dari sebuah tas kecil yang ia ambil dari bawah tempat tidur. Kemudian ia menuangkan air kembang hangat dari termos ke dalam gelas yang ia ambil dari lemari kaca. "Oh ya Aji, ngomong-ngomong tempat ini... Tempat tidur siswa?" Kupikir Aji akan mengangguk kecil atau mendiamkanku kembali, tetapi ternyata ia malah tertawa. Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? "Ah maat Aya, tempat ini adalah UKS. Tempat merawat siswa yang sakit, anggap saja seperti rumah sakit sekolah." Mendengar penjelasan Aji, aku hanya mengangguk sambil meminum air kembang yang ia berikan padaku. Air harum nan hangat itu mengalir masuk ke tenggorokanku. Untuk sejenak aku merasa tubuhku sedikit lebih segar. "Bagaimana pelajaran pertamamu Aya?" "Tidak buruk, awalnya aku pikir ini terlalu cepat. Namun setelah menyadarinya, cepat atau lambat aku harus terbiasa hidup dengan manusia. Karena itulah aku mencoba sedikit memaksa diriku..." Kukembalikan gelas kaca yang telah kosong itu kepada Aji, ia pergi sebentar untuk membersihkan dan mengeringkan gelas itu di kamar mandi. Saat Aji pergi aku merasakan aura dan gelombang-gelombang aneh yang muncul di ruangan sekitar tempatku berada. Tak beberapa lama kemudian Aji kembali, ia membawa gelas kaca yang nyaris kering sempurna. Ia mengeluarkan sebuah kotak biru berisi makanan kesukaanku, Telur Ayam Kampung Rebus... "Oh ya Aya, tentang ingatanmu... Apakah kau sudah mengingat sesuatu?" Aji bertanya tepat saat aku menggigit telur rebus pertamaku, aku mudah saja memakannya karena Aji telah mengupaskan kulitnya untukku. Mulutku terlalu penuh untuk bicara. Sampai telur gurih itu tercerna sempurna di mulutku, aku hanya bisa menjawab pertanyaan Aji dengan gelengan kecil. "Begitu ya? Padahal kupikir setelah melihat usiamu yang sepertinya tak jauh berbeda dariku, mungkin ingatanmu akan mudah kembali dengan masuk sekolah." "Kurasa memang itu ide yang bagus, sebenarnya meskipun aku tidak bisa mengingat apapun disini... Namun sebenarnya aku tak merasa asing dengan tempat ini..." Sebuah aura aneh muncul kembali dalam bentuk gelombang-gelombang tak beraturan, kali ini semakin kuat. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan yang samar... "Aji! Kau mendengarnya?" Aji menoleh dengan wajah bingung ke arahku, ia hampir mengeluarkan air mineral dari mesin dispenser ketika aku mengajaknya bicara. Suara teriakan itu perlahan terdengar semakin keras, teriakan itu terdengar bagaikan sebuah jeritan histeris. Kali ini Aji mulai menyadari suara yang kudengar, aku pikir suara itu mengeras karena sumber suaranya mendekati kami. Akan tetapi aku salah, sumber suara itu semakin keras karena jumlahnya bertambah. "Aya... Suara ini..." "Fenomena kerasukan, eksorsisme, ketempelan atau apalah. Ada makhluk supranatural selainku yang mencoba berinteraksi dengan manusia dengan melakukan penetrasi pada tubuh mereka..." Kucoba bangkit dari tempat tidur, Aji mencoba menenangkanku, memintaku untuk kembali ke tempat tidur. Akan tetapi aku menolaknya, aku yakin tak ada seorangpun di kelas ini yang mampu menyelesaikan kasus ini. Semua orang pasti menganggapnya fenomena ini adalah sebuah stress atau histeria masal. Banyak sekali artikel di internet tentang kasus ini, dan aku sangat senang Aji mau mencetakkannya untukku. "Aji, tak ada seorangpun yang mampu melihat makhluk itu, aku harus pergi kesana!" "Tidak Aya! kau tidak boleh membahayakan dirimu. Aku yang akan pergi kesana!" Inilah hal kubenci dari Paku Puntianak itu, aku tak bisa memaksa Aji untuk menuruti keinginanku. Paku itu dapat mengenali aura Aji sebagai pemiliknya, dan jika aku mencoba melawan perintah, menyakiti, atau kabur darinya. Paku itu akan membuat tubuhku membusuk lebih cepat lagi. "Kalau Aji memang tidak memperbolehkanku, apa boleh buat... Akan tetapi aku tidak mau sendirian disini... Tidak ada seorangpun yang aku kenal disini, bagiku semuanya adalah orang asing... A... Aku takut..." Kucoba menunjukkan wajah memelasku pada Aji, aku pernah melihat ada Sundel bolong yang menggunakan wajah ini pada manusia untuk menjebaknya. Menggunakan tipu muslihat untuk menarik manusia bukanlah kebiasaanku, akan tetapi mungkin sangat berguna untuk saat-saat seperti ini. "Kalau begitu, mungkin lebih baik aku akan berada disini, biarkan saja orang lain yang melakukannya." Sial, tak kusangka Aji ternyata sepengecut ini. Kalau begitu aku terpaksa menggunakan teknik terakhirku, adegan menit ke 22:21 drama sinetron FTV yang kulihat semalam. Kudekatkan tubuhku dengan tubuh Aji, seperti yang kuperkirakan. Aji berjalan mundur menjauhiku sampai langkahnya terhalang oleh dinding putih UKS. "Hmm Aya..." Kedua tanganku bergerak mendekati wajah Aji, setelah berada sedekat ini dengannya aku beru menyadari kalau tubuh Aji ternyata lumayan tinggi. Tangan kanan dan kiriku kini menyentuh kedua pipinya, Aji sepertinya merasa geli dan berusaha melepaskan wajahnya dari tanganku. Tapi ia kalah cepat, dengan segera kugunakan kedua tanganku untuk membuat wajahnya mendekat dengan wajahku. Kedua mata kami saling bertatapan, wajah Aji mulai memerah, mungkin juga wajahku. Kualihkan pandangan mataku diantara dua alis Aji, dengan begini kedua mataku seakan-akan masih menatap kedua matanya. "Aji... Aku mungkin tidak mengenal siapapun disini, akan tetapi... Aku ingin berteman dengan mereka semua... A... Aku... Aku hanya ingin menolong teman-temanku... Bolehkah aku... Melakukannya?" Gawat, aku tak pernah sedekat ini dengan siapapun, bahkan dengan menggunakan teknik pengalihan mata, aku tetap tak bisa menahan rasa maluku. Untungnya tak beberapa lama kemudian Aji mengangguk dan segera mengajakku berlari menuju arah suara itu. Tak hanya kami yang pergi kesana, beberapa siswa yang jam pelajarannya kosong juga telah berada disana. Mereka berkumpul mengelilingi dua ruang kelas tempat fenomena kerasukan itu terjadi. Beberapa guru datang bersama dengan seseorang berseragam pastur dan juga seorang ustadz. Kerumunan orang di depan kelas terlalu banyak, aku dan Aji tidak bisa masuk kesana. Tetapi aku bisa melihat kelas itu dari luar melalui jendela. Tak ada yang janggal dengan kelas itu, hanya saja... Kenapa makhluk yang menyebabkan fenomena ini tidak muncul? Aura aneh dari makhluk itu masih kurasakan sangat kuat, akan tetapi dimana makhluk itu? Selain itu kenapa firasatku menjadi sangat buruk? ############# Lima tubuh tergolek, bergerak, meronta dan berteriak kesakitan di atas lantai, tiga orang pemilik tubuh itu adalah anak laki-laki, dan dua tubuh anak perempuan. Setiap tubuh ditahan oleh lima orang dewasa, guru, dan juga karyawan sekolah agar tidak berontak. Aura kehitam-hitaman tampak samar-samar menyelimuti tubuh mereka, menyembunyikan aura asli mereka yang terlihat lebih cerah. "Bagaimana Aya? Apa kondisi mereka berbahaya?" Aji berdiri disampingku, melihat dari balik kerumunan yang sama. Walaupun ia bertanya seperti itu seolah memperdulikan mereka, akan tetapi raut wajahnya terlihat sebaliknya. Ia tidak benar-benar peduli, Aji hanya bersikap sebagaimana seharusnya ia bersikap. "Buruk! energi kehidupan mereka dimakan, selain itu... Aura hitam yang mirip dengan rambut berwarna hitam itu... Sepertinya aku mengenalinya." Aji tentu saja tidak bisa melihat apa yang kulihat, akan tetapi ia mau mencoba memahami setiap orang yang berbicara padanya. Hal itulah yang mungkin membuatnya mudah mempercayai orang lain dan tidak kesulitan mengurusi hal-hal tidak masuk akal seperti ini. Tiba-tiba suara gelombang aneh itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Dan aku bisa mengetahui dari mana arahnya. Kulihat kesekelilingku, sekarang aku berada di lantai pertama sekolah sebelah barat. Gelombang itu merambat dari arah utara, selain itu entah kenapa gelombang itu tidak merambat horisontal lurus, akan tetapi sedikit miring ke bawah. Ekor mataku tak sengaja menangkap sebuah denah sekolah yang tertempel di salah satu mading kelas, keningku berkerut saat melihat tulisan gudang di ujung bagian barat laut gedung sekolah. Tepatnya, gudang itu berada di antara taman belakang sekolah dan lapangan. "Aji! Kau tahu sesuatu tentang gudang sekolah?" Kubalikkan wajahku menghadap Aji, ia hanya menatapku penuh dengan tanda tanya. "Kalau yang kau maksudkan adalah gudang tua yang ada di bagian belakang sekolah, aku mengetahuinya. Namun aku tidak memiliki kuncinya." Segera kutarik tangan Aji dan menyeretnya keluar dari kerumunan, beberapa siswa yang menyadari kelakuanku saling berbisik. Samar-samar aku mendengar kata murid baru dan pacar, atau kata-kata semacamnya. Akan tetapi aku tak memperdulikannya, saat ini ada hal yang harus kuselesaikan. Rambut panjangku tertiup angin saat berlari bersama Aji, banyak anak perempuan di kelasku bertanya tentang rambutku. Tentang bagaimanakah caraku mengurus rambut sepanjang ini, dan pertanyaan aneh lainnya. Aku tak begitu mengerti tentang rambut manusia, karena pada dasarnya rambut mayat sepanjang betisku ini seperti tangan atau bagian tubuhku lainnya. Dengan kekuatan ruhku aku bisa menggerakkannya dan membuatnya menjadi apapun yang kuinginkan. Bahkan meskipun rambutku rontok, tercabut, ataupun terpotong, rambutku tetap akan seperti sedia kala. Aku dan Aji terus berlari di lorong sekolah, sampai akhirnya kami melewati kantin yang buka, beberapa siswa sedang memakan makanan dalam mangkuk ketika kami lewat. Bahkan dalam kondisi seperti ini,manusia masih bisa mencuri kesempatan untuk makan? Apakah mereka tidak mengkhawatirkan teman mereka? "Oi Aji... Bukannya ini masih jam pelajaran?" Aji terengah-engah, ah iya... Aku lupa, meskipun aku hantu tapi aku juga seharusnya berpura-pura terengah-engah seperti Aji. "Jam... Is... Istirahat sudah lewat ta.. di..." "Lalu kenapa teman manusiamu bisa berada di kantin? Bukankah itu melanggar peraturan?" Aku bisa merasakan kebencian Aji yang berada di belakangku, sebuah tatapan mengerikan yang tak bisa aku mengerti. "Biarkan... Ngomong-ngomong setelah ini belok kiri, gudangnya agak tetsembunyi." Kuanggukkan kepalaku, kulompati sebuah kursi taman yang tak kusadari, Aji mencoba mengimbangiku, tapi kakinya tetap menghantam kursi itu. Beruntung Aji masih tetap bisa berlari setelah itu. Tidak ada waktu lagi, jika aku terlambat sedikit saja, semuanya akan dalam bahaya!    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD