Bab 2

881 Words
Mas Indra pulang kantor dengan wajah masam. Aku yakin ada masalah yang disembunyikannya dariku. Aku tak peduli. Rasanya hatiku sudah nano-nano. Kalau nggak ingin membuat dia dan perempuan centil itu menyesal, mungkin aku sudah mencak-mencak tak karuan mendapat kado nggak jelas itu darinya siang tadi. Mas Indra meletakkan sepatu pantofelnya di rak lalu membuka dasinya dengan cepat. Biasanya aku selalu menyambutnya dengan senyum ceria saat dia pulang ngantor, tapi kali ini aku benar-benar malas. Kubiarkan saja dia menjatuhkan bobotnya dengan kasar di sofa sebelahku.  "Emm ... boleh nanya sesuatu nggak, Sayang?" tanya Mas Indra sedikit salah tingkah. Aku hanya meliriknya sekilas.  "Tanya ajalah, Mas. Nggak ada yang larang kok," jawabku sekenanya.  Mas Indra hanya meringis kecil. Apa dia akan menanyakan soal paket s**l*n itu? "Kamu ... menerima paket dari kurir nggak hari ini?" tanyanya sedikit ragu sembari menggaruk pelan kepalanya. Aku tahu itu karena dia ingin menutupi kegugupannya.  "Paket apa sih, Mas? Paket buatku, ya?" tanyaku pura-pura tak tahu.  "Paket sepatu," jawabnya singkat.  "Oh, jadi isi paket itu sepatu? Ada tuh di atas meja kamar," jawabku singkat. Aku memang sengaja membungkusnya kembali seperti semula. Hanya terlihat ada bekas guntingan yang sudah kulakban agar tertutup lagi.  Wajah Mas Indra begitu sumringah. Dia pasti mengira aku tak pernah membuka paket itu sebelumnya. Biar saja, sengaja aku masih bersandiwara untuk dua hari ini. Karena lusa, aku akan membuat dia dan perempuan gatelnya itu menyesal sudah bermain-main denganku. Tunggu saja pembalasanku dalam reuni nanti.  "Paket itu bukan buat kamu, Sayang tapi buat kado tetangga kita. Kamu ada sendiri dan aku sudah memesannya spesial buat kamu. Tunggu saja besok mungkin paketnya datang, oke?" ucapnya dengan senyum tipis. "Tetangga kita, Mas? Siapa? Ada acara apa kok pakai kado-kadoan segala," ucapku ketus. Kulipat tangan ke d**a sembari menatapnya lekat. Biar saja dia makin gugup dan salah tingkah.  "Itu loh Mas Amin mau beliin sepatu istrinya, tapi nggak bisa cara order di market place. Makanya minta tolong aku buat orderin. Dia bilang buat kado anniversary mereka," ucapnya meyakinkan.  "Oh jadi paket itu buat Mbak Dania?" tanyaku lagi. Mas Indra hanya mengangguk kecil lalu mengambil paket itu dari dalam kamar.  Dasar kadal buntung. Mana mungkin sepatu itu buat Mbak Dania. Aku dan dia kadang-kadang belanja bareng dan ukuran kaki kita sama. Sama-sama 37 sedangkan sepatu high heels itu size 39.  "Aku antar ke rumah Mas Amin dulu, ya, Sayang. Sekalian mau cari angin sebentar," ucapnya lagi, mengambil kunci motor di tempat gantungan kunci.  "Ikut dong, Mas. Aku juga mau cari angin. Lumayan kalau dapet banyak, bisa buat nerbangin orang-orang yang demen SELINGKUH ke luar angkasa," ucapku dengan penekanan penuh kata selingkuh. Mas Indra sampai tersedak mendengar ucapanku.  "Apaan sih kamu, sayang. Nggak nyambung," ucapnya lagi dengan mengibaskan telapak tangannya ke arahku.  "Kamu di rumah ajalah. Nggak bagus kena angin malam nanti bisa masuk angin," ucap Mas Indra lagi.  "Kalau takut aku kena angin malam naik mobil aja atau pakai jaket juga bisa. Pokoknya aku ikut, Mas. Lagipula aku juga mau ngobrol sama Mbak Dania," jawabku lagi.  Kulangkahkan kaki menuju kamar dengan niat mengambil jaket dari dalam lemari. "Mau kemana, sayang?"  "Ambil jaket," jawabku singkat.  "Udah deh, Sarah. Kamu di rumah aja. Aku cuma sebentar kok. Kayak nggak pernah ke rumah Dania aja, sih?" Mas Indra mulai terlihat sewot saat aku bersikukuh ingin ikut mengantar paket itu ke rumah Mbak Dania.  "Yaudah kalau gitu. Pilih aku ikut antar paketnya atau justru aku sendiri yang antar paket itu ke rumah Mbak Dania? Kamu kan capek baru pulang ngantor masak mau pergi lagi. Mandi aja dulu biar aku yang antar paketnya," jawabku tak mau kalah. Mas Indra terlihat makin gugup lalu menyugar rambutnya kasar.  "Besok aja deh nganter paketnya. Biar aku sendiri yang kasih paket ini ke Mas Amin di kantor," ucap Mas Indra dengan nada kesal.  Dia pikir aku masih gampang dibohongi seperti hari-hari sebelumnya? Nggak akan! Aku yakin dia pasti akan ke rumah perempuan itu untuk mengantar paketnya. Dasar bunglon. Aku akan buat hari-harimu ke depan penuh dengan kekhawatiran dan nggak akan tenang.  Kudengar ponsel dari saku celananya berdering. Diambilnya ponsel itu dengan sedikit kasar. Aku masih melihat bagaimana dia menjadi salah tingkah saat kutanya siapa yang menelepon barusan dan kenapa dia langsung matikan.  "Siapa, Mas? Kok diem aja?" tanyaku lagi dengan ekspresi tak bersahabat. "Orang iseng mungkin. Dah biarin aja, nanti juga bosan sendiri," ucapnya lagi. Mas Indra melangkah kembali ke sofa ruang tengah. "Orang iseng gimana sih, Mas? Coba diangkat aja itu ponselmu berisik banget. Kalau nggak mau angkat, bawa sini deh biar aku yang angkat"  Klik. Mas Indra justru kembali mematikan ponsel itu lalu menggeletakkannya di atas meja. Tapi lagi-lagi layar ponselnya kembali menyala. Kulihat nama yang tertera di sana. "SIS siapa tuh, Mas? Kenapa nggak diangkat dari tadi?" tanyaku lagi.  "Dia teman sekolah. Paling ngajakin kopdar dan aku malas," jawabnya lagi.  Gegas kuambil ponsel itu dan menekan tombol hijau di sana. Mas Indra terlonjak kaget melihat ulahku barusan.  "Mas, kenapa di matiin, sih? Aku mau ngomong. Kenapa tad--  Suara perempuan terdengar dari seberang.  "Mbak, tolong jaga sikap, ya. Kalau panggilan Mbak dimatikan itu berarti yang punya nomor lagi nggak mau ngomong sama situ. Jangan ditelepon berulang kali. Sedikit tahu diri gitu bisa, kan? Lagipula yang kamu telepon itu sudah beristri!" Ucapku cepat.  Kulirik wajah Mas Indra yang terlihat pias, sedangkan perempuan itu mematikan begitu saja panggilannya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD