Empat

2449 Words
Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Atau khusus kasus Elara, musuh terbesar seorang perempuan adalah sesama perempuan itu sendiri. Tak jarang perempuan melihat perempuan lain sebagai saingan, mengukur diri sendiri dengan standar perempuan lain, berdandan paling cantik juga untuk menyaingi perempuan lain. Dan lihat saja orang-orang yang saling nyinyir dan saling menjatuhkan di media sosial didominasi oleh kaum perempuan. Women support women hanyalah dagelan basi! Itulah yang bercokol di benak Elara kini. Sembari bermacet-macetan di jalan menuju kediaman orang tuanya, kepalanya penuh memikirkan argumen sadis dari Sara. Tangannya sesekali meremas roda kemudi, terbakar oleh emosinya sendiri. Elara tak habis pikir mengapa Sara tega merisaknya atas pengkhianatan Beno. Mereka bertiga sudah bersahabat cukup lama. Hubungan mereka akur-akur saja. Nyatanya, selama ini Elara pikir Sara mengenakan topeng terbaiknya. Benarkah Sara iri karena dirinya single dan mapan? Apakah Sara merasa terancam? Oh, sial! Mengapa ia harus memikirkan Sara segala? Elara meraih ponselnya untuk kemudian memblokir nomor Sara sampai waktu yang tidak ditentukan. Biarlah ia dibilang baperan. Memiliki teman seperti Sara hanya akan menguras kewarasannya. *** Elara memasuki halaman rumah orang tuanya dengan langkah malas luar biasa. Seharusnya saat ini ia sudah sampai di kontrakan mungilnya, menyesap minuman boba dingin rasa vanila yang dibelinya sepulang bekerja. Jauh-jauh ia berkendara dari selatan ke barat demi sebuah undangan makan malam yang tak jelas juntrungannya. Ia mengintip sebentar, ruang tamu terlihat sepi dari luar. Rumah yang katanya tempat pulang, semenjak kuliah tak pernah lagi membuatnya nyaman. Hawanya seperti medan perang. Beberapa detik setelah ia menekan bel, seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh membukakan pintu depan. "Di depan mobil siapa, Bi?" tanya Elara atas keberadaan BMW hitam di pekarangan. "Tamunya Bapak, Non." "Oh." "Lagi di ruangan kerja Bapak kayaknya, Non," tukas perempuan itu lagi. "Mama mana?" "Di sini!" Sang ibu melambaikan tangan sembari tersenyum tipis dari ruang tengah. Perempuan itu tampil anggun dan cantik seperti biasa. Elara mengecup pipi ibunya sekilas saja. Meskipun enggan pulang, perempuan itu tetaplah ibunya. "Jadi, ada acara apa, Ma?" tembaknya langsung pada topik utama. Nora merengut. "Tanyain kabar Mama dulu kek." "Mama kelihatannya sehat." Nora mengembuskan napas kesal. "Gimana kelanjutan kencan butamu dengan Airlangga?" jawab sang ibu mengabaikan sahutan tak acuh putrinya. "Ada kemajuan?" Elara mengangkat bahu. "Biasa aja." "Pasti gagal lagi, kan?" Bahu Nora merosot. "Mama angkat tangan, El. Memangnya tipe pria seperti apa, sih, yang kamu mau?" "Aku nggak butuh pria mana pun, Ma. Lebih baik nggak punya suami daripada nggak punya uang. Nggak punya suami aku masih bisa hidup. Nggak punya uang nyawaku melayang." "Itulah salahmu terlalu menampakkan kemandirian hingga sulit dapat jodoh," sambar seseorang dari belakang. "Para pria enggan mendekatimu. Bahkan Beno pun meninggalkanmu." Elara sontak menoleh. Hatinya sungguh sakit mendengar tuduhan ayahnya. Lihatlah, bahkan ayahnya sendiri menyalahkannya. Tampak pria itu mendekatinya dengan mata menyorot tajam seperti biasa. "Jadi, image seperti apa yang harus aku tampilkan? Perempuan klemar-klemer yang suka merengek dan ngambekan?" Elara balas menantang mata ayahnya. Kedua tangannya terkepal erat. Pembuluh darah di pelipisnya berdenyut sebab ia menahan tangis. "Maaf, aku bukan Tira yang bisa memenuhi ekspektasi Papa. Pengalaman hidup menempaku menjadi seperti ini. Bila Papa keberatan, tanyakan pada diri Papa sendiri, sejauh mana peran Papa selama ini." "Elara!" Hadi melotot. "Beraninya kamu menjawab Papa!" "Beranilah! Papa keberatan?" tantang Elara lagi. "Sudah, sudah!" seru Nora menengahi keduanya. "Lihat anakmu itu, Ma. Mulutnya kurang ajar sekali!" "Sel telur tak bisa membuahi dirinya sendiri, Pa," kata Elara sinis, terluka mendengar ayahnya mengucap kata 'anakmu' seolah-olah dirinya bukan anak pria itu. "Atau jangan-jangan, aku tercipta dari s****a laki-laki lain, bukan s****a Papa?" ejeknya. "El!" Nora memutar bola matanya. "Jangan ngedrama kamu, ah!" "Kamu!" Hadi mengangkat tangan kanannya. Rahangnya bertaut. "Tampar saja, Pa. Udah lama juga, kan, kita nggak baku hantam?" Tangan pria itu sontak menggantung di udara. Tatapan mata anaknya yang menghunus tak kenal takut malah membuatnya surut. Tak lama kemudian, ia mengepalkan tangannya meredam emosi. "Jaga sikapmu di depan Alex. Jangan bikin Papa malu," pungkasnya sambil berlalu. "Siapa Alex?" Nora mengembuskan napasnya. "Calon jodohmu." "Apa?" Mata Elara pun menyipit kesal. "Kenapa, sih, kalian ngotot banget nyariin aku jodoh?" "Kami hanya menolongmu, El." "Aku nggak butuh ditolong. Nggak nikah pun aku akan baik-baik saja." "Cukup hargai saja usaha orang tuamu!" bentak Hadi berang. "Ayo kita makan." Ya Tuhan! batin Elara seketika menyesal datang malam itu. *** "Alex ini general manager di perusahaan rekanan Papa. Hebat sekali dia. Padahal umurnya masih muda," kata Hadi memperkenalkan Elara pada Alex, seorang pria ideal yang ia harapkan mampu membantu Elara melepas masa lajangnya. "Oh, ya. Alex juga belum pernah berpacaran. Benar begitu, Lex?" kekehnya berkelakar. "Benar, Om. Belum ketemu yang cocok." Alex tersenyum manis sembari mengangguk pada Elara. Elara membalasnya dengan senyuman kaku. Sepintas lalu ia mengamati Alex. Kulit pria itu kuning langsat. Garis rahangnya tegas. Cambangnya tumbuh merata dan tampak baru dicukur. Tubuhnya tinggi dan agak gempal, berbeda dengan Angga yang proporsional. Duh, kenapa si gila itu mampir di kepala gue? keluhnya dalam hati. Dua orang ART sibuk berlalu lalang membawakan piring dan peralatan makan. Gusar karena ucapan ayahnya, membuat selera makan Elara hilang. Untuk membalas sakit hatinya, ia bertekad mengibarkan bendera perang. Lihat saja nanti, sampai di mana ayahnya bisa bertahan. Selama makan malam berjalan, Alex dan ayahnya sibuk berbicara. Ibunya lebih banyak diam. Sesekali Alex membawa Elara dalam percakapan. Elara yang sedari awal enggan berbasa-basi hanya menanggapi seadanya. "Jadi setelah nikah, kamu akan tetap bekerja?" tanya Alex tiba-tiba. Elara mengerutkan dahi. Rasanya pertanyaan itu bersifat terlalu pribadi, tidak etis ditanyakan pada pertemuan pertama. Tidakkah Alex tahu etika? Haruskah mereka membahasnya di hadapan kedua orang tuanya? Lagian, memangnya gue mau nikah sama situ? "Tentu saja. Saya hanya akan berhenti bekerja atas kemauan saya sendiri. Memangnya kenapa?" "Nggak apa-apa." Alex tersenyum tipis. "Tapi kamu tahu, kan, kodratnya perempuan itu posisinya selalu berada di bawah laki-laki?" "Betul itu," sambar Hadi. "Oh, ya?" Elara balas menyeringai kecil. Nggak usah bahas-bahas kodrat sama gue. Ya kali kalau tampang situ seganteng Song Joong-ki, gue mah rela nurut sama situ. "Kamu itu kuper atau bagaimana? Nggak pernah dengar posisi woman on top? Bosanlah misionaris melulu." Muka Alex sontak merah padam. Begitu juga muka ayah Elara. Pria itu memberikan teguran lewat tatapan tajamnya. "Maaf, Lex. Elara terkadang memang frontal dan keras kepala. Bila kalian berjodoh nanti, Om harap kamu bisa membimbing dan memimpin dia menjadi istri yang baik," sindir Hadi. Dari seberang meja makan, istrinya menyembunyikan senyuman tertahan. "Tentu sa—" "Aku bisa memimpin diriku sendiri," potong Elara tak mau kalah. "Nggak usah repot-repot." "Elara!" Elara hanya mengangkat bahu sembari menyuap puding cokelat ke mulutnya. "Tugas istri dalam rumah tangga itu cuma satu, El. Nurut atau tunduk sama suami. Jangan bikin Papa malu seolah-olah Papa tidak pernah mengajarimu." "Benar kata Om Hadi," tukas Alex berusaha mencari simpati Hadi. Elara mengangkat alisnya pada Alex. "Memangnya kapan Papa mengajariku?" tanyanya kepada ayahnya. Alex menunduk, menyesal melibatkan diri dalam pertikaian ayah dan anak yang sepertinya hubungan mereka tak pernah akur itu. "Kodrat perempuan adalah sebatas hal-hal yang menyangkut bawaan lahir, pemberian dari Tuhan yang tidak bisa ditolak. Punya v****a, menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Dan lagi, tidak semua laki-laki capable jadi pemimpin, apalagi kalau cuma bermodalkan penis." Oh, terlepas dari tampang dan pembawaannya yang sering dibilang jutek, Elara pun bisa tampil seperti poison ivy, lemah tapi tetap berbisa. "Ya Tuhan, Elara!" seru Hadi murka. "Apa-apaan kamu!" "Aku cuma mengeluarkan hak berpendapat, salah satu hak yang dijamin dalam pasal-pasal human rights serta UUD 1945 pasal 28 ayat 3. Ingatanku ajaib, kan, Pa? Aku masih hapal isi pasal-pasalnya, lho." Elara menyeringai puas. Terbiasa hak bicaranya diberangus oleh kediktatoran ayahnya sejak dari rumah membuat Elara begitu frontal di luar sana. Ia menjadikan arena debat dan keikutsertaannya dalam organisasi-organisasi nirlaba sebagai ajang menyibukkan diri serta berperang opini. Mungkin itu pula sebabnya ia punya kapabilitas yang baik dalam dunia kerja, meski beberapa orang tidak menyukainya. Dan sebisa mungkin ia akan menutupi latar belakang keluarga yang tak pernah menjadi kebanggaannya. Nita bilang, kejutekannya adalah semacam defense mechanism atas trauma psikologisnya. Entahlah, mungkin Nita benar. "Oh, ya, bagaimana pendapat kamu tentang selingkuh dan poligami?" cecar Elara lagi. "Kamu nggak tumbuh dalam keluarga yang menganut sistem poligami, kan?" "Kenapa memangnya?" Alex mengerutkan dahi. Ia tak tahu kini Hadi dan istrinya mendadak tegang mendengar ucapan Elara. Suasana mendadak hening. "Nanya aja. Tumbuh di bawah komando orang tua yang menganut sistem poligami juga mempengaruhi keputusan anak-anaknya. Apakah si anak akan menolak sistem itu di sepanjang hidupnya karena trauma, atau sebaliknya menganggap itu hal yang lumrah dan menerapkan hal yang sama dalam rumah tangganya. Menurut kamu gimana?" Belum sempat Alex menjawab, Hadi berdeham. "Bisa ikut Om ke atas sebentar, Lex? Ada yang lupa Om bahas dengan kamu," katanya mengakhiri makan malam yang berjalan tak sesuai harapan itu. Sembari bangkit dari tempat duduknya, Hadi melayangkan tatapan tajam pada putrinya. Elara membuang muka sembari mendengus kecil. "El, Mama nggak suka kamu ngomong begitu sama Papa." "Bila Mama begitu lemah, biar aku saja yang bicara." "El—" 'Aneh, ya, Ma? Mama tampaknya baik-baik saja. Tapi tidak demikian dengan aku dan Arby, Ma," suara Elara bergetar. Kaca-kaca tipis melapisi bola matanya saat menatap objek kosong di dinding. "Kami berdua hancur. Aku tahu hubunganku dengan Mama dan Papa nggak begitu baik. Aku ini apalah, cuma si itik buruk rupa. Selalu Tira yang menjadi prioritas kalian. Bahkan saat Beno menghamili Tira, kalian sepertinya nggak keberatan. Yah, belakangan aku pikir, Tira satu tim dengan si jalang itu," katanya sumbang. Nora tersenyum masam. "Suatu hari nanti kamu akan mengerti alasan Mama, El, bahwa tidak semua perempuan yang bertahan dalam rumah tangga rusak adalah perempuan bodoh. Kamu hanya perlu memandang dari berbagai sisi seperti burung yang terbang di langit." Nora bangkit dari duduknya, meremas bahu Elara, kemudian berlalu pergi. Raut wajahnya mendadak letih. Elara terkekeh kecil menutupi kepedihan hatinya. Beberapa menit setelah itu, Elara ikut bangkit dari kursinya. Ia mencari tasnya dan bersiap pergi. Setibanya di halaman, mobil Alex sudah tak terlihat. Elara merogoh tasnya mencari kunci. Baru saja ia hendak pergi, terdengar ayahnya bicara di belakangnya. "Mengapa sikapmu kurang ajar sekali, El?" tegur Hadi datar. Tanpa menoleh, Elara berkata dingin, "Semenjak aku tahu Papa menikahi sekretaris Papa, Papa sudah kehilangan rasa hormat dariku dan Arby. Jadi jangan berharap kami akan menghargai Papa karena Papa sendiri tidak menghargai kami. Papa tahu kenapa Arby membangkang dan lebih memilih masuk militer? Papalah penyebabnya. Dia teramat marah dan kecewa." Hadi tertegun. Sampai mobil anaknya hilang dari pandangan, kakinya tak jua beranjak pergi. *** "Alex berniat mengenalmu lebih dalam. Kalau sekiranya kamu punya calon yang lain, cepatlah bawa dia ke Papa. Mama kurang sreg sama si Alex itu. Jangan-jangan nanti nasibmu sebelas-dua belas kayak Mama." Begitulah isi pesan singkat yang mampir ke ponsel Elara di siang menjelang sore itu. Elara hanya bisa mengembuskan napas kesal. Sepertinya si Alex itu tidak tahu malu. Bukankah dari gelagat Elara semalam sudah kelihatan bahwa dirinya tidak menyukai Alex, bahkan tidak simpati akan beberapa ucapannya yang sangat patriarki? Namun, sejenak Elara mengerti. Kalau benar pria itu belum pernah berpacaran sebelumnya, pantas saja tingkahnya songong sekali. Kepalanya mendadak pusing. Ia memijat-mijat pelipisnya sambil mengalihkan konsentrasinya ke pekerjaannya. Namun, sampai jam kerja berakhir, ia tetap tak bisa mengenyahkan isi pesan dari ibunya. Ditambah lagi telepon dari ayahnya yang sengaja tidak ia angkat. Elara buru-buru mengeluarkan mobilnya dari parkiran. Berkendara tak tentu arah sembari menyesap minuman boba, itulah yang akan ia lakukan menjelang malam yang akan tiba sebentar lagi. Ia menyusuri jalanan sampai tahu-tahu sudah melewati jalan tol Cawang Grogol menuju Jakarta Timur. Ada kemacetan di beberapa titik, tapi tidak begitu mengganggu perjalanan. Sembari berpikir, ia memainkan musik hiruk pikuk dari aplikasi Spotify di ponselnya yang disambungkan lewat bluetooth ke perangkat audio mobilnya. Mungkin nanti ia akan mampir ke rumah Nita saja. Begitu terjebak di dekat lampu merah, Elara menyipitkan matanya, memandang jauh ke depan. Nampak di depan sana gedung tinggi di terangi lampu-lampu yang bertuliskan Guna Persada Hospital. Pikirannya langsung melayang pada Airlangga. Ia terperanjat begitu ponselnya berbunyi. "Ya, Ma?" "Kenapa kamu nggak balas pesan Mama?" "Sibuk, Ma." "Jadi gimana? Punya calon nggak kamu?" "Punya. Nanti pasti aku ajak ke rumah." "Beneran, ya?" "Hmm. Dah, Ma." Selepas dari lampu merah, Elara membelokkan kendaraannya menuju parkiran rumah sakit. Biarlah ia dikata nekat dan tidak waras. Biarlah langkah sembrononya ia pikirkan belakangan. Sepertinya, pernikahan di atas kertas yang ditawarkan Airlangga jauh lebih menjanjikan daripada terjebak dalam perjodohan dengan lelaki yang salah oleh kedua orang tuanya. Dengan Alex, contohnya. Ia juga tidak yakin orang tuanya akan berhenti mencarikan jodoh. Jadi, lebih baik ia segera mengakhirinya, bukan? Harapan Elara, semoga saja Angga belum pulang. Semoga saja Angga bekerja di cabang rumah sakit yang sebentar lagi akan ia datangi. Bisa repot kalau ia harus mengunjungi rumah sakit lain. Setahunya, Guna Persada Hospital memiliki beberapa cabang di Jakarta dan Tangerang, belum lagi di belahan Pulau Jawa lainnya. "Maaf, dokter Angga ada?" tanyanya pada salah seorang perawat di depan IGD. "Siapa, Bu?" "Dokter Airlangga Gunardi," ulang Elara. "Dokter Angga ada di kantornya, Bu." "Boleh saya ketemu?" "Sudah ada janji, Bu?" "Oh, belum, sih. Cuma beliau minta saya mampir." Perawat tersebut memanggil security, kemudian menjelaskan tentang keperluan Elara. Security tersebut bergegas menuju pesawat telepon, kemudian berbicara sebentar. "Mari ikut saya, Bu," kata security tersebut mengajak Elara mengikutinya. Mereka berjalan melewati lorong memasuki bangunan utama, kemudian naik lift menuju lantai sepuluh. Elara hanya terbengong-bengong sekeluarnya dari lift sembari berpikir keras. Dokter macam apa si Airlangga ini sampai punya kantor sendiri? Security tersebut memintanya menunggu di luar sebuah ruangan, kemudian kembali lagi beberapa menit kemudian. "Silakan masuk, Bu," ucapnya. "Terima kasih," kata Elara mengikuti instruksi pria tersebut. "Bu Elara?" tegur seorang perempuan cantik menghampiri Elara. "Silakan tunggu sebentar, ya, Bu," sambungnya. Elara yang tak tahan menunggu, memutuskan mengekori perempuan itu dari belakang. Perempuan itu mendorong handle pintu. "Pak, ada Bu Elara." "Bisa tunggu sebentar? Kami hampir selesai." Elara berdecak kecil tanda tak sabar. Ia ikut menerobos masuk. "Hai, Dok. Ayo, kita menikah," katanya tanpa basa-basi. Sedetik kemudian, Elara menyaksikan Airlangga melongo, begitu pun perempuan yang tadi menemui Elara, kini menatapnya dengan mulut terbuka lebar. Suasana langsung hening. "El, kita bicara nanti, ya," ucap Angga tergopoh-gopoh mengusir Elara keluar. "Syila, tolong temani Elara." "Baik, Pak. Mari, Bu," kata perempuan bernama Syila itu mempersilakan Elara duduk di sofa tamu. Elara menurut saja. Untuk membunuh waktu, ia menyambar sebuah brosur berbentuk buku dari atas meja. Ia membolak-balik brosur tersebut dengan malas. Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan di dunia. Tiba-tiba matanya terbelalak. Di halaman pertama yang berisikan kata sambutan singkat, ia membaca nama Airlangga di sudut kanan bawah, lengkap dengan sederet gelar akademisnya. Namun, bukan itu yang membuat muka Elara pias, melainkan jabatan pria tersebut yang tertera di bawah namanya. Direktur. Direktur? Hah? Serius? Elara mengucek mata memastikan penglihatannya. Pertanyaannya pun terjawab. Dokter umum macam apa yang punya ruangan kantor seluas ini kalau tidak punya jabatan strategis. Matilah gue!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD