Tiga

2395 Words
"Dokter? Lo yakin, El?" Elara nyengir lebar sembari menggenggam cangkir kopi yang terasa hangat. Iseng-iseng ia menceritakan perihal kencan butanya kepada kedua sahabatnya, Nita dan Sara. Tentu saja tidak secara detail. Gila bila ia melakukan itu. Kepada Nita dan Sara, ia hanya mengatakan dirinya dan Angga berniat saling mengenal lebih jauh. Padahal kenyataannya tidak demikian. Hampir dua minggu berlalu, kencan buta bersama Angga merupakan kencan paling berkesan untuk Elara. Bukan karena siapa lawan kencannya, melainkan ajakan konyol bin sinting itu sukses membuatnya geleng-geleng kepala. Orang gila mana yang nekat menawarkan pernikahan absurd seperti itu? Dan yang lebih absurd lagi, Elara masih memikirkannya seperti orang bodoh. "Gitu, dong. At some point, you have to move on!" sambut Nita gemas. "Kenapa baru sekarang, sih?" "Baru dapat momennya." "Siapa namanya tadi?" Elara menyebutkan nama panjang Angga yang sukses disambut Nita dengan kening berkerut. "Kayaknya gue pernah dengar nama itu, tapi di mana, ya? Nggak asing banget di kuping gue," ujar Nita menggali ingatannya sejenak. "Ah, sudahlah." Nita mengibaskan tangannya, terlalu malas membuka peramban di ponselnya untuk mencari tahu lebih jauh "Jadi gimana? Memangnya kenapa kalau dia dokter?" Sara berpikir sejenak. "Nggak apa-apa, sih. Cuma, kayak nggak matching aja El nanti berjodoh sama dokter." "Maksud lo gimana, Sar?" timpal Elara ikut bingung. "Gini, guys. Gue kepikiran aja. Punya suami dokter memang keren. Tapi, memang berapaan, sih, gaji dokter? Jomplang banget sama penghasilan lo yang dua digit per bulan. Apalagi ini cuma dokter umum. Kita tahulah, dokter umum kayaknya kurang wow belakangan. Lain hal dokter spesialis, bisa banget penghasilannya di atas gaji elo," kata Sara sangsi. "Bisa aja dia punya praktik mandiri di rumah, kan?" timpal Nita. "Oke, wait!" potong Elara sembari mengerutkan dahi, tak menyangka perkara gaji menjadi bahan pembicaraan mereka. Padahal menurutnya itu adalah ranah pribadi. Rasanya sangat tidak etis. "Sorry, Sar. Bukannya gue nyombong atau gimana. Gue nggak lagi dalam tahap nyari suami buat nafkahin gue, tapi nyari orang buat gue ajak kerjasama dalam membangun rumah tangga. Lagian, memangnya kenapa kalau gaji gue lebih tinggi dari gaji dia? Kan, enak? Kalau nanti kami punya cicilan, bakalan cepat lunas karena bayarnya berdua. Ya, nggak, Nit?" Nita mengangguk membenarkan. "Benar banget. Itu juga prinsip yang gue anut sama suami gue. Kita kerja berdua, bikin rumah berdua, nyicil aset berdua, nabung berdua, biaya buat kebutuhan rumah tangga juga patungan berdua. Nggak ada istilah duit suami duit istri, tapi duit istri mutlak duit istri. Yang ada adalah duit bersama. No power play." "Itulah masalahnya," sahut Sara tak mengindahkan argumen Nita. "Lo merasa udah mapan, tapi lo kayak nggak tahu aja, laki-laki itu gengsinya selangit. Mereka takut sama perempuan mapan. Kalau gaji lo lebih tinggi, nanti lo dianggap nggak menghargai dia. Kalian bakalan lebih sering berantem." "Minder, gitu?" "Yes, minder." Sara menjentikkan jarinya. "Ah, suami gue enggak, tuh," balas Nita menyeruput minumannya. "Mending nggak usah nikah daripada nikah sama laki-laki minderan." Elara hanya bisa terperangah, tak menyangka di era kesetaraan gender seperti sekarang ini, masalah perbedaan penghasilan masih menjadi polemik. Namun di lain hal ia harus mengakui, dilema perempuan mapan di usia yang tak lagi kinyis-kinyis adalah susah mendapatkan jodoh yang setara atau lebih tinggi. Bukan juga sekadar mitos, terkadang nilai seorang perempuan dilihat dari kecantikannya, sedangkan nilai seorang laki-laki dilihat dari isi dompetnya. Dan kebanyakan standar laki-laki mapan adalah para perempuan cantik yang masih muda. Sialnya, Elara tidak punya keduanya. Rupa wajahnya adalah pengaturan default dari pabrik—ia hanya bisa memolesnya sedikit, dan umurnya sudah berkepala tiga. Double jackpot! Namun, ia tetap tidak bisa menerima argumen Sara. Memangnya kenapa kalau dia sudah mapan di usia kepala tiga? Salahkah? "Jadi, gue kudu kerja di entry level biar gaji gue berada di bawah suami gue? Atau gue harus cari laki-laki mapan yang posisinya di atas gue? Susah, Sar, standar laki-laki mapan itu bukan perempuan kayak gue." Sara terkesiap. "Gue curiga, apa jangan-jangan, gara-gara itu Beno ninggalin elo?" "Sar!" tegur Nita keras, sementara Sara menutupi mulutnya yang keceplosan. Elara mengepalkan tangannya erat-erat. "Oh, jadi Beno selingkuh dari gue karena kesalahan gue? Salah gue yang gajinya lebih tinggi dari Beno? Salah gue yang kariernya lebih bagus dari Beno? Iya?" "Udahlah, nggak usah dibahas," kata Nita menenangkan. Jarang sekali mereka membahas tentang Beno. Biasanya, Nita selalu mengalihkan pembicaraan bila nama Beno mulai disebut-sebut. "Demi Allah gue nggak pernah merendahkan Beno, Sar," sembur Elara sengit. "Mungkin aja, kan?" Sara yang merasa telanjur bicara melanjutkan, "Guys, kita memang belum pernah bahas ini, kan? Sorry, El, bukannya gue nggak bersimpati. Beno memang salah. Tapi ada baiknya elo juga introspeksi diri. Siapa tahu memang Beno nggak nyaman lagi sama elo. Karena gue lihat, elo terlalu ngatur dia. Laki-laki itu males diatur-atur atau dilarang-larang." "Jangan dengarin dia, El. Ada masalah apa di hidup lo sampai tega ngomong gitu, Sar?" sergah Nita berang, sedangkan Elara ternganga dengan raut syok. "Sorry, ini cuma pendapat gue. Kalau kalian nggak terima, ya, nggak apa-apa. Apalagi elo yang beruntung dapat suami yang sefrekuensi, Nit. Tapi sialnya, nggak semua laki-laki kayak suami elo, kan?" "Salah satu yang perlu dielus-elus egonya itu adalah suami lo?" tanya Nita menebak-nebak. "Dan Lo menganggap si Angga ini bakalan sama tipenya dengan suami elo?" "Kok, lo nyerang gue, sih? Gue cuma ngingetin, apa salahnya?" balas Sara defensif. Mukanya memerah. "Lagian menurut gue, di antara El dan Beno, El yang lebih dominan." Tepat ketika Nita hendak menyanggah pendapat Sara, ponsel Sara berbunyi. "Maaf nggak bisa lama, gue cabut dulu." Sara meraih tasnya. "Lo yang bayar kan, Nit?" katanya sambil menepuk bahu Nita, kemudian berlalu. "Apa-apaan, sih, dia?" gerutu Nita. "El?" Ia menyentuh bahu Elara yang termenung panjang. "Lo nggak apa-apa?" "Ya?" Elara tersentak. "Nggak apa-apa." Ia memaksakan senyuman. "Jangan didengerin. Dia cuma iri sama elo, mapan dan single." "Kenapa harus iri sama gue?" Elara tersenyum masam. "Di mana-mana perempuan berlomba-lomba buat being sold before thirty, Nit." "Hey, kita bukan barang!" Tatapan Elara menerawang. "Apa mungkin Sara benar, selama ini, gue terlalu dominan ngatur Beno? Makanya dia nggak nyaman lagi sama gue?" "Ya amplop," Nita mendesah memegang pelipisnya. "Kalau menurut gue, elo bukan ngatur Beno, cuma membantu ngarahin hidupnya biar lebih baik." "Tapi, tetap aja itu namanya ngatur, kan?" "El, hubungan elo dan Beno itu konstruktif, terlebih buat Beno. Keuangannya jadi lebih teratur. Penampilannya membaik. Kariernya bagus. Itu semua berkat andil elo." Elara mengusap mukanya. Matanya berkaca-kaca saat mengenang perjalanan cintanya dengan Beno. Mereka bertemu di awal Elara merintis karier sebagai management trainee. Beno bekerja sampingan di sebuah kafe di mana Elara dan timnya sering mengadakan meeting. Sering berkomunikasi membuat keduanya dekat. Saat itu Elara tahu dirinya dan Beno seumuran. Beno masih kuliah semester lima. Pria itu mengambil gap year dua tahun sebelum kuliah untuk mengumpulkan uang dengan cara bekerja serabutan. Hubungan itu dideklarasikan setelah enam bulan pendekatan. Backstreet, lebih tepatnya, atas permintaan Beno. Beno tidak percaya diri punya pacar seperti Elara dan juga tidak ingin Elara diejek teman-temannya dengan memacari Beno. Padahal, Elara tidak mempermasalahkannya. Elara bukan tipe perempuan yang gampang memercayai laki-laki. Ada semacam trust issue yang menggerogoti jiwanya sehingga ia tertarik pada karakter Beno yang pemalu, sopan dan tak banyak menuntut. Ia berpikir, laki-laki seperti itulah yang bisa membuat kepercayaannya terhadap kaum adam kembali pulih. Waktu berlalu, Beno tak segan-segan memperkenalkan Elara kepada keluarganya. Mereka menyambut Elara dengan baik. Salah satu hal yang membuat Elara sangat kehilangan adalah perhatian kedua orang tua Beno. Elara menganggap keduanya seperti orang tuanya sendiri. Tak ada sekat antara calon mertua dan calon menantu di antara mereka. Selama berpacaran, Elara yang mengajari Beno cara mengatur keuangannya. Elara yang menyimpan tabungan untuk biaya pernikahan mereka. Elara juga yang menemani Beno membangun karier, hingga Beno diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional. Jenjang demi jenjang karier ditapaki Beno, mulai dari staff finance dan saat mereka berpisah, Beno sudah di level supervisor. Tak ada gejolak berarti dalam hubungan mereka. Keduanya seperti anggota tim yang solid. Wajarlah ketika Beno menghianatinya, Elara syok bukan main. Tak ada gelagat Beno bermain api. Semuanya tampak normal. Kini, mau tidak mau ucapan Sara menohok jantung Elara. Akhirnya ia mampu menjawab pertanyaan klasik mengapa Beno meninggalkannya. Mungkin selain lebih cantik dan bohay, Tira bisa bermanja dan 'mengelus' ego kelelakian Beno, hingga Beno merasa dibutuhkan dan dipuja, sesuatu yang jarang didapatkan dari Elara yang cenderung mandiri mengatur hidupnya tanpa campur tangan orang lain. "Kamu kaku sekali." Terngiang-ngiang olehnya ucapan Angga yang lancang menilai dirinya dalam satu kali pertemuan. Dalam hatinya Elara kini membenarkan tentang sifatnya yang kaku dan jutek itu. Ia tidak pernah mengizinkan Beno repot-repot membawakan tas belanjaannya karena ia bisa membawanya sendiri, tak pernah meminta Beno repot-repot menjemputnya sepulang bekerja karena ia bisa pulang sendiri. Bermanja pada lelaki adalah sesuatu yang asing baginya. Ayahnya tidak pernah mengajarkannya seperti itu. Itu pula sebabnya ia bergidik melihat perempuan lain menampakkan sifat manja mereka pada kaum adam. Menjijikkan sekali! "Mungkin Sara benar, gue terlalu mengendalikan Beno," ucap Elara setelah termenung sekian lama. "Dia sering banget ngalah sama gue." "Tapi tetap saja perselingkuhan Beno bukan kesalahan elo, El. Kalaupun benar Beno nggak nyaman dengan hubungan kalian, alih-alih selingkuh, seharusnya Beno bilang terus terang dan kalian cari solusinya bareng-bareng," sanggah Nita. "Sudahlah, mungkin sebaiknya gue nggak nikah aja." "Well, lebih baik nggak nikah daripada menikah dengan orang yang salah. Every person has their own timeline. Mungkin memang belum waktunya aja buat lo." Elara tersenyum getir. "Elo satu-satunya teman gue yang ngasih nasihat kayak gitu, Nit. Bahkan keluarga gue masih getol nyariin jodoh buat gue. Iya, gue tahu, beberapa kali gue bilang ke elo kalau gue nggak mau nikah. Gue mau melajang sampai mampus. Barusan pun gue ngomong begitu. Ada semacam trauma bahwa gue nggak akan pernah lagi menemukan laki-laki yang tepat. Semua laki-laki itu sama saja, pengkhianat. Itu yang ada dalam otak gue. But sometimes, jauh di dalam sini," Elara menunjuk dadanya sendiri, "melihat elo punya pasangan, Sara punya pasangan, dan orang-orang lain membangun keluarga kecil mereka, gue iri banget, Nita. Gue iri. Gue juga kepingin punya rumah tempat gue pulang," rintihnya pedih. Nita meremas jemari Elara iba. "Gue ngerti perasaan lo, El. Gue juga ngerti elo punya trust issue sama bokap lo, dan kelakuan Beno memperparah itu." "Ah sialan, ngapain juga gue nangis." Elara menghapus air matanya, prihatin akan nasibnya sendiri. "Nit, jujur sama gue. Lo merasa terganggu nggak, kalau gue nginap di rumah lo?" "Terganggu, sih, enggak," jawab Nita sambil nyengir. "Tapi?" Nita menegakkan punggungnya dan berbisik, "Lo mau gue jujur atau gimana? Gue takut lo tersinggung." "Jujur aja, nggak apa-apa." "Orang bilang gini, El. Kalau lo udah nikah, jangan sering-sering membawa saudara perempuan lo, atau sahabat perempuan lo ke rumah. Takutnya, nanti saudara atau sahabat lo bakalan ngerebut suami lo." "a***y!" Elara melongo. "Serius, lo pernah mikir kayak gitu?" "I tried not to, but sometimes s**t happens, right?" Nita mengangkat bahu. "Tira dan Beno ... " Nita tidak melanjutkan ucapannya karena Elara pasti mengerti. "Oke." Elara mangut-mangut. Seingatnya, ia hanya memperkenalkan Beno kepada Tira satu kali saja. Entah bagaimana ceritanya mereka bisa menusuknya dari belakang. "Thanks udah jujur." "Nggak usah baper." "Enggak, gue nggak baper." Elara mengibaskan tangannya. "Lo udah nikah berapa tahun, sih?" sambungnya mengalihkan topik pembicaraan, enggan membahas tentang dirinya yang kini limbung diterpa kenyataan. "Masuk tahun ketiga. Kenapa?" "Belum kepikiran tentang anak? Atau, kalian childfree?" "Gue mau punya anak, kok. Kesehatan reproduksi kami berdua juga baik. But, maybe dua atau tiga tahun lagi. Tabungan kami belum cukup." "Tabungan apa?" "Tabungan pendidikan calon anak gue. Saat ini baru terkumpul sampai dia lulus jenjang SMA." "Hah?" Elara ternganga lagi. "Lo nabung biaya pendidikan calon anak lo mulai dari sekarang?" Nita mengangguk, kemudian bercerita terkadang prinsip yang ia anut dianggap aneh oleh orang lain. Salah satu kebutuhan anak yang paling krusial adalah biaya pendidikan yang semakin mahal ditambah inflasi per tahun yang gila-gilaan. Untuk itu, ia harus mempersiapkan biaya sampai anaknya lulus kuliah daripada berpusing-pusing belakangan. "Apa nggak terlalu berlebihan, Nit?" "Bebas, kok." Nita tersenyum kecil. "Setiap orang punya prinsip yang berbeda. Tinggal pilih mana yang cocok aja." "Benar juga, sih," angguk Elara membenarkan. "Oh, ya. Gimana pendapat lo soal wacana terbaru pemerintah? Katanya cuti melahirkan mau diperpanjang jadi enam bulan. Elo, kan, pengusaha, nih," kata Elara. "Sebagai karyawan, jelas gue senang. Tapi sebagai pengusaha, gue nggak setujulah, njir!" Nita mendelik. "Pengusaha itu tujuannya profit, bukan badan amal. Keburu boncos gue ngegaji orang enam bulan tapi nggak kerja. Aturan kayak gitu nggak cocok diterapkan di Indonesia. Di sini angka kelahiran udah tinggi. Nggak perlu disuruh pun orang-orang akan tetap beranak. Beda sama di Jepang atau Eropa sana, maternity leave dibikin panjang biar rakyatnya mau berkembang biak." "Benar juga, sih." "Kerjaan yang ditinggalin karyawan cuti itu bakalan dilimpahin ke karyawan lain, dan itu artinya beban ganda bagi karyawan lain. Gue juga pernah jadi karyawan, El. Gara-gara nge-backup kerjaan karyawan cuti melahirkan, gue sering kerja overtime dan sialnya gue nggak dibayar lebih. Belum lagi kalau nanti sialnya yang cuti ini kesundulan. Masa baru kerja beberapa bulan terus cuti lagi?" "Kecuali fee cutinya dibayarin pemerintah, bukan pengusaha." "Nah, kalau itu mungkin masuk akal. Tapi, gue nggak yakin pemerintah mau bikin anggaran buat itu. Menurut gue ini kayaknya akal-akalan politisi aja buat mendulang suara." Elara tertawa kecil mendengarkan argumen Nita. Wacana cuti melahirkan enam bulan bukan hanya dipandang berat oleh pengusaha, tetapi juga akan merugikan perempuan dalam jangka panjang akibat terciptanya gap gender yang cukup lebar. Dari segi produktifitas, jelas perusahaan akan lebih memilih karyawan laki-laki. Kalaupun pengusaha mengambil karyawan perempuan, akan diberi syarat tidak boleh menikah atau hamil dalam kurun waktu tertentu. Ditambah dengan kemungkinan karyawan perempuan harus puas sebagai karyawan kontrak, bukan sebagai karyawan tetap. "Lagian, nih, ya. Ibarat mesin, cuti enam bulan itu mesinnya udah dingin. Mau start engine lagi udah keburu susah. Mengurangi produktivitas perempuan juga karena udah kelamaan nggak pegang kerjaan. Tiga bulan udah pas, nggak lebih nggak kurang," sambung Nita lagi. "Kalau misalnya aturan itu jadi diterapkan, bakalan jadi lahan diskriminasi buat perempuan. Gue sebagai pengusaha mendingan cari karyawan laki-laki aja." Ponsel di atas meja bergetar. Elara dengan malas melirik identitas si penelepon. Ayahnya. "Ya, Pa?" sahutnya malas. "Besok pulang, El. Kita makan malam di rumah." "Maaf, nggak bisa, Pa. A—" "Pokoknya kamu pulang. Kami tunggu!" Telepon itu terputus, diiringi sumpah serapah Elara. "Bokap lo?" cecar Nita. Setahunya, telepon kedua orang tua Elara selalu sukses membuat temannya itu bertampang masam. "Si diktator," Elara memijat keningnya gusar. Ada apa lagi sekarang? *** Genks, mohon maaf buat yang nungguin PO nya AA, kayaknya bakalan molor yah (bukan kayaknya lagi, emang dah molor ini ??). Mood nulisku ambyar banget belakangan. Dimohon kesabarannya, hiyaaa ??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD