Bab 3

1437 Words
Hari ini acara reuni itu digelar, namun sampai detik ini pun Mas Indra seolah tak punya keinginan untuk mengajakku ke sana. Ah, mungkinkah dia hanya ingin mengajak perempuan itu saja? "Dek, hari ini aku mau ke rumah teman. Mungkin pulang agak sorean atau malam," ucap Mas Indra tanpa menoleh. Matanya tetap fokus pada layar ponsel. "Mau kemana, Mas? Ikut dong," jawabku lagi. "Ikut gimana? Ini urusan lelaki, kamu nggak usah ikut" "Tapi Mas. Aku juga suntuk di rumah terus," balasku. "Besok aja jalan-jalannya, hari ini kamu di rumah dulu. Oke?" Dia kembali meminta dan aku mengiyakan saja. Acara itu dimulai pukul 09.30an. Kulihat Mas Indra sudah sangat rapi dengan kemeja dan celana panjangnya lalu pamit untuk berangkat. Gegas kutelepon Mbak Rifka untuk datang ke rumah. Dia adalah perias andalan di komplek perumahanku ini. Rumahnya tak terlalu jauh dari sini hanya beda beberapa rumah saja. Kemarin sudah kukirimkan pesan padanya untuk meriasku hari ini agak siangan. Sekitar sepuluh menit kemudian, Mbak Rifka datang dengan senyum merekah di kedua sudut bibirnya. "Mau kemana sih, Sar?" tanyanya santai sembari memarkirkan motor maticnya. "Reuni. Make up jangan menor tapi elegan gitulah ya," ucapku lagi. Dia pun mengangguk pelan. "Aku mau pakai gamis ini, Mbak. Cukup cantik, kan, ya?" tanyaku meminta pendapatnya. "Ini mah cantik banget, harganya nggak ramah di kantong kayaknya ini mah," jawabnya sambil meringis kecil. Aku memang membeli gamis ini sudah agak lama namun belum pernah kupakai. Rencana awalnya akan kupakai di acara lamaran Kak Attar tapi entah kenapa dia gagal mengadakan lamaran itu. Jadi gamisnya menganggur di lemari hingga kini.  Mbak Rifka merias wajahku dengan sangat baik. Dia juga yang memakaikan hijab yang senada dengan gamisku. "Cocok nggak riasannya? Sarah Rusady emang cantik, ya," Puji Mbak Rifka kemudian. Aku hanya tersenyum tipis menjawab pujiannya. Gegas kuminta Pak Marto menyiapkan mobil untuk mengantarku ke Cafe Pelangi di jalan Pajajaran 5. Di dalam mobil hatiku mulai berdebar tak karuan. Tak bisa kubayangkan bagaimana ekspresi Mas Indra dan perempuan itu nanti jika melihatku di sana apalagi kupermalukan di depan banyak orang. Duh sebenarnya aku tak suka membuat keributan, tapi mereka yang mulai duluan. Bahkan akhir-akhir ini, perempuan itu mulai sering menelepon Mas Indra tengah malam. Benar-benar tak punya adab. "Sudah sampai, Bu," ucap Pak Marto pelan. Dia melirikku dari spion. Aku mengangguk pelan bersiap untuk turun dari mobil. Kudengar suasana di dalam sudah cukup ramai. "Bapak mau nunggu di sini apa pulang dulu, Pak? Mungkin saya juga nggak terlalu lama di dalam," ucapku sebelum turun dari mobil. Pak Marto menoleh ke belakang. "Saya tunggu saja, Bu. Di pos satpam sambil ngobrol," jawabnya lagi dengan menganggukkan kepala. Dengan mengucap Basmallah, aku melangkah masuk ke dalam cafe. Ada sebuah panggung kecil di depan sana, seorang MC mulai membacakan acara selanjutnya. Aku sendiri tak tahu acara sebelumnya seperti apa karena memang sudah terlambat. Kedua mataku masih mencari sosok Mas Indra karena sejak tadi aku belum menemukan batang hidungnya. Tak lama kemudian, seseorang menyenggol lenganku. Dia menoleh cepat. "Sarah? Kamu Sarah istrinya Indra, kan?" tanya laki-laki yang tak asing itu padaku. Dia sedikit gugup saat melihatku sudah berada di sini. "Kenapa nggak bareng Indra? Dia sudah sampai di sini dua jam yang lalu" Aku hanya tersenyum tipis menjawab pertanyaannya. "Do, tolong bilang sama si MC aku mau pinjam mikrofonnya sebentar. Mau kasih kejutan buat Mas Indra," ucapku serius. "Kejutan?" tanya Edo singkat. Dia mengerutkan dahinya seakan tak percaya apa yang kukatakan. Mungkin dia pikir, kejutan apa yang kuberikan sedangkan aku tak membawa apa-apa ke cafe ini kecuali tas kecil di tanganku. "Bisa, kan, Do? Paling cuma 5-10 menitan kok. Nggak terlalu mengganggu susunan acaranya, kan?" Edo hanya mengangguk pelan. Aku yakin panitia acara juga akan mengijinkan karena Mas Indra juga salah satu panitia dalam acara ini. Apalagi dia cukup terkenal saat di sekolah dulu. Edo melambaikan tangan ke arahku yang masih duduk santai di bangku belakang. Dengan mantap kumelangkah ke atas panggung. Mas Indra dan perempuan itu ternyata duduk di sisi panggung, bicara begitu intens hingga tak sadar aku sudah berada di sini untuk mempermalukan mereka berdua. "Selamat siang teman-teman semua. Maaf mengganggu sedikit acaranya, ya. Di sini saya cuma minta 5-10 menit waktunya saja," ucapku memulai pembicaraan. Kulirik Mas Indra menoleh cepat ke sumber suara. Dia terlihat tolah-toleh tak nyaman karena melihatku berada di panggung ini. Sepertinya dia ingin bertanya entah pada siapa. "Perkenalkan saya Sarah Rusady-- istri Indra Pramudya Kurniawan yang sedang asyik ngobrol dengan Siska Kurnia Putri, primadona di kampus abu-abu kita. Saking asyiknya ngobrol sampai Mas Indra tak sadar jika istrinya sudah ada di atas panggung. Iya kan, Mas?" Mas Indra makin salah tingkah pun perempuan itu melotot tajam ke arahku. Aku tak peduli. "Ohya teman-teman, kalian pasti tahu dong kalau Mas Indra adalah suami saya? Apa kalian juga tahu kalau primadona di sekolah kita dulu yang bernama Siska Kurnia Putri itu sudah menjadi selingkuhan suami saya? Entah sejak kapan saya pun tak tahu. Tapi yang jelas, dia selalu meneror Mas Indra tiap tengah malam. Bahkan saya cek di rekeningnya, sudah puluhan kali Mas Indra mentransfer sejumlah uang di nomer yang sama. Nomer rekening atas nama sang primadona kita," ucapku lagi. Suasana makin berisik dan riuh. Terdengar suara mereka saling sahut menyahut. Bahkan banyak diantara mereka yang berdecak tak percaya. Perempuan sekelas Siska mau dijadikan yang kedua. "Ternyata kamu hanya mampu menjadi pelakor ya, Sis!" Sebuah bentakan dari seorang perempuan terdengar begitu lantang. Disusul dengan u*****n dari yang lain makin membuat suasana tak terkendali. "Heh perempuan bodoh! Jangan asal bicara kamu, ya! Kalau asal bicara dan tak punya bukti apa-apa lebih baik diam saja! Jangan banyak cakap!" Bentakan Siska membuatku meradang. "Perempuan bodoh yang meriaki perempuan lain bodoh, heh lucu sekali," ucapku sinis. Segera kuambil lembaran bukti transaksi Mas Indra yang sudah kuprint kemarin siang. Aku cek mutasinya via internet banking, lalu kuprint semua transaksi tujuh bulan terakhir ini. Kulempar dua lembar kertas itu ke arahnya. "Baca! Aku bukan perempuan bodoh seperti kamu yang hanya mampu menjadi perusak rumah tangga orang. Jelas tertulis di situ suamiku mengirimimu duit setiap dua minggu sekali selama beberapa bulan terakhir. Asal kamu tahu nona Siska, uang yang kamu makan itu adalah uangku! Lebih tepatnya uang kakakku! Bukan uang suamiku karena dia tak memiliki apa-apa selain baju yang melekat di tubuhnya!" Ucapku ketus. Mas Indra dan perempuan itu saling tatap tak percaya. Teman-temannya makin banyak yang mengejek dan meledek. Mereka tak menyangka sekelas Siska yang selalu ingin tampil wah dan mewah ternyata hanya menajdi benalu di kehidupan orang lain. Kulihat wajah kedua manusia tak tahu diri itu merah padam karena malu. Aku yakin kali ini Siska tak bisa beralibi lagi. Dia mati kutu. "Asal kamu tahu, Sar. Aku sudah menikah siri dengan Mas Indra empat bulan lalu. Jadi aku juga berhak menikmati gaji suamiku sendiri!" Teriaknya. Mataku membulat seketika. Oh jadi mereka sudah menikah siri empat bulan lalu? Tak kusangka hubungan mereka sudah sejauh ini. "Empat bulan lalu?" Tanyaku singkat. "Ya, aku sudah menikahi Siska empat bulan lalu," jawab Mas Indra membenarkan. "Kamu tak bisa melarang, Sar. Karena toh sampai tiga tahun ini kamu juga belum dikaruniai momongan. Aku juga sudah mapan, lagipula laki-laki berhak memiliki empat istri, kan? Kamu pasti juga tahu itu," ucap Mas Indra mulai bisa unjuk gigi. "Mapan katamu? Bahkan detik ini juga kamu aku pecat dari kantor kakakku. Jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke kantor itu, Kak Attar tak sudi memiliki bawahan sepertimu! Ambil ini sebagai pesangon!" Ucapku lagi seraya melangkah pergi. Terdengar keributan di belakangku. Bahkan para perempuan saling bersahutan mengejek Siska.  "Tampar aja, Mbak. Pelakor kurang ajar begitu!" "Cakar aja wajahnya yang sok imut itu, Mbak!" "Emang dari dulu dia sok kecakepan kok. Nggak tahunya cuma murahan!" "Satu lagi, Mas. Tolong katakan sama perempuanmu itu. Empat bulan lalu kalian menikah, tapi perempuanmu sudah minta jatah bulanan sejak tujuh bulan lalu. Baca buktinya di kertas itu dan jangan mengelak lagi. Benar-benar murahan! Makan saja duitku, aku ikhlas karena mungkin dia memang layak mendapat bantuan. Kalau miskin jangan sok bermewahan, Mbak. Malu sama dompet!" Kudengar gelak tawa begitu riuhnya di sana. Kutinggalkan cafe itu dengan perasaan lega. Tak peduli bagaimana ekspresi Mas Indra dan perempuannya saat ini. Yang pasti hatiku sedikit lebih tenang sekarang. Pak Marto segera menyiapkan mobilnya untukku. Sebelum masuk mobil kulihat Mas Indra berlarian ke arahku. "Sar ... tunggu. Aku akan menjelaskan sesuatu padamu," ucapnya dengan terengah-engah. Tak selang lama kulihat perempuan itu pun mengejarnya. Bajunya sedikit koyak di bagian lengan, rambutnya pun acak-acakan bahkan make upnya cukup berantakan. Entah habis perang darimana dia bisa sehancur itu. "Nggak perlu menjelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah jelas! Lihat perempuanmu itu, kasihan sehancur itu!" Gegas aku masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Marto untuk meninggalkan parkiran cafe. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD