Bab Empat

1332 Words
Evan terlihat masih mengecek laporan yang Ciara buat. Sengaja, ia meminta wanita itu untuk duduk di depannya selama ia mengecek laporan tersebut. Padahal biasanya, Ciara hanya perlu menyerahkan laporan tersebut, dan ia bisa kembali ke mejanya. Namun, entah kenapa kini Evan justru menahannya. Mungkin ini diakibatkan rasa rindu yang ia tahan seharian kemarin. Hingga, ia bisa bertindak gila seperti sekarang. "Maaf, Mas. Laporannya gimana, ya?" tanya Ciara, yang sudah merasa tak nyaman karna duduk di depan Evan selama lima belas menit. Hari ini, hampir semua karyawan pulang di jam normal. Hanya Evan dan Ciara saja, yang masih berada di kantor. Lantaran, Ciara harus menyelesaikan laporan yang sejak kemarin tak ia kerjakan karna ia tak masuk kerja. "Oh iya. Ini udah selesai, kok." Evan menyerahkan kembali berkas laporan Ciara, sebelum akhirnya wanita itu kembali ke mejanya. Tugas Evan, sudah selesai ia kerjakan semua. Namun, tidak dengan Ciara. Masih ada  beberapa tugas lagi, yang harus wanita itu selesaikan sebelum ia pulang ke rumah. Namun, Evan memilih tetap berdiam seraya berpura-pura mengerjakan sesuatu di komputer demi bisa menemani Ciara diam-diam. Dua puluh menit berlalu. Dan, Ciara akhirnya menyelesaikan semua tugasnya. Gegas, ia merapihkan mejanya. Kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas. Baru setelah itu, ia berdiri untuk meninggalkan ruangan. Evan yang melihat gerak-gerik Ciara, langsung ikut merapihkan mejanya. Dan, langsung menyusul Ciara. "Bareng, Ra?" tawar Evan, yang langsung ditolak halus oleh Ciara. Bukan apa-apa. Ciara, tak ingin merepotkan Evan kembali seperti kemarin. Meski, selama beberapa hari ke depan, orang yang biasa mengantar jemputnya, masih belum bisa mengantar jemput Ciara karna masih ada urusan di luar kota. Namun, ia lebih memilih untuk menggunakan angkutan umum saja seperti pagi tadi. "Ga pa-pa, Ra. Yuk, jalan." Sedikit memaksa, Evan menarik baju Ciara di bagian lengannya sedikit. Mau tak mau, membuat wanita itu tertarik untuk berjalan di belakang Evan. Ciara memegang pergelangan tangan Evan, lalu kemudian melepas pegangan Evan di bajunya. Hal itu, membuat Evan mengalihkan matanya menatap Ciara. "Saya bisa jalan sendiri," alasannya pada Evan. Evan mengangguk. Namun, ia meminta Ciara untuk berjalan di sampingnya. Hening. Keduanya tak ada yang mengeluarkan satu kata pun. Padahal, sejak kemarin saat Ciara tak masuk kerja. Evan, sudah bertekad akan berusaha lebih keras untuk mengejar Ciara kembali. Tak peduli, jika wanita itu akan menolaknya nanti. Yang penting bagi Evan, ia berusaha terlebih dahulu. *** Hujan turun, tak lama setelah mobil keluar dari parkiran. Inisiatif. Evan menawarkan Ciara untuk mampir ke satu kafe terlebih dahulu untuk sekedar membeli minuman hangat. Yang sayangnya, ditolak oleh Ciara. "Aku, boleh nanya satu hal, Ra?" Ciara yang tengah asik menatap rintik hujan yang mengenai kaca mobil, menoleh begitu mendengar suara Evan. "Tanya apa, Mas?" Evan tak langsung menjawab. Melainkan, malah tersenyum. Yang tentu, membuat Ciara heran. "Kenapa malah senyum?" tanyanya penasaran. "Kalau, kamu yang manggil aku 'mas'. Kesannya, malah jadi kaya panggilan mesra dari istri buat suaminya," jelas Evan, yang membuat Ciara membuang muka. Senyum di wajah Evan hilang. Berganti raut bingung. Niat hati, ingin mencandai Ciara. Tapi, respon yang didapat justru di luar perkiraan.  "Apa, ucapan gue barusan nyinggung dia?" "Kamu marah, Ra?" tanya Evan hati-hati. Ciara menggeleng. Meski dengan wajah yang tetap menatap ke luar jendela di sampingnya. Sedikit berdehem, Evan mencoba kembali mencairkan suasana. "By the way. Kamu, udah punya calon, Ra?" Mendapat pertanyaan seperti itu dari Evan. Sontak, membuat Ciara menolehkan kembali wajahnya menatap Evan. "Kenapa Mas tanya kaya gitu?" tanyanya balik, dengan nada yang tak enak Evan tangkap. "Karna, aku mau ngejar kamu lagi," jawab Evan jujur. "Maksud Mas?" "Maksudku, aku mau jadiin kamu pacarku lagi." Ciara terdiam. Tak menyangka, jika Evan akan mengatakan hal itu padanya. "Aku masih belum bisa lupain kamu, Ra. Hati ini, masih berdetak buat kamu seorang." Evan menjeda. Mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Ia, butuh banyak keberanian untuk mengatakan semua isi hatinya pada Ciara saat ini. "Aku, ingin mencoba mendekati kamu lagi. Boleh, kan?" "Pinggirin mobilnya," pinta Ciara yang membuat Evan tak mengerti. "Tapi, rumah kamu masih jauh, Ra." Evan menolak permintaan Ciara. Lagi pula, di luar sedang hujan. Ia, tak akan mau menurunkan Ciara di pinggir jalan. "Berhenti aku bilang." Mengabaikan ucapan Evan. Ciara, masih terus meminta Evan untuk menghentikan laju mobilnya. Mau tak mau, Evan menghentikan laju kendaraannya di tepi jalan. Namun, tak sedikitpun, ia berniat membuka kunci pintunya. Meski, ia melihat Ciara sudah membuka sabuk pengamannya. Bahkan, saat Ciara mencoba membuka pintu pun, Evan tetap diam. "Buka," perintah Ciara, tanpa menoleh. "Di luar masih ujan, Ra," tolak Evan. Sungguh, Evan tak mengerti. Mengapa Ciara bersikap seperti ini. Apakah, karna ucapannya barusan. Tapi, bukankah ucapan Evan tadi tak salah. Ia, hanya ingin Ciara mengetahui isi hatinya saat ini. Jika Ciara memang menolak, ia hanya perlu bilang saja. Tak perlu sampai bersikap seperti ini. "Aku ga peduli. Buka pintunya sekarang juga." Mengabaikan permintaan Ciara. Evan kembali melajukan kendaraannya. "Kamu ngerti ga sih, No? Berhenti aku bilang." Nada suara Ciara, mulai meninggi. Tak berniat menanggapi, Evan terus saja fokus pada jalanan yang mulai lengang karna hujan semakin deras. Ciara menahan amarahnya. Tak peduli, jika saat ini ia bersikap tak sopan pada Evan yang telah berbaik hati mengantarnya hingga ke rumah di hari yang hujan ini. Sesampainya di depan rumah Ciara, Evan masih belum membuka kunci mobilnya. Karna, ia masih ingin menyampaikan perasaannya pada Ciara. Namun sayang, sebelum Evan mengeluarkan kata-katanya. Ucapan dari Ciara, mampu mematikan pikirannya. "Aku harap. Kamu bisa melupakan keinginan kamu tadi. Jangan pernah mengharapkan aku kembali pada kamu, lagi." Ciara menekan tombol kunci secepat kilat. Setelahnya, ia langsung membuka pintu dan keluar dari mobil Evan. Tak lagi menoleh. Ciara terus berjalan masuk, meski hujan di luar masih sangat deras. *** Butuh waktu setengah jam, sebelum akhirnya Evan kembali melajukan kendaraannya. Itu pun, tak langsung ke rumah. Melainkan, ke rumah Tomo. Sahabat karibnya, sejak SMP. "Tumben, Van. Mampir pulang kerja gini." Tomo menghidangkan secangkir kopi ke hadapan Evan. Kemudian, ia duduk di samping kiri Evan. Ada sebuah meja kecil, yang menjadi pembatas di antara mereka. Memang, biasanya Evan hanya mampir di akhir pekan. Itu pun, jika Tomo tak mengajak keluarga kecilnya pergi bertamasya. Maka wajar, jika Tomo heran dengan kedatangan Evan yang tiba-tiba seperti ini. "Ciara, kerja di tempat gue." Terdengar suara batuk yang keras, akibat tersedak air kopi yang panas. Itu, berasal dari Tomo. Buru-buru, ia meletakkan cangkir kopinya di meja. "Lu serius, Van?" Evan mengangguk. Meski kepalanya masih menunduk menatap lantai di bawahnya. "Dari kapan?" tanya Tomo lagi. "Sebulan lebih." Tomo tak habis pikir. Bagaimana sahabatnya itu, bisa menyembunyikan semua itu darinya. Padahal, selama ini Evan selalu bercerita apapun padanya. Bahkan, dalam waktu sebulan ini pun, komunikasi mereka tetap lancar. "Terus, lu sakit hati tiap liat dia?" Kali ini Evan menggeleng. "Gue, malah seneng tiap hari bisa liat dia." Segaris senyum terukir di bibir Evan. "Ciara, udah jadi janda sekarang." Tomo terperangah. "Kok, bisa?" Evan mengangkat kedua bahunya. "Entah. Gue juga ga tau." "Terus, lu tau dia udah jadi janda dari mana?" "Dari temen gue, yang anak HRD." Hening menyelimuti. Tomo, bingung harus menanggapi seperti apa. Tomo tau, pasti tak mudah bagi Evan, yang selama ini selalu berusaha untuk melupakan Ciara, meski kenyataannya tak bisa. Harus bertemu setiap hari dengan wanita itu. Inginnya, Tomo memberi kata-kata semangat pada Evan. Namun ia tau, itu terlalu klise. Tomo, yang selama ini membersamai Evan. Ia, yang tau bagaimana hancurnya Evan saat Ciara meninggalkan lelaki itu. Padahal, semua persiapan untuk melamar Ciara, sudah hampir Evan rampungkan. Semua, tersimpan rapi di dalam kamar kecil di rumah Evan. Kamar, yang bahkan sampai sekarang tak pernah berani Evan buka lagi. Karna, semua barang itu ia beli sesuai dengan kesukaan Ciara. Pernah beberapa kali Tomo mengenalkan Evan pada teman-temannya. Bahkan Nita, istri Tomo pun, ikut membantu suaminya itu dengan mengenalkan sanak saudaranya pada Evan. Namun, tak satu pun dari mereka yang berhasil merebut perhatian Evan barang sedikit saja. Hati Evan, terlalu penuh dengan Ciara. Hingga, tak ada lagi celah untuk wanita lain memasukinya. Maka, jika kini Evan harus dihadapkan pada Ciara lagi. Hanya ada dua pilihan bagi Evan. Menjadikan wanita itu miliknya, lagi. Atau, melajang selamanya karna memang hatinya tak bisa berpaling.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD