Bab 5

1296 Words
Pov : SISKA 2 [Sis, kamu ikut reuni minggu besok, kan? Ajak sekalian gebetanmu yang tajir melintir itu] Pesan dari Felicia muncul di whatsappku. Dia memang rese sejak dulu, selalu iri dengki jika aku dekat dengan siapa pun. Bahkan saat aku share liburan atau makan-makan di w******p grup alumni SMA pun dia selalu mencibir, tak ada kata pujian terlontar dari bibirnya untukku.  [Dia sibuk dengan bisnisnya di luar negeri. Paling aku datang sendiri] Kukirim balasan untuknya. Dia memang nggak tahu kalau aku sudah putus dengan Akbar cukup lama. Akbar adalah mantanku yang kedua setelah Zian. Sama seperti Zian, dia juga dijodohkan dengan perempuan lain oleh mamanya. Perempuan yang konon bisa membawa Akbar ke arah lebih baik apalagi dalam hal agama, katanya. Terserah, deh! Putus dari Zain atau pun Akbar yang tajir itu tak membuat duniaku runtuh kok. Nyatanya aku mudah mendapatkan pengganti. Indra tak kalah keren dan mapan dibandingkan mereka. Bahkan belum ada komitmen apa pun, Indra sudah royal padaku. Apalagi sejak empat bulan terakhir ini sah menjadi suami, dia jauh lebih royal daripada sebelumnya. Apa pun yang kuminta selalu diturutinya. Ya! Apa pun! Aku bahagia saja bersamanya meski dijadikan yang kedua. Tak apa, toh fasilitas yang dia berikan untukku tak kalah mewah dari istri pertamanya. Meski kuakui, selama empat bulan menjadi istri keduanya, aku kekurangan waktu bersama. Dia selalu pulang ke rumah si Sarah istri tuanya itu. Tapi tak apa, yang penting hidupku kecukupan dan kembali bergelimang kemewahan. Jujur saja, sejak kebangkrutan papa setahun yang lalu, standart pria idaman yang menjadi impianku menurun satu tangga. Dulu aku selalu bermimpi mendapatkan seorang pangeran dengan cinta utuh hanya untukku saja, namun kini ambisi itu memudar. Tak peduli aku dijadikan yang ke berapa, asalkan sah dalam agama dan tak bergelimang dalam zina. Kuakui jika aku memang matre, tapi aku juga tahu bahwa zina adalah salah satu hal yang sangat dilarang dalam agama. "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang k**i dan jalan yang buruk." (QS. Al Isra: 32) Zina adalah dosa besar, aku juga tahu. Kupegang teguh surah itu dalam hatiku. Tak perlu juga menceramahiku sedemikian rupa karena aku masih cukup waras, tak mungkin mengotori tubuhku sendiri dengan tindakan bodoh begitu. Tapi untuk menjadi istri kedua, ketiga atau bahkan keempat, semua orang berhak untuk itu. Toh dalam agama, laki-laki diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu bahkan sampai empat istri pun tak mengapa. Iya, kan? Apalagi jika sang suami merasa mampu berbagi hati dan materi, kenapa tidak? Itu haknya, hak istimewa yang diperbolehkan dalam agama. Jadi tak perlu saling mencela apalagi jika istri pertama mandul atau susah mendapatkan keturunan, boleh saja dia menikah lagi untuk mendapatkan keturunan shaleh shalehah. Iya kan, kan, kan, kan? [Gimana, Sis? Kamu ikut reuni itu? Aku akan mengenalkan suamiku sama kamu. Ohya, kamu sudah berumur, Sis. Jangan kelamaan pacaran. Yang ada pacaran lama sama kamu eh nikahnya sama orang lain seperti Zian] Memang kurang a*ar si Felicia itu. Dari dulu tak pernah lelah mengejekku. Seolah begitu bahagia jika aku putus cinta. Entah apa salahku padanya. Dia memang selalu iri melihatku yang dihujani banyak cinta. Apalagi jika dia tahu kalau aku juga sudah putus dengan Akbar karena perjodohan, aku yakin dia makin ngakak menertawakanku. [Aku ikut dong. Meski aku sudah nggak sama Zian, kamu juga tak perlu sesombong itu, Fel. Tanpa Zian hidupku juga baik-baik saja. Bahagia dan tak kekurangan suatu apa. So, jangan berpikir hidupku bakal berantakan hanya karena putus sama Zian] Hanya emoticon terbahak beberapa biji yang dia kirimkan sebagai balasan. Dasar tak punya akhlak. Bahagia sekali melihat temannya berduka dan kecewa karena putus cinta. [Sayang, beliin dress yang cantik sekalian sepatunya, ya? Aku mau tampil cantik di acara reuni nanti. Kamu tahu kan, kalau aku tak ingin kalah dengan teman-teman lain? Aku ingin tetap menjadi yang ter ter dan ter] Kukirimkan pesan itu di w******p Mas Indra. Cukup lama dia membalasnya. Kebiasaan kalau di rumah Sarah, dia pasti tak memiliki banyak waktu untuk menghubungiku. Aku tak paham kenapa dia terlalu takut kehilangan perempuan itu. Kutelepon beberapa kali ke ponselnya namun tetap nihil. Bahkan saat tengah malam biasanya dia mengabariku pun, teleponku dibiarkan begitu saja. Diam dengan sendirinya. [Iya sayang. Besok kita ke butik beli dress sekalian beliin kamu sepatu, oke? Tapi tolong jangan menerorku kalau sudah di rumah. Sarah bisa curiga dan menghancurkan semuanya] Teror katanya? Gila! Telepon dari istrinya sendiri dibilang teror. Dasar suami nggak peka, bukannya menenangkan malah seenak jidatnya. Aku nggak mau tahu, dia harus membelikan dress dan sepatu mahal sebagai pengganti penolakan telepon dariku. Kalau perlu nggak hanya satu stel tapi beberapa stel sekalian. Esok harinya, Mas Indra memang mengajakku ke butik untuk membeli dress yang kuinginkan. Aku memilih tiga potong dress yang begitu cantik dengan harga lumayan. Mas Indra pun tak keberatan. Dia bergegas membayar dress pilihanku dan mengajakku pulang. Namun saat melangkah ke parkiran, kulihat high heels cantik yang senada dengan dress salemku terpajang di toko khusus sepatu pesta, tak jauh dari butik itu. Berulang kali kuminta namun Mas Indra menolak dengan alasan ada urusan penting yang tak bisa dia tinggalkan di kantor. Mau tak mau akhirnya aku pun mengalah. Lagi-lagi bukan Mas Indra namanya jika tak mampu membuat hatiku kembali berbunga penuh cinta. [Ini sepatu high heels yang kamu tunjuk kemarin kan, sayang? Maaf kemarin buru-buru, jadi tak sempat membelikanmu. Tapi sekarang aku sengaja mengirimkannya untukmu. Sepatunya cantik, senada dengan dress yang kamu beli tempo hari. Kamu pasti akan terlihat makin cantik di reuni nanti] Kuterima sebuah pesan istimewa darinya di tengah kegalauan dan kekesalanku. Dia akan mengirimkan sepatu cantik itu untukku. Itulah mengapa aku semakin cinta dan tak bisa berpaling darinya. Dia terlalu baik, romantis dan penuh cinta membuat hidupku benar-benar setengah sempurna. Kutunggu paket itu sampai sore, namun tak ada satu pun kurir yang datang. Kupikir, mungkin bakda isya namun ternyata dugaanku salah. Paket itu benar-benar tak datang bahkan sampai tengah malam. [Dasar pembohong kamu, Mas. Katanya dikirimi sepatu tapi mana? Sampai malam begini nggak nongol juga itu kurir. Kalau memang nggak mau beliin aku sepatu itu nggak apa-apa, Mas. Tapi nggak perlu PHP juga dong] Kukirimkan pesan penuh kekesalan itu padanya. Mas Indra bilang berulang kali kalau dia memang sudah mengirimkan pagi tadi. Tapi apa? Nyatanya nggak ada! [Aku sudah kirim, sayang. Mungkin kurirnya lupa atau mendadak ada acara soalnya barusan ku telepon juga nggak diangkat. Tapi percayalah, aku nggak bohong. Mana pernah sih aku bohong sama kamu. Iya, kan?] Aku tak membalas pesannya. Biar saja dia tahu kalau aku memang benar-benar kecewa.  [Jangan marah, Sayang. Aku bisa setengah gila kalau lihat kamu marah dan kecewa. Kamu tahu bagaimana perasaanku sama kamu sejak dulu, kan? Aku terlalu mencintaimu, Siska. Baiklah, pulang kerja aku akan cari paket itu, jika sudah dapat aku akan membawakannya untukmu malam ini juga. Oke. Senyumlah, karena senyummu akan membuat hidupku lebih berwarna] Senyumku mulai mengembang membaca pesan darinya. Dia memang suami idaman setiap wanita. Wajar saja jika aku semakin tak bisa jauh darinya. Satu jam. Dua jam. Bahkan hampir jam sembilan malam Mas Indra belum juga memberi kabar. Terpaksa aku kembali meneleponnya meski kutahu saat ini dia  sudah berada di rumah bersama si Sarah. Apa boleh buat, aku penasaran dengan paket high heels itu. Sekali dua kali Mas Indra selalu mematikan panggilanku. Di panggilan ketiga terlihat panggilanku diterima. "Mas, kenapa di matiin, sih? Aku mau ngomong. Kenapa tad--  Belum selesai kulontarkan emosiku, suara perempuan sudah memotongnya sedemikian cepat. "Mbak, tolong jaga sikap, ya. Kalau panggilan Mbak dimatikan itu berarti yang punya nomor lagi nggak mau ngomong sama situ. Jangan ditelepon berulang kali. Sedikit tahu diri gitu bisa, kan? Lagipula yang kamu telepon itu sudah beristri!" Ucap perempuan itu dengan ketus dan sinis. Aku yakin Sarah yang sengaja mengangkat telepon dariku. Dasar sinting! Kenapa dia selalu ikut campur dalam masalahku, sih! Dia pikir, cuma dia saja yang menjadi istri Mas Indra? Aku juga! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD