Seperti tertarik paksa. Kamu tidak ingin mendekat, tapi hati menggerakkanmu untuk maju. Menghempas segala larangan dan coba memunculkan pembenaran yang terkesan dibuat-buat.
Itu yang sedang dilakukan Anyelir. Jelas dia mendengar Januari memperingatinya untuk tidak menggunakan jalan berbahaya yang di lewatinya tadi, itu berarti Januari juga menyuruhnya langsung pulang secara tidak langsung.
Tapi yang dilakukan gadis nakal itu justru mengendap-endap mengekori Januari yang berjalan dengan tenang melewati gang yang tadi di isi para preman sekolah yang nampaknya mengenal Januari dengan baik sehingga mereka langsung lari begitu melihat Januari yang datang. Entah apa yang sedang Anyelir cari, dia hanya penasaran tentang kenapa Januari terlihat seperti membuat lingkaran sendiri di sekitarnya yang tidak mengijinkan siapapun untuk memasukinya. Walaupun Anyelir sadar bahwa itu bukan hal yang bisa ia campuri, namun entah kenapa Januari begitu menarik perhatiannya bahkan di hari pertamanya pindah ke sekolah ini.
Langkah Anyelir terhenti saat dilihatnya Januari juga berhenti. Lelaki itu tampak menunduk dan mengambil sesuatu dari tumpukan sampah di hadapannya, Januari memungut botol air mineral bekas dan memasukannya ke dalam plastik hitam yang entah pria itu dapat darimana.
Anyelir tertegun di tempatnya berdiri. Ternyata desas desus Januari yang anak seorang pemulung benar adanya. Tapi entah untuk alasan apa, Anyelir tidak merasa terganggu dengan itu. Kemudian dia buru-buru menyembunyikan tubuhnya di balik tembok saat mendadak Januari membalikkan badannya. Anyelir menahan nafas tanpa sadar seakan dia merasa dengan dia bernafas maka keberadaannya akan diketahui oleh Januari di depan sana. Nafasnya terlepas begitu saja saat di dapatinya Januari sudah melanjutkan langkah kakinya, kemudian Anyelir lagi-lagi mengikutinya secara diam-diam.
Sampai ada di ujung gang yang tembus ke arah jalan besar, Anyelir harusnya belok ke arah kanan untuk bisa sampai di rumahnya. Tapi karena niatnya kali ini bukan untuk pulang, maka dia membelokan badannya ke arah kiri dimana ada sebuah gang yang lebih lebar dari yang di lewatinya tadi. Dia terdiam sebentar, merasa tidak melihat ada Januari di jarak pandangnya saat ini.
Kemana lelaki itu pergi? Anyelir yakin sekali kalau Januari pasti masuk ke jalanan ini. Anyelir melangkah sedikit-sedikit, matanya tampak awas mencari sosok lelaki yang menolongnya belum lama ini.
"Udah saya bilang kamu harusnya pulang."
Suara dingin itu membuat Anyelir membeliak tak percaya lalu memutar tubuhnya dengan cepat. Tepat di hadapannya berdiri lelaki yang dicari nya tadi, masih dengan mengenakan seragam SMA nya yang kusam dan celananya yang juga sudah pudar warnanya. Anyelir menelan ludah susah payah dan mundur satu langkah, tubuhnya memasang gerakan antisipasi seakan di depannya saat ini adalah sebuah bahaya.
"A...aku.." gagap Anyelir, dia tidak tahu harus memberi alasan apa. Karena dia jelas-jelas memang mengikuti Januari diam-diam dan mengabaikan peringatan yang diberikan pria itu.
"Saya engga punya hal apapun yang menarik, yang bisa kamu jadikan objek gosip dengan yang lain demi mendapatkan banyak teman," tandas Januari, tatapannya datar menghunus lurus ke arah Anyelir.
Anyelir mendongak dengan tatapan tidak suka. Dia merasa tersinggung dengan perkataan Januari kepadanya. Siapa dia bisa menjudge seenaknya seperti itu. Perasaan takut dan terpojok yang dia rasakan tadi hilang sudah, berganti dengan rasa kesal yang tidak repot-repot dia sembunyikan.
"Aku enggak begitu!" bantahnya kesal. Bahkan tanpa sadar dia menghentakkan sebelah kakinya dengan keras ke tanah.
"Lalu?" tanya Januari dingin.
"Aku...aku cuma.." ucapan Anyelir menggantung. Dia tidak tahu harus memberi pembelaan yang seperti apa pada pria di depannya ini.
"Saya memang anak pemulung. Itu kan yang mau kamu cari tahu?" tebak Januari langsung.
Anyelir terdiam. Sesungguhnya bukan itu alasannya mengikuti Januari, dia hanya.. hanya ingin mengikutinya saja.
"Pulanglah." titah Januari lalu berjalan melewati Anyelir begitu saja.
Anyelir tidak menyahut ataupun menahan Januari. Memangnya mau apa dia menahan pria itu? Dengan lesu Anyelir berjalan dan berbelok ke arah kanan, menuju komplek perumahannya.
|||•••|||
"Lo tadi pulang naik apa?" tanya Vitta saat dia baru saja memasuki kamar Anyelir dan menemukan sepupunya itu sedang membolak balikkan bukunya.
"Jalan kaki," sahut Anyelir singkat.
Vitta membelalakan matanya, terkejut dengan jawaban Anyelir.
"Hah? Serius? Gue kan nyuruh lo naik taksi, Kutu," hardik Vitta geram. Dia tidak habis pikir bagaimana Anyelir bisa senekad itu.
Bagaimana kalau dia kenapa-kenapa di jalan?
Tanpa tahu bahwa sebenarnya Anyelir memang nyaris kenapa-kenapa kalau saja Januari tidak menolongnya.
Ah.. Januari.
Anyelir masih bingung harus berbuat apa besok saat bertemu dengan pria itu. Januari pasti kesal sekali karena Anyelir mengikutinya diam-diam.
"Weh.. malah bengong lo!" sembur Vitta tidak sabar.
Pasalnya Anyelir dari tadi hanya sibuk membalik-balikkan bukunya tanpa memperhatikan dengan benar. Bahkan ucapan Vitta pun tidak dia tanggapi dan tanpa sadar malah memikirkan apa yang harus dilakukannya di depan Januari.
"Enggak kenapa-kenapa kok. Buktinya aku Sekarang ada disini," kata Anyelir santai.
Vitta menggeleng pelan melihat reaksi Anyelir yang terlihat santai padahal dirinya sendiri sudah membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Ya tapi, besok-besok enggak usah nekad begitu. Ah enggak! Besok gue yang jemput lo!" larang Vitta tegas.
Anyelir hanya menghela nafas pasrah. Dia sangat mengenal Vitta, sepupunya itu tidak akan bisa dihentikan hanya dengan sebuah kata 'tidak'. Dan Vitta paling tidak suka dengan adanya penolakan jenis apapun dan dari siapapun.
"Terserah kamu," ucap Anyelir pada akhirnya lalu kembali sibuk dengan buku-bukunya.
Vitta tidak bicara lagi. Dia hanya menghempaskan tubuhnya di kasur dan memandangi langit-langit.
Sebenarnya hidupnya saja sudah sibuk dengan kegiatan kampus, tapi mengingat Anyelir sempat mengalami hal yang tidak menyenangkan di sekolah lama nya membuat Vitta tidak bisa menutup mata dan abai begitu saja. Dia tidak mau kalau sampai Anyelir mengalami hal yang serupa di sekolah barunya.
Tapi mengingat seseorang yang dia temui di sekolah lama Anyelir, membuat Vitta mau tidak mau harus menghadapi masalah baru. Dia harus menghadapi orang yang selama ini tidak ingin dia temui. Pikirannya jadi teringat akan apa yang terjadi tadi siang, hal yang membuatnya batal menjemput Anyelir di sekolahnya.
||•••||
Vitta baru saja keluar dari kelas saat seorang teman wanitanya menghadangnya di depan pintu.
"Vit, ada yang nyariin lo. Dia ada di bawah," tunjuk wanita itu ke arah parkiran yang ada di lantai bawah.
Vitta ikut melongokkan kepalanya ke bawah, di sana berdiri seorang pria dengan kemeja navy dan celana chino warna coklat sedang sibuk dengan ponselnya dan kepala yang celingukan kesana kemari. Vitta mengernyit menyadari siapa orang yang sedang menunggunya, buat apa cowok itu kesini, pikirnya.
Tapi karena tidak mau membiarkan orang itu menunggu lebih lama, Vitta akhirnya berjalan ke arah tangga dan turun ke arah parkiran. Dengan gaya berjalan yang terlihat santai, Vitta menghampiri si pria yang nampaknya menyadari keberadaannya.
Pria itu tersenyum lalu menegakan tubuhnya.
"Hai.. Vitta!" sapanya dengan senyum secerah mentari pagi.
Vitta hanya menatapnya datar dan mengangguk sekali.
"Ada apa?" tanyanya tampak tidak ingin basa basi.
Si pria hanya menghela nafas. Gadis di hadapannya ini tidak berubah, masih terlihat malas jika harus berinteraksi dengannya.
"Aku mau ngomong sama kamu, bisa?" tanya pria itu sedikit ragu.
Vitta mengangkat sebelah alisnya, "Gue engga bisa. Bentar lagi harus jemput sepupu gue," tolak Vitta langsung.
"Sepupu kamu yang kemarin?" tanya pria itu.
Ya. Pria itu adalah Gani yang di temui Vitta di sekolah lama Anyelir saat dia menjemput Anyelir.
Vitta mengangguk sambil merapikan rambut sebahunya.
"Tapi aku udah terlanjur disini, aku mau ngobrol banyak sama kamu," ucap Gani dengan tampang setengah memohon. Berharap ini berhasil membuat gadis di depannya luluh.
Vitta mendengkus lalu mengalihkan pandangan. Drama banget, batinnya.
"Gue engga bisa," tolak Vitta lagi.
Gani tidak ingin menyerah, dia memutar otaknya mencari cara agar Vitta mau pergi dengannya walaupun hanya sebentar.
"Aku cuma butuh waktu 10 menit. Buat bahas tentang kita."
Mendengar itu, Vitta tampak menegang. Tidak bisa dipungkiri kalau hati nya justru ingin mengiyakan ajakan Gani karena dia juga merasa ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada pria itu. Tapi bagaimana dengan Anyelir.
"Please, Vitta. Kali ini aja," mohon Gani lagi.
Vitta memejamkan matanya sejenak lalu mengangguk. Dia meraih ponsel dan mengirim pesan kepada Anyelir kalau dia akan telat menjemput.
Dan tanpa di duganya. Waktu yang kata Gani 10 menit itu memanjang menjadi hampir satu jam. Dan itu pun Vitta yang mengakhirinya karena apa yang dikatakan Gani membuat pikirannya kian rumit. Dan jika di teruskan akan membuat pertahanan dirinya luntur. Karena pertemuan yang ngaret itulah pada akhirnya membuat Vitta menyarankan Anyelir pulang naik taksi yang tanpa Vitta tahu bahwa Anyelir lebih memilih berjalan kaki dan menguntit pria si anak pemulung.
||••||
Vitta terperanjat dan lamunannya pecah saat Anyelir tiba-tiba melemparkan sebungkus roti ke arahnya. Dilihatnya ternyata Anyelir juga sedang melahap satu roti yang sama dengan yang diberikan padanya.
Tanpa berkata apapun, Azalea melahap roti nya dan memperhatikan Anyelir yang kini sedang menuliskan sesuatu di buku catatannya.
"Nye.." panggil Azalea.
Anyelir tidak menjawab, dia hanya bergumam tidak jelas.
"Lo udah dapet temen di sekolah baru?"
Anyelir tampak berpikir sejenak setelah mendapatkan pertanyaan itu lalu dia teringat Renata yang begitu baik padanya dan juga terasa akrab meskipun mereka baru saling mengenal.
"Udah," jawabnya.
"Banyak?"
"Baru satu orang."
Vitta manggut-manggut.
"Engga ada yang aneh-aneh kan?" tanya Vitta lagi.
Anyelir terdiam. Dia tidak mungkin menceritakan tentang preman sekolah yang memalaknya sewaktu pulang tadi, bisa-bisa nanti Vitta langsung meminta bodyguard untuk mengawalnya.
"Engga ada," jawab Anye pada akhirnya.
Dan bersyukur Vitta percaya dan memilih sibuk menghabiskan rotinya tanpa bertanya apapun lagi. Karena ternyata pikiran Vitta juga sedang kacau karena pria di masa lalu nya. Gani Abizhar Riadi.
|||••••|||