Beberapa hari setelahnya, Anyelir belum berhasil pulang bersama Januari lagi karena entah kenapa Vitta yang sebelumnya tampak sibuk dengan kuliahnya itu tiba-tiba saja menjadi banyak memiliki waktu luang.
Bahkan sepupunya itu beberapa kali bolos kelas dengan alasan yang tidak masuk akal dan ngaco, tapi walaupun begitu Anyelir tidak bisa melakukan apapun selain berterimakasih karena Vitta selalu menyempatkan diri untuk mengantar jemput dirinya secara sukarela.
"Pulangnya jemput juga?" tanya Anyelir saat ia hendak keluar dari mobil.
Vitta tampak tidak langsung menjawab, wanita itu beberapa kali mengulum bibirnya sambil menatap ke arah ponsel yang ada di dashboard.
"Nanti gue kabarin ya, tapi gue usahain buat jemput lo," jawabnya.
Anyelir tersenyum sambil mengangguk, kemudian dia berpamitan dan langsung keluar dari mobil.
Ini adalah kebiasaan lamanya yang terbawa hingga sekarang, yaitu selalu berangkat lebih pagi dari siswa lainnya karena Anyelir tidak ingin terlihat mencolok. Ini sebenarnya merepotkan untuk Vitta, apalagi jika Vitta hanya punya kelas siang tapi karena harus mengantar Anyelir, Vitta juga harus tetap bangun pagi. Hal ini sering menjadi alasan Anyelir untuk berangkat menggunakan angkutan umum, namun Vitta menolak tegas dan memberikan pilihan agar Anyelir di antar supir pribadinya saja. Tentu saja Anyelir menolak itu, karena jika ia kembali memakai supir pribadinya maka itu berarti sama saja dengan membiarkan ayahnya mengatur dan mengetahui semua yang ia lakukan.
"Kamu bisa nabrak sesuatu kalau jalan nunduk begitu."
Anyelir langsung mengangkat wajah dan menoleh ke arah seseorang yang baru saja berbicara padanya. Tanpa sadar ia langsung tersenyum saat mendapati Januari yang berjalan di sisinya.
"Kamu baru datang juga?" tanya Anyelir, ia melirik ke atas tas ransel hitam yang terpakai di punggung Januari.
"Iya," jawab Januari singkat.
Anyelir mengangguk, biasanya saat ia datang maka Januari sudah duduk dengan buku di tangannya. Namun baru kali ini Anyelir bisa berjalan bersamaan dengan Januari yang juga baru datang.
"Belakangan kamu selalu dijemput," ujar Januari pelan. Pandangan matanya tetap mengarahkan ke depan, tidak menoleh ke arah lawan bicaranya.
Sedangkan Anyelir sedari tadi terus menatap ke arah Januari yang selalu terlihat datar namun tenang.
"Iya, sepupuku lagi engga banyak tugas di kampus jadi bisa jemput setiap hari," jawab Anyelir. Satu hal itu juga membuat dirinya menyesal karena belum bisa pulang bersama Januari.
Ia berpikir, akankah Januari juga menantikan saat pulang bersama dengan dirinya? Karena bagi Anyelir itu pengalaman menyenangkan dimana dia bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
"Itu lebih aman buat kamu," balas Januari.
Jawabannya itu seakan menjelaskan bahwa Januari tidak begitu menantikan saat pulang bersama dengan Anyelir, setidaknya itulah yang terpikir oleh Anyelir sesaat setelah Januari mengatakannya.
Anyelir mengerutkan kening saat melihat Januari tiba-tiba saja berhenti, dia yang sejak tadi tidak begitu memperhatikan jalan dan hanya sibuk menunduk serta menatap Januari, mulai mengarahkan tatapannya ke arah depan dan menemukan alasan kenapa Januari tiba-tiba saja berhenti.
Sekilas, Anyelir merasa tidak ingin pergi dari tempatnya. Apalagi ketika seorang wanita di depannya itu menampilkan senyum lebar yang cantik dengan tangan yang terulur memegang kotak bekal.
"Kamu agak terlambat hari ini, Ri."
Entah hanya perasaannya saja atau tidak, namun Anyelir merasa Januari melirik ke arahnya sesaat sebelum menjawab ucapan Mega.
"Iya," balas pria itu.
Mega kembali tersenyum, masih dengan tangan terulur ke arah Januari yang belum juga menerima pemberian darinya.
"Ini bekal kamu, dihabisin ya!" katanya ceria.
Anyelir menunduk, dia menoleh dan tersenyum kecil ke arah Januari.
"Aku masuk duluan ya," bisiknya.
Tidak menunggu jawaban dari Januari, Anyelir langsung berjalan ke arah pintu kelas.
"Permisi ya, Kak," katanya pada Mega.
Mega mengangguk dengan senyum kecil dan sedikit menyingkir, membiarkan Anyelir masuk ke dalam kelas.
Anyelir bahkan tidak menyadari jika Januari tengah menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu, bahkan pria itu tidak mengindahkan kotak bekal yang sedari tadi disodorkan oleh Mega padanya.
••
Sorry, Nye. gue engga bisa jemput
Pesan itu Anyelir dapatkan satu jam sebelum bel pulang sekolahnya berbunyi. Awalnya ia senang karena bisa pulang bersama Januari sambil berjalan kaki seperti sebelumnya, dia bahkan sudah mengirimi Januari pesan juga yang mengajak pria itu untuk pulang bersama.
Namun saat bel pulang sekolah berbunyi dan dia hendak membereskan perlengkapan sekolahnya, keberadaan seseorang yang sudah lebih dulu menunggu Januari di depan pintu membuat Anyelir hilang harapan.
Dia semakin kecewa saat Januari berjalan melewatinya untuk menemui Mega yang sudah tersenyum menyambut kedatangan pria itu. Sepertinya Januari memang sudah memiliki janji untuk pulang bersama dengan Mega, sehingga pria itu bahkan tidak membalas pesan yang Anyelir kirimkan.
Jelas disini adalah Anyelir yang bodoh karena walaupun Januari tidak membalas pesannya, namun melihat tadi Januari menatap ke arahnya sesaat setelah Anyelir mengirim pesan, membuat Anyelir menyimpulkan seenaknya bahwa pria itu setuju. Tanpa tahu kebenaran bahwa Januari ternyata sudah membuat janji lebih dulu.
Anyelir mengemasi barang-barang miliknya, bahkan saat Renata berpamitan untuk keluar lebih dulu, Anyelir hanya menjawab sekenanya.
Saat ia hendak memasukan buku cetak terakhir, matanya tidak sengaja menangkap seseorang yang berdiri di depan mejanya. Anyelir mendongak, mulutnya langsung terbuka ketika menyadari Januari sudah berdiri di depannya dengan tatapan datar seperti biasa.
"Sudah?" tanya pria itu.
Anyelir menaikan sebelah alisnya, "Sudah apa?" tanyanya balik.
Bisa Anyelir lihat bagaimana Januari memutar bola matanya malas.
"Sudah beres? Saya harus nunggu berapa lama sampai kamu selesai dan kita bisa pulang?" tanyanya lebih jelas.
Mendengar pertanyaan itu, Anyelir reflek menoleh ke arah pintu dan sudah tidak melihat siapa-siapa disana.
"Kemana Kak Mega?" tanyanya bingung.
"Pulang," jawab Januari cepat.
Anyelir semakin bingung mendengar jawaban dari pria di depannya.
"Kalau Kak Mega pulang, kenapa kamu masih disini? Kamu engga pulang bareng sama Kak Mega?" tanya Anyelir lagi.
Januari di depannya tampak jengah, pria itu bahkan berjalan ke mejanya dan meraih tas miliknya tanpa menjawab pertanyaan Anyelir.
"Janu, bukannya tadi Kak Mega kesini karena mau pulang bareng sama kamu?" tanya Anyelir sambil berjalan menyusul Januari yang berjalan lebih dulu.
Lelaki itu melirik sekilas ke arahnya.
"Iya, tapi saya sudah lebih dulu janji pulang sama kamu," katanya.
Anyelir terdiam dengan tangan memainkan tali ranselnya. Janji apa yang Januari maksud? Pria itu bahkan tidak membalas pesan darinya tadi.
"Kalau kamu mau pulang bareng Kak Mega harusnya engga apa-apa, aku kan bisa naik taksi atau angkutan umum," ujar Anyelir.
Kali ini Januari menghentikan langkahnya sambil menoleh ke arah Anyelir sepenuhnya.
"Saya ingat ada yang bilang kalau seumur hidup belum pernah naik angkutan umum dan nganggep angkutan umum itu engga aman," sarkasnya.
Mendengar itu, Anyelir langsung cemberut dan menatap Januari kesal.
"Ya tapi kan aku jadi engga enakan karena udah ganggu acara kamu sama Kak Mega," alibinya.
Dia sempat mendengar Januari berbicara sesuatu namun tidak jelas. Dan saat dirinya meminta Januari mengulang ucapannya, lelaki itu justru malah mempercepat langkah kakinya.
Anyelir hanya bisa bersungut-sungut sambil mengejar langkah besar Januari. Lelaki itu tidak berusaha sama sekali untuk menyeimbangkan langkah kakinya dengan langkah kaki Anyelir yang kecil. Januari baru melambatkan langkah saat di jalan yang mereka lewati terlihat beberapa anak yang dulu sempat memalak Anyelir di hari pertamanya sekolah.
Anyelir yang baru menyadari itu langsung berjalan mendekat ke arah Januari dan memegangi seragam yang dikenakan pria itu, ia ketakutan. Takut hal yang dulu terulang lagi.
Syukurnya, Orang-orang itu sama sekali tidak melakukan pergerakan dan membiarkan Januari serta Anyelir melewati mereka begitu saja.
"Hah, aku tegang banget tadi," adu Anyelir.
Ia ikut tersenyum saat melihat Januari tersenyum ke arahnya.
"Cemen," ledek pria itu.
Tapi Anyelir tidak marah, Anyelir justru tertawa mendengar ledekan Januari.
"Aku kan cewek, kalau berhadapan sama cowok banyak gitu ya takutlah," kilahnya.
Januari hanya menggelengkan kepala sambil terus berjalan.
Seperti yang biasa mereka lakukan, sepanjang jalan Januari dan Anyelir mengisi langkah mereka dengan memunguti botol-botol bekas yang ada di sepanjang jalan. Beberapa obrolan ringan dan candaan juga mengisi perjalanan mereka kali ini.
Hingga di persimpangan jalan yang biasanya menjadi titik perpisahan di antara mereka, Anyelir tiba-tiba saja mengatakan sesuatu yang membuat Januari harus berpikir keras sebelum menjawab.
"Aku..boleh main ke rumah kamu?" tanya gadis itu.
Jeda yang terasa menakutkan bagi Anyelir itu terjadi cukup lama. Januari hanya berdiri diam sambil menatap ke arahnya dengan tatapan yang Anyelir tidak tahu artinya.
"Aku engga maksa kalau kamu engga bolehin, maaf ya karena udah lancang," ujar Anyelir.
Dia merasa mungkin saja kali ini Januari juga tersinggung seperti saat pertama mereka bertemu di jalan ini. Waktu itu karena terlalu banyak mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan membuat Januari juga menilai Anyelir sebagai seseorang yang hanya mau merendahkannya saja.
Dan Anyelir sama sekali tidak ingin kejadian itu terulang di saat dirinya dan Januari bisa dikatakan sudah menjadi lumayan dekat.
Ia tersenyum kecil ke arah Januari yang masih diam, kemudian Anyelir langsung berbalik badan hendak menuju ke jalan yang akan ia lewati untuk sampai di rumahnya.
Namun belum sampai ia melangkah, tangannya tertahan akan sesuatu hingga membuat dia kembali berbalik. Ia melihat Januari memegangi lengannya.
"Boleh," kata pria itu pelan.
Sepersekian detik Anyelir terdiam karena kurang paham maksud perkataan Januari, namun kemudian ia mengerti bahwa itu adalah jawaban atas pertanyaan darinya sebelumnya.
"Aku..boleh main ke rumah kamu?" tanya Anyelir memastikan.
Di depannya Januari mengangguk, tangannya yang tadi menahannya lengan Anyelir kini sudah terlepas.
"Itu juga kalau kamu engga keberatan ada di lingkungan yang--"
"Aku engga masalah! Ayo cepat!" seru Anyelir memotong ucapan Januari.
Januari melongo, tapi kemudian ia tersenyum melihat betapa lucunya ekspresi yang ditunjukan oleh Anyelir dengan wajah semangatnya itu.
"Ayo!" ajaknya lalu berjalan lebih dulu diikuti oleh Anyelir yang tampak girang di belakangnya.
|||•••|||