09 - Berbulu.

2059 Words
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu cukup lama, akhirnya Brian dan Dean sampai di markas tersembunyi milik Brian. Markas tersebut terletak cukup jauh dari pusat kota, dan berada di tengah-tengah hutan belantara. Akses masuk ke dalam hutan tersebut di jaga ketat, jadi tidak sembarang orang bisa memasuki area tersebut. Kedatangan Brian dan Dean di sambut oleh Carlos, serta beberapa anak buah Carlos yang tak tak bukan adalah anak buah Brian juga. Mereka semua menunduk begitu Brian keluar dari dalam mobil. "Selamat datang, Tuan Brian," ucap Carlos begitu Brian sudah berdiri tepat di hadapannya. Brian membalas sapaan Carlos dengan anggukan kepala. Dengan langkah lebar, Brian masuk ke dalam markas, di ikuti oleh Dean juga Carlos. Hanya Brian, Dean, dan Carlos yang memasuki markas, sementara yang lain memutuskan untuk menunggu di luar markas. "Di mana orangnya, Carlos?" Brian sudah tidak sabar, ingin segera bertemu dengan orang yang berniat untuk melukai putrinya, Devina. Kedua tangan Brian sudah gatal, ingin segera menghajar orang tersebut sampai babak belur. "Dia ada di ruangan bawah tanah, Tuan Brian." Brian menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Dean dan Carlos yang sejak tadi berjalan tepat di belakang Brian. Brian berbalik menghadap Carlos juga Dean, dan tatapan Brian sepenuhnya tertuju pada Carlos. "Apa dia sudah sadar?" "Belum, sampai sekarang dia belum sadarkan diri." Tadi Carlos dan anak buahnya terpaksa membius orang tersebut karena terus memberontak, mencoba untuk kabur. "Baiklah, ayo kita bangunkan dia." Brian kembali melanjutkan langkahnya, begitu juga dengan Dean dan Carlos. Sekarang, Brian, Dean, dan Carlos sudah berada di ruang bawah tanah yang cukup luas dengan pencahayaan yang terbilang cukup terang. Brian menghentikan langkahnya, mengamati dengan seksama pria di hadapannya. "Carlos, apa kita tahu siapa namanya?" "Saya tidak tahu, apa ini nama asli atau bukan, tapi dari informasi yang kita dapatkan dari kartu identitas yang dibawanya, namanya adalah Alison." "Alison," gumam Brian dengan kaki yang kembali melangkah mendekati Alison. Brian menarik sebuah kursi, lalu meletakkan kursi tersebut tepat di depan Alison. Saat ini, Alison duduk di kursi kayu dengan kedua tangan terikat ke belakang, serta mulut yang di sumpal oleh kain, begitu juga dengan matanya yang tertutup kain serba hitam. Alison sengaja di ikat di kursi guna mencegah supaya Alison tidak kabur atau yang lebih parahnya, mencoba untuk bunuh diri. Alison mengerang, dan perlahan tapi pasti, Alison mulai tersadar. Carlos membuka kain yang menutupi mata, sekaligus kain yang menyumpal mulut Alison. "Lepaskan juga ikatan di tangannya, Carlos." "Baik, Tuan." Carlos menuruti perintah Brian, melepas ikatan dari tangan Alison. Brian memajukan wajahnya, mengamati wajah Alison secara seksama. Brian mencoba mengingat, apakah dirinya pernah atau mengenal pria di hadapannya ini? Dan setelah Brian ingat-ingat, ternyata dirinya sama sekali tidak mengenal atau pernah bertemu secara langsung dengan Alison. Brian menyandarkan tubuhnya di kursi dengan kedua tangan bersedekap. "Jadi, apa alasan kamu mencoba untuk melukai putri saya, Alison?" Bukannya menjawab pertanyaan Brian, Alison malah tersenyum lebar. Saat itu juga, rasanya Brian ingin sekali memukul wajah Alison. Alison tiba-tiba melepas sepatu kanannya, dan meraih sebuah pisau kecil yang memang ia simpan di sana. Semuanya terjadi dengan begitu cepat, membuat Brian, Dean, dan Carlos tidak memiliki waktu untuk mencegah Alison meraih pisau tersebut. "Alison le–" Dean tidak mampu menyelesaikan ucapannya karena Alison baru saja melakukan aksi bunuh diri dengan cara menggoreskan mata pisau tersebut ke urat nadi kedua tangannya. Dean dan Carlos berlari mendekati Alison, mencoba untuk menyelamatkan Alison, tapi semuanya terlambat. "s**t!" Brian berkali-kali mengumpat, tak bisa menutupi amarahnya begitu melihat Alison bunuh diri tepat di hadapannya. Bukan hanya Brian yang marah, tapi Dean dan Carlos juga sama marahnya dengan Brian. Mereka tidak menyangka jika Alison akan bunuh diri. Brian mendekati Alison, meraih kedua tangan Alison yang sudah berlumuran darah segar. "Ada tato bulan bintang di pergelangan tangan kirinya, tolong selidiki tato tersebut, Dean." "Baik, Tuan Brian." Dean menyahut cepat. Brian lalu pergi meninggalkan ruang bawah tanah dengan perasaan yang kacau balau. "Dean, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" "Panggilkan Dokter Liam, minta dia untuk memeriksa tubuh Alison, siapa tahu kita mendapatkan petunjuk lainnya." "Ok." Setelah itu, Dean pergi meninggalkan ruang bawah tanah, menyusul Brian yang saat ini sudah memasuki mobil, sementara Carlos langsung menghubungi Dokter Liam, meminta supaya sang dokter segera datang. Begitu Dean sudah memasuki mobil, mobil pun melaju pergi meninggalkan markas. "Bagaimana hasil penyelidikan tentang Alison?" "Ternyata kartu identitas yang di bawa Alison itu palsu." Dean baru saja menerima sekaligus membaca pesan dari Clara. Tadi Dean mengirim foto kartu identitas milik Alison pada Clara. Clara sudah memeriksa kartu identitas tersebut, dan ternyata itu adalah kartu identitas palsu. "Itu artinya nama aslinya bukan Alison," gumam Brian sambil memejamkan matanya. "Lalu apa lagi?" tanyanya penasaran. "Sampai saat ini, Clara masih mencaritahu siapa sebenarnya Alison." "Cari tahu siapa dia sebenarnya, secepatnya, Dean!" Titah tegas Brian. Brian tidak akan bisa tenang sebelum tahu siapa sebenarnya Alison, lalu apa tujuan serta motif Alison menyerang Devina? "Baik, Tuan Brian." Dean lalu menghubungi Clara, meminta supaya segera mencari tahu siapa Alison sebenarnya. *** Saat ini Devina berada di ruang keluarga. Devina sedang menunggu kepulangan Brian yang sudah pergi selama hampir 2 jam lamanya. Devina tidak sendiri, tapi bersama dengan Brianna. Brianna duduk di sofa, sementara Devina sejak tadi berdiri, sambil terus berjalan mondar-mandir ke sana ke mari dengan kedua tangan yang saling bertaut. "Kenapa Daddy belum datang juga?" keluh Devina untuk yang kesekian kalinya. "Sabar, Devina." Setelah itu, Brianna pamit undur diri. Brianna pergi ke dapur untuk membuat kopi. Sebenarnya Brianna bisa saja meminta pelayan untuk membuatkannya kopi, tapi kali ini Brianna memutuskan untuk membuatnya sendiri. Begitu Brianna pergi, barulah Devina duduk di sofa. "Mom, Daddy datang!" Devina langsung berteriak memanggil Brianna begitu mendengar suara mobil milik Brian memasuki halaman mansion. Brianna yang masih berada di dapur segera menghampiri Devina, dan keduanya pun pergi menyambut kedatangan Brian. "Sebaiknya kita bicara di dalam." Brian tahu, pasti ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Brianna dan Devina ajukan padanya, jadi sebelum keduanya mengajukan pertanyaan, Brian sudah terlebih dahulu bersuara. Sekarang, Brian, Brianna, dan Devina sudah duduk di sofa yang sama. "Bagaimana, Dad?" tanya Devina tidak sabaran. "Apanya yang bagaimana, Sayang?" "Orangnya, Dad, kenapa dia ingin melukai Devina?" Kali ini giliran Brianna yang mengajukan pertanyaan. "Dia hanya pencuri biasa, Mom. Jadi tidak perlu ada yang kalian berdua khawatirkan." "Benarkah?" "Iya, Sayang." "Lalu sekarang, di mana orangnya?" "Tentu saja dia sudah Daddy bebaskan, Devina." Brian tidak mungkin memberitahu Devina kalau pria tersebut sudah mati. "Ya sudah, sekarang Daddy mau ke kamar dulu ya." "Iya, Dad." Brian pergi meninggalkan Brianna dan Devina. "Sayang, Mommy mau menyusul Daddy ya." Untuk kedua kalinya Devina mengangguk. "Ok, Mom." Setelah mendapatkan jawaban dari Devina, Brianna bergegas menyusul sang suami yang baru saja memasuki lift. Brian tahu jika Brianna datang menyusulnya, karena itulah Brian menahan lift yang akan tertutup. Begitu melihat lift yang di masuki kedua orang tuanya sudah bergerak naik, Devina pergi menuju kamar Dean. Dean baru saja akan memasuki kamar mandi begitu mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya. "Siapa?" Teriak Dean tanpa berniat untuk membuka pintu kamarnya yang sudah terkunci. Jika yang datang adalah Han atau Arion, maka Dean akan meminta keduanya untuk datang lagi nanti. "Devina!" Devina membalas teriakan Dean, tapi tidak terlalu keras karena Devina tidak mau teriakannya di dengar oleh orang lain selain Dean. Dean melangkah menuju pintu, lalu membuka pintu kamar. "Ada apa, Nona Devina?" Bukannya menjawab pertanyaan Dean, Devina malah diam. Alasan Devina diam karena Devina baru saja melihat pemandangan yang bisa dikatakan cukup langka. Dean menatap lekat Devina, lalu mengikuti ke mana mata indah Devina saat ini memandang..Dean lantas membuka lebar pintu kamarnya, sengaja melakukan hal tersebut supaya Devina bisa lebih jelas melihat tubuhnya yang saat ini hanya terbalut handuk di bagian pinggang, sementara tubuh bagian atasnya dalam keadaan shirtles. "Akh!" Devina sontak berteriak. Teriakan Devina membuat Dean panik. Dean menarik Devina memasuki kamarnya, lalu membekap mulut Devina menggunakan tangan kanannya, dan segera menutup pintu kamarnya. "Shut!" Dean meminta Devina diam, tidak berteriak. Dean menempelkan telinganya di daun pintu, bernafas lega ketika tidak mendengr suara ribut di luar kamarnya. Awalnya Dean takut jika teriakan Devina akan mengundang reaksi dari para penjaga yang ada, tapi ternyata tidak ada yang datang. "Bukankah ini terlalu dekat?" Teriak Devina dalam hati. Saking dekatnya, Devina bahkan bisa menghirup aroma tubuh Dean. Aroma yang mampu membuat sekujur tubuh Devina lemas tak bertenaga. Atensi Dean kembali tertuju pada Devina. Dean menatap tajam Devina, dan tatapan tajam yang Dean berikan berhasil membuat Devina ketakutan. Dean sadar jika saat ini sang Nona sedang ketakutan, tapi Dean sama sekali tidak berniat untuk melembutkan pandangan matanya. "Jangan teriak!" Peringat tegas Dean. Devina mengangguk, dan setelah melihat anggukan Devina, Dean menjauhkan tangannya dari mulut Devina. Dean sadar jika saat ini jaraknya dengan Devina terlalu dekat, oleh karena itulah Dean mundur dua langkah. Dean menyandarkan tubuhnya di dinding sambil bersedekap. "Anda tahu Nona Devina, teriakan Anda bisa membuat orang lain berpikir jika saya baru saja melakukan sesuatu yang buruk pada, Anda." "Ma-maaf," balas Devina terbata. Devina menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Dean yang masih saja menatapnya dengan tajam. Sebenarnya Devina Bukannya takut pada tatapan Dean, tapi takut jika matanya terus memandang 8 roti sobek milik Dean yang terlihat sekali sangat menggoda dan sempurna. "Kenapa tidak berbulu ya?" gumam Devina tanpa sadar. Devina berpikir jika gumamannya tidak didengar oleh Dean, namun nyatanya, Dean mendengar dengan jelas ucapan Devina. "Apanya yang berbulu?" Pertanyaan Dean mengejutkan Devina. Devina tidak menyangka jika Dean akan mendengar ucapannya. Devina mendongak, menatap Dean dengan mata melotot. Ekspresi wajah Devina saat ini terlihat sekali sangat menggemaskan, sampai rasanya Dean ingin sekali mengabadikan momen tersebut melalui kamere ponselnya. "Jadi, apanya yang harus berbulu?Ini?" tanya Dean sambil menunjuk d**a bidangnya. Dengan cepat Devina mengangguk, tapi selang beberapa menit kemudian, Devina menggeleng. Tanggapan labil yang Devina berikan benar-benar membuat Dean gemas. Dean terkekeh, sementara Devina saat ini terlihat sekali kesal. Devina kesal pada dirinya sendiri yang bersikap labil. "Apa benar kalau pria itu hanya seorang pencuri biasa?" Devina tidak mau Dean terus menerus membahas tentang bulu, jadi Devina langsung mengajukan pertanyaan yang memang ingin ia tanyakan. "Ah, jadi dia merasa ragu. Dia belum sepenuhnya percaya dengan penjelasan yang tadi sudah Tuan Brian berikan." Dean membatin. "Iya, Nona, dia hanya pencuri biasa, kenapa?" Dean bertanya sambil menaikkan salah satu alisnya. "Ah, benarkah?" Devina ingin sekali mencoba untuk mempercayai ucapan Brian dan Dean, tapi entah kenapa, Devina merasa masih ada yang mengganjal di hatinya. "Tentu saja benar." Dean menjawab cepat. "Apa Anda meragukan jawaban saya Nona Devina?" Devina diam. "Ah, jadi benar, Anda meragukan jawaban saya. Apa Anda berpikir jika saya berbohong? Jika Anda meragukan jawaban saya, dan berpikir jika saya berbohong, itu artinya Anda juga menuduh Tuan Brian berbohong, bukan?" Devina mendongak, menatap Dean dengan kedua mata melotot, laou membantah dengan tegas tuduhan Dean. "Tentu saja tidak!" "Benarkah?" tanya Dean dengan nada mengejek. "Sudah, ah. Lebih baik aku pergi." Tanpa menunggu balasan dari Dean, Devina keluar dari kamar Dean. Setelah memastikan jika Devina pergi, Dean mengunci pintu kamarnya, lalu pergi menuju kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Saat ini Devina sudah berada di kamarnya. Devina duduk di pinggir tempat tidur, dan terus memikirkan tentang pria yang tadi siang sudah melukai Dean. Lamunan Devina di buyarkan oleh suara dering ponselnya. "Astaga, mengejutkan saja," gumam Devina sambil mengusap dadanya. Devina meraih ponselnya, tersenyum tipis begitu tahu jika sang kekasihlah yang saat ini menghubunginya. "Hai, Sayang." Benedick terlebih dahulu menyapa Devina. "Hai juga, Ben." "Ada apa? Apa sudah terjadi sesuatu yang buruk?" Benedick sadar jika saat ini suasana hati Devina sedang tidak baik-baik saja, terdengar dari nada bicaranya yang lesu dan tidak semangat seperti biasanya. "Iya." "Ceritalah." Devina lalu menceritakan tentang kejadian buruk yang tadi alami. "Apa kamu terluka, Baby?" "Tidak, Ben. Aku baik-baik saja, tapi pengawal aku terluka karena dia menyelamatkan aku." "Ah, jadi yang terluka adalah pengawal kamu." "Iya." "Baby, jangan merasa bersalah. Tugas pengawal memang melindungi majikannya, bukan? Saat mereka memutuskan untuk menjadi pengawal, maka itu artinya, mereka sudah siap mengorbankan nyawa mereka untuk melindungi Tuannya." "Aku tahu, Ben." Devina tahu, tapi tetap saja, Devina merasa sangat bersalah. "Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?" "Ok, besok kita jalan-jalan." Devina berpikir jika memang itulah yang ia butuhkan, jalan-jalan. Sekarang Devina hanya bisa berharap, semoga saja Dean akan memberinya izin untuk pergi jalan-jalan bersama dengan teman-temannya. Tak banyak yang Benedick dan Devina bicarakan, jadi obrolan antara keduanya berlangsung secara singkat. Devina meletakkan ponselnya di meja, dan memutuskan untuk tidur. Devina berharap jika saat nanti ia terbangun dari tidurnya, maka perasaannya akan menjadi jauh lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD