Bab Dua

1307 Words
Evan baru saja menyelesaikan sholatnya, saat ia melihat Ciara berjalan ke arah mushola kantor. Mengumpulkan seluruh keberaniannya, ia berdiri dan berjalan keluar dari sana. "Hai," sapa Evan, pada Ciara yang tengah melepaskan sepatunya. Ciara mendongakkan wajahnya, untuk melihat siapa yang menyapanya. Dan, secepat kilat ia menundukkan kepalanya kembali. Membuat Evan, bingung karnanya. Tanpa menjawab sapaan, Ciara berlalu begitu saja dari hadapan Evan. "Apa, sekarang gue kasat mata, ya? Atau jangan-jangan, gue emang mirip hantu? Makanya, Ciara kaget liat gue," gumam Evan. Tak ingin ambil pusing. Juga, perut yang sudah berdendang ria. Evan memilih untuk berjalan menuju kantin kantor. "Van." Dari jauh, Evan dapat melihat Zaid, yang duduk berhadapan dengan Danang, melambaikan tangan ke arahnya. Segera, ia menghampiri kedua sahabatnya itu. "Nih. Udah gue pesenin barusan." Danang menyodorkan nampan berisi makanan pada Evan. "Thank's," ucapnya berterima kasih. "Anytime." Evan menyantap makanannya. Sambil sesekali, menimpali obrolan Zaid dan Danang "Eh, Van. Anak baru di divisi lu, cantik, ya. Kalau, gue deketin dia bisa ga, ya?" Evan terbatuk, demi mendengar ucapan Danang barusan. Buru-buru, Evan menenggak habis minumannya. Zaid, yang duduk di sebelah Evan, menepuk punggung sahabatnya itu pelan. "Makanya, Van. Kalau makan tuh, baca bismillah." "Udah, kali," sungut Evan, setelah selesai minum. Evan menatap Danang. "Jangan jadi pebinor, Nang," saran Evan, yang membuat alis Danang berkerut. "Pebinor gimana maksud lu, Van?" tanyanya, tak mengerti. "Ya, jangan jadi perusak rumah tangga orang, maksud gue." Lagi, Danang mengerutkan alisnya. "Rumah tangga siapa, yang gue rusak?" "Ya, Ciara, lah." Ada yang berkedut, di hati Evan kala mengucap nama itu. Namun, ia memilih abai dengan apa yang ia rasa. "Bukannya, dia janda, ya?" Kini, giliran Zaid, yang buka suara. Sebagai salah satu staff HRD, Zaid jelas tau dengan pasti data karyawan yang ada di kantornya. Termasuk, Ciara yang baru saja mulai bekerja hari ini. Evan menatap Zaid, lekat. Membuat Zaid, sedikit ngeri karnanya. Dengan telapak tangannya, Zaid menampar pipi Evan pelan. Tatapan Evan, berubah menjadi kosong seketika. Di pikirannya, berputar banyak pertanyaan seputar Ciara. Terutama, tentang apa yang Zaid katakan barusan. "Za," panggil Evan tanpa menolehkan wajahnya. Zaid, hanya menjawab panggilan Evan dengan gumaman saja. "Yang barusan lu bilang, bukan bohong, kan?" tanya Evan memastikan. "Yang mana?" tanya balik Zaid, yang tak mengerti. Evan berdecak. "Itu, loh. Tentang, Ciara yang janda." "Oh. Iya, bener lah." Entah. Evan harus bersikap seperti apa. Haruskah, ia merasa bersyukur Ciara sudah menjadi janda. Yang mana, artinya ia bisa mendekati wanita itu kembali. Atau, haruskah ia merasa kasihan. Karna, Ciara harus menyandang status janda di usai yang masih sangat muda. "Tapi, kalau gue bisa balikan sama dia lagi. Dan, bisa nikahin dia lagi. Jadinya, Ciara ga bakal jadi janda, lagi," pikir Evan dalam hati. Seketika, senyum cerah terbit di wajah Evan, kala pikiran tersebut melintas di otaknya. Bahkan, senyum tersebut membuat kedua teman yang ada di dekatnya merasa ngeri. "Woy, sadar!" Zaid memukul kepala Evan. Membuat sang empunya meringis seketika. "Ah, rese, lu," umpat Evan, yang justru membuat kedua temannya itu tertawa terbahak. "Ya, lagian. Lu aneh banget. Tiba-tiba, bengong. Trus, tiba-tiba senyum ga jelas. Mirip orang gila tau ga, lu?" Zaid menggelengkan kepalanya. Evan memilih acuh. Kembali, ia melanjutkan acara makannya yang tertunda. *** Kembali melembur, bukan hal yang aneh bagi Evan. Namun, lembur kali ini membuatnya bersedih. Lantaran, Ciara sudah pulang terlebih dahulu. Sebagai karyawan yang baru masuk hari ini, Ciara diijinkan untuk pulang lebih awal karna belum terlalu banyak memiliki pekerjaan di kantor. Hingga, Evan tak punya kesempatan untuk berbicara dengannya. "Semangat, Van. Besok, coba lagi," ucapnya, berusaha menyemangati diri sendiri. Layar ponsel Evan, menyala. Tanda, sebuah notifikasi masuk di sana. Sebuah pesan, yang berisi foto seorang wanita yang Evan kenal. Iya, benar. Foto itu, adalah foto Ciara, yang dijemput dengan menggunakan sebuah mobil hitam mewah. "Menurut lu, siapa yang jemput dia?" Itu, Danang yang bertanya melalui pesan grup, yang berisikan lima orang pria. Evan, Danang, Zaid, Iksan, dan Syarif. Kelimanya, merupakan teman satu kantor yang berbeda divisi. "Mungkin, calon suaminya." Jawaban dari Zaid. Sukses membuat bahu Evan merosot. Ia, tak terpikir jika Ciara mungkin saja sudah memiliki calon suami yang baru. Apalagi, Ciara adalah wanita yang cantik juga cerdas. Jadi, rasanya mustahil jika tak ada yang berminat padanya meski statusnya kini adalah janda. Seperti dirinya. Pasti, banyak juga lelaki di luar sana yang tak peduli dengan status yang disandang oleh Ciara kini. "Gue, liat sekilas tadi. Pengemudinya, udah paruh baya, gitu." "Masa, sih? Ga mungkin, kan kalau dia simpenan?" Membaca pesan terakhir, membuat emosi Evan mendadak naik. Obrolan di grup, masih berlanjut. Tapi, Evan lebih memilih untuk acuh. Ia, tau seperti apa Ciara itu. Rasanya, tak akan mungkin jika wanita itu menjadi simpanan om-om. Evan memilih menutup obrolan di ponselnya. Kemudian, beralih pada layar di depannya, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Meski, sudah berusaha acuh. Nyatanya, tetap saja pikirannya tentang Ciara tak berhenti. Ia, jadi terus menduga-duga tentang semua kemungkinan yang ada. Ciara, yang mungkin saja sudah banyak berubah dalam waktu tujuh tahun ini. Dan mungkin saja, ia sudah bukan Ciara yang Evan kenal lagi. "Aish." Evan mengacak rambutnya frustrasi. Ia, sulit berhenti memikirkan Ciara. Meletakkan kepalanya di meja, Evan mulai bergumam sendiri. "Ra. Apa kamu ga tau, kalau aku di sini masih terpaku sama kamu." *** Seminggu sudah, Ciara bekerja di kantor dan di ruangan yang sama dengan Evan. Namun nyatanya, Evan masih belum bisa mendekati Ciara kembali. Wanita itu, terus berusaha menjauh dari Evan. Bahkan, ia hanya akan berbicara dengan Evan jika terpaksa saja. Itu pun, hanya membahas masalah pekerjaan saja. Haruskah, Evan bertindak nekat dengan menculik Ciara ke rumahnya?. Sungguh. Evan rasanya sudah geram dengan dirinya sendiri, yang tak bisa juga dekat dengan Ciara hingga kini. Padahal, dulu ia dengan mudah mendekati wanita itu. "Van, ayo!" Syarif menghampiri Evan. Mereka, akan makan di luar seperti biasanya setelah gaji sudah cair. "Oh. Ayo." Evan pun, berdiri dan mulai mengikuti langkah kaki Syarif. Hari ini, Evan bersama keempat temannya akan makan di salah satu resto yang menyediakan makanan Italia. Meski, menunya hanya berupa pizza dan spagheti. Tak jadi masalah untuk mereka. Yang penting bagi mereka, bisa makan siang dengan menu yang berbeda. "Van, dapet salam dari Kanaya," ucap Syarif, di sela kegiatan makannya. Evan menoleh, dan mengangkat sebelah alisnya. "Kanaya, siapa?" "Anak baru di divisi gue," jawab Syarif. Memang, saat Ciara masuk kantor, ada beberapa karyawan lain juga yang masuk bersamanya. Hanya saja, mereka masuk ke beberapa divisi yang berbeda. Seperti Kanaya, contohnya. Wanita itu, masuk ke divisi penjualan di mana Syarif berada. "Oh. Ga kenal," sahut Evan acuh. Keempat temannya tersebut, menatap Evan dengan horor. "Kenapa, deh kalian liatin gue kaya gitu?" "Van, lu masih normal, kan? Masih suka kue apem, kan?" Mendapat pertanyaan seperti itu, sontak saja Evan merasa jengkel. Kotak tisu, pun sukses melayang ke kepala Danang. "Kalau gue ga normal, dari dulu gue udah grepe-grepein lu semua. Sialan," umpatnya. Semua tertawa terbahak, kecuali Evan. Dan, hal itu menambah rasa jengkel pada diri Evan. "Tapi, serius deh, Van. Lu, ga pernah suka sama satu cewe, gitu?" Kini, giliran Iksan yang bertanya. Satu-satunya pria, yang sudah menikah di antara mereka. "Pernah, lah. Bahkan, sampe sekarang gue masih belum bisa lupain dia." Evan menunduk, memperhatikan gelas berisi jusnya, yang sedang ia aduk asal. "Gagal move on, maksudnya?" Evan mengangkat bahunya. "Mungkin. Bisa dibilang, kaya gitu." Hening. Mereka tak menyangka, jika pria seganteng Evan bisa merasakan gagal move on, juga. Setau mereka, Evan termasuk dalam jajaran pria paling diincar di kantor. Fisik tegap sempurna. Ditambah, wajah mungil yang tampan dengan lesung pipi di bagian kanan. Tak lupa, hidung mancung yang mungil. Membuat tampilannya, masih seperti anak kuliahan. Jangan lupakan, posisi sebagai kepala bagian di kantor. Juga, sudah memiliki rumah dan kendaraan pribadi. Menambah nilai pada dirinya. Maka, tak heran jika semua wanita lajang di kantor, berebut mencari perhatiannya. Evan melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah mau masuk. Yuk, cabut." Mereka mengangguk, dan mulai meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD