Bab Tiga

1217 Words
Bisa merasakan pulang tepat waktu, adalah sesuatu yang mewah bagi Evan. Meski, ia sendiri tak keberatan untuk lembur. Karna, percuma pulang tepat waktu. Jika begitu sampai rumah, yang ditemui hanyalah kesunyian saja. Sesampainya di depan lift, ia bertemu Ciara. Namun, seperti biasa. Wanita itu, mengacuhkan dirinya. Begitu memasuki lift, Evan langsung berbasa-basi dengan Ciara. "Pulang sendiri, Ra?" "Ya?" Ciara terlonjak kaget, saat mendengar suara Evan. Evan menggaruk dahinya. "Kamu, pulang sendiri?" tanyanya ulang. "Oh. Engga. Ada yang jemput, nanti" Bahu Evan merosot, demi mendengar ucapan Ciara barusan. Di pikirannya, mungkin yang biasa menjemput adalah orang yang spesial bagi wanita itu. Ciara menundukkan wajahnya, menatap kedua sepatunya. Evan pun, mengikuti arah pandang Ciara. Sebuah senyum, terbit di bibirnya. "Kamu, masih pake sepatu itu, Ra?" "Sepatu?" tanya Ciara tak mengerti. Evan mengangguk. "Iya. Sepatu yang aku kasih." "Oh, iya. Aku lupa, kalau sepatu ini dari kamu." Lagi-lagi, bahu Evan merosot mendengar ucapan Ciara. Evan pikir, Ciara ingat jika sepatu yang ia gunakan adalah pemberiannya saat mereka baru lulus kuliah dulu. Nyatanya, wanita itu melupakannya. Bahkan, meski sepatu itu tengah ia kenakan. Denting suara lift, menyadarkan keduanya bahwa mereka telah sampai di lantai tujuan. "Saya duluan, Mas." Ciara menundukkan kepalanya sopan. Lalu, meninggalkan Evan yang terdiam di dalam lift. Hingga pintu lift tertutup kembali. Evan, masih saja terdiam di sana. Beberapa menit berlalu, baru lah Evan tersadar dari lamunannya. Gegas, ia menekan tombol agar pintu terbuka kembali dan ia keluar dari sana. Belum lama ia menjalankan kendaraannya, tertangkap oleh indera penglihatannya, sosok Ciara yang masih berdiri di pinggir jalan. Segera, ia memperlambat laju kendaraannya dan menepi di depan Ciara. Tanpa membuang waktu, ia menurunkan kaca mobilnya cepat. "Masih nunggu jemputan, Ra?" Ciara yang awalnya bingung, karena ada mobil asing yang berhenti di hadapannya, langsung paham begitu kaca mobil itu turun sepenuhnya. "Oh. Iya, Mas," jawabnya sambil menunduk. "Masih lama ga jemputannya?" tanya Evan lagi. Ciara mengangkat kedua bahunya. "Ga tau, sih." Ia, mengedarkan pandangannya menatap jalanan. "Aku anter aja, mau?" Kini, mata Ciara menatap Evan, yang juga sedang manatapnya. Kemudian, dengan cepat memutus kontak mata keduanya. "Ga usah, Mas. Terima kasih," tolak Ciara halus. "Atau mau tunggu di dalam mobilku, aja? Udah mau ujan ini." Ciara menatap langit. Benar. Awan gelap semakin menggumpal. Bahkan, rintik kecil pun, sudah mulai ia rasakan sejak beberapa waktu lalu. Ia yakin, sebentar lagi awan-awan itu pasti akan menurunkan muatannya ke bumi. Namun, rasanya ia tetap enggan untuk menggerakkan kakinya bahkan untuk sekedar mencari tempat berteduh. Tak sabar melihat Ciara yang masih diam, Evan melepas sabuk pengamannya. Kemudian turun dan mengitari mobilnya untuk membuka pintu sisi kiri mobilnya. "Masuk!" perintahnya, tak ingin ditolak. Ciara menatap Evan dan kursi penumpang bergantian. Dan, tubuhnya terduduk di kursi seketika karna Evan mendorongnya cepat. Kembali, Evan mengitari mobilnya dan masuk ke mobilnya. "Kamu, mau di sini aja. Atau, mau aku anter pulang?" tanya Evan, saat ia sudah duduk manis di belakang kemudi. Ciara terdiam. Bingung. Harus mengambil keputusan yang mana. Setelah menimbang selama beberapa saat, Ciara akhirnya memilih untuk langsung pulang. Toh, yang biasa menjemput pun, sudah memberi kabar bahwa ia tak bisa menjemput hari ini. Jadi, dari pada menunggu taksi kosong yang entah kapan lewatnya. Ciara setuju diantar pulang oleh Evan. "Aku anter kamu ke mana?" Evan mulai menyalakan mesin kendaraannya.  "Jalan, aja. Nanti, saya arahin jalannya." Sebelah alis Evan terangkat. "Seriously? Kamu ngomong pake bahasa formal sama aku, kaya di kantor?" Ciara menautkan kedua tangannya. Tanda, bahwa ia sedang gugup. "Maaf, Mas. Apa, saya salah?" Entah kenapa, Ciara ini suka sekali menundukkan wajahnya di hadapan Evan. Apa, wajah Evan begitu mengerikan. Hingga, wanita itu enggan menatapnya. Pikir, Evan. "Ya, ga salah, sih. Tapi ini kita lagi di luar kantor loh, Ra. Masa iya, kamu kaya orang asing ke aku." Lelaki itu, sudah menghadapkan tubuhnya ke arah Ciara. "Maaf." Evan menarik napasnya panjang. Tak ingin berdebat, di kesempatan pertamanya bersama Ciara. Ia, lebih memilih untuk menjalankan mobilnya segera. Menempuh perjalanan selama dua puluh menit dengan sedikit macet di satu titik. Akhirnya, mereka tiba juga di tujuan. Evan, menatap heran rumah di depannya. "Kamu beneran tinggal di sini, Ra?" Ciara hanya mengangguk sebagai jawabannya. Ciara membuka sabuk pengamannya. "Terima kasih, sudah mengantar saya pulang, Mas. Maaf, ga bisa nawarin mampir. Karna, saat ini lagi ga ada orang di rumah." Evan menggangguk paham. "Ga masalah." Evan memajukan tubuhnya hingga ke depan Ciara. Sontak, Ciara memundurkan tubuhnya hingga menempel pada sandaran kursi. Kemudian, Evan membuka laci dashboard, dan mengambil payung lipat dari sana. "Ini." Evan menyodorkan payung itu pada Ciara. Ciara menatap bingung pada payung itu. "Buat apa?" Evan menunjuk hujan di luar jendela dengan dagunya. "Biar kamu ga keujanan." "Tapi, saya tinggal lari aja, kok." Dengan gelengan kepala, Evan memberitahu ketidaksetujuannya dengan ide Ciara barusan. "Pake aja, pokoknya." Dengan ragu, Ciara menerima payung tersebut. "Terima kasih," ucapnya, seraya keluar dari mobil Evan. Evan masih menatap punggung Ciara. Bahkan, ia masih mengingat aroma tubuh Ciara, yang bercampur aroma parfumnya. Parfum, yang ternyata masih sama dengan yang dulu ia gunakan. Aroma yang sangat Evan hapal. Dan, aroma itu tak akan tercium jika jarak dengan Ciara tak dekat. Karna memang Ciara selalu menggunakan parfum sekedarnya saja. Hingga tubuh Ciara, menghilang di balik pintu. Barulah, Evan kembali menjalankan kendaraannya.  *** Evan tiba di ruangannya, sepuluh menit lebih lambat. Itu karna, ia berbincang terlebih dahulu dengan Bahtiar. Wakil direktur, sekaligus teman dari almarhum ayah Evan. Bagi Bahtiar, Evan lebih dari sekedar pegawai. Ia, sudah menganggap Evan sebagai anaknya sendiri. Karna ia memang sudah mengenal Evan sejak masih bayi. Namun, bukan berarti Evan bekerja di sana karna koneksi dari Bahtiar. Bahtiar, justru tak tau jika dulu Evan melamar sebagai pegawai baru di tempat ia bekerja. Ia tau Evan bekerja di sana, saat sedang makan siang di kantin dan mereka bertemu secara tak sengaja. Mulai dari sana, mereka mulai dekat kembali setelah terakhir kali bertemu saat proses pemakaman ayah Evan. "Loh. Ciara ga masuk, Din?" Evan memperhatikan kursi Ciara yang masih kosong. Andin mengalihkan tatapannya dari layar komputer di depannya, ke arah Evan. Kemudian, beralih melihat meja kosong di sampingnya. "Kurang tau ya, Mas. Belum ada ngasih kabar ke aku mbak Ciaranya." Mengangguk mengerti, Evan pun, duduk di mejanya. Mungkin, ia akan bertanya pada Ciara sore nanti di rumahnya. Jika, sampai waktu pulang wanita itu belum memberi kabar sama sekali. Saat sedang mengerjakan laporan, Evan melirik pemberitahuan yang muncul di pojok bawah layar komputernya. Itu, pesan yang berasal dari Ciara. Segera, ia membuka isi pesan tersebut. "Pagi, Mas. Mohon maaf, hari ini saya ijin ga masuk kerja karna ada keperluan di luar." Mendesah berat, Evan mulai merasa merindukan wanita itu. "Baik." Hanya seperti itu, Evan membalas pesan Ciara. Ia, tak ingin konsentrasinya hilang karna memikirkan wanita itu terus. "Makasih, Mas." Evan hanya melirik pada notifikasi tersebut. Tanpa berniat membalas, atau bahkan sekedar membuka saja. Seharian tanpa Ciara, sukses membuat mood seorang Evan anjlok hingga ke dasar. Ia, yang mulai terbiasa mencuri pandang pada wanita berhidung mancung itu, tak bisa melakukan kebiasaan itu hari ini. Berkali-kali, Evan memutar ponsel dengan layar yang menampilkan gambar wanita yang dirindukannya. Berharap, satu saja pesan masuk ke ponselnya dari wanita itu. Meski, harapan itu hanya sia-sia. Evan menghela napas berat. "Sadar, Van. Lu udah bukan siapa-siapa dia, lagi." Inginnya, Evan move on dari Ciara. Nyatanya, tetap tak bisa. Apalagi, pertemuannya kembali yang hampir setiap hari. Sukses, kembali menyuburkan cinta di hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD