Elara menyesap air dingin yang diambilnya dari dalam lemari pendingin. Mulutnya kering kerontang. Berpura-pura di hadapan semua orang cukup menguras tenaganya. Ah, rasanya masih seperti mimpi!
"El."
Elara sontak menoleh. "Ben?" Matanya terbelalak. Segumpal rasa tidak nyaman menggelinding di dasar perut. Elara melirik resah ke segala arah.
"Hei." Beno menelan ludah membasahi kerongkongannya. Rona masam yang tadi menghiasi wajahnya di sepanjang acara berganti dengan raut getir. "Selamat, ya."
"Thanks." Elara membuang muka. Seharusnya ia segera menyingkir, tetapi kakinya terasa berat.
Detik demi detik berlalu, tak satupun berniat mengurai keheningan itu. Elara meremas botol minumannya.
"Kamu atau aku yang pergi?" kata Elara. "Aku nggak mau dituduh main mata dengan kakak iparku sendiri," sindirnya.
Beno menyunggingkan senyuman sedih. "Kamu benci banget sama aku ya, El?" Pertanyaan itu lebih menyerupai pernyataan.
"Menurutmu?" Elara baru sadar, badan Beno kini lebih berisi. Mungkin pernikahannya dengan Tira sedemikian bahagia. Menyadari itu, hati Elara seperti disayat-sayat.
"Sudah lama kita nggak saling bicara." Beno mengedarkan pandangan. "Ingat nggak, dulu kita lumayan sering nongkrong di sini? Itu ... " tunjuknya pada dua buah kursi kayu jati bercat coklat tua di sudut dapur, "kursi favoritmu, kakinya sudah goyang. Apa sudah patah, ya?"
Elara diam saja.
"Nggak dibuang saja, El? Catnya sudah lusuh begitu. Kontras banget sama kursi lain yang—yah ...." Tangan Beno terkulai. "Entahlah."
Seketika Elara tahu, bila Beno sudah bicara melantur, itu artinya pria itu gugup dan kalut. Sebentar lagi Beno akan meremas rambutnya, lalu meminta segelas air minum.
Benar saja. Beno mendekati Elara dan mengambil air mineral dari dalam lemari pendingin. Elara segera menjauh.
"Aku bukan kotoran, El," celetuk Beno melihat Elara menyingkir. "Maaf. Aku berdosa banget sama kamu."
Alih-alih menumpahkan amarahnya, Elara justru kasihan. Tatapannya menghunus tajam ke mata Beno yang balas menatapnya dengan bola mata tergenang.
Pria itu mengerjap-ngerjap. Mengenyampingkan rasa cemburunya, ia bersyukur Elara mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik. "I wish you're happy. Dia sempurna, kan?"
"Situ iri?"
"I tried not to ... tapi, kenapa hatiku sakit sekali, El?"
Elara pun tertegun. Tadinya ia pikir Beno bahagia bersama Tira, si Preity Zhinta KW dua yang kecantikannya tiada tara, serta anak mereka, Raka. Namun kala melihat ke kedalaman mata Beno, Elara tahu Beno tidak bahagia. Pria itu tersiksa.
"Mengapa aku harus peduli dengan perasaan kamu?" balas Elara.
"Ibuk kangen kamu. Tapi beliau tahu diri, kamu nggak akan pernah datang lagi."
Elara tersekat. Dirinya juga merindukan wanita yang dulu sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Seluruh amarahnya pun runtuh tak bersisa. Dasar perempuan lemah!
"What did I do wrong to you, Ben?" kata Elara nyaris berbisik. "Aku menemanimu dari minus. Ketika kamu bertumbuh, aku juga bertumbuh. Kita struggle bersama. Kita patungan beli mie instan kalau lagi bokek berjamaah."
Elara ingat saat menghabiskan seluruh tabungan serta gajinya untuk menyokong Arby di awal pendidikannya. Adiknya itu kehilangan segala fasilitas karena membangkang pada ayahnya yang menginginkan Arby kuliah di jurusan yang relevan untuk melanjutkan perusahaan konstruksinya. Di saat yang sama, Beno terseok-seok mengumpulkan uang untuk membantu pengobatan adiknya yang baru saja kecelakaan. Mereka bergumul dalam kubangan takdir yang sama. Tak mengeluh, melainkan menertawakan nasib untuk menghalau perut lapar yang tak cukup hanya diisi oleh dua bungkus mie instan.
Beno tersedak. "Kamu nggak salah apa-apa, El. Aku aja yang nggak bersyukur. Begitu mudahnya aku tergelincir. Aku—"
"Karena dia lebih cantik?" selidik Elara. Ia ingin sekali memaki-maki Beno, tetapi itu akan memancing keributan. Ia tidak ingin mempermalukan orang tuanya. Mati-matian Elara menahan emosinya.
Beno menggeleng.
"Andai saja kamu berterus terang, Ben, I'll make it easy, aku bakalan bikin segalanya jadi mudah buat kamu. Aku nggak bakalan ngemis sama kamu, nggak bakalan mempersulit pilihanmu. Meskipun di kesendirian aku nangisin kamu. Tapi, kenapa kamu malah bikin semuanya jadi rumit?" tanya Elara lirih. "Aku ... aku mungkin baik-baik saja kalau kamu bersama orang lain. Tapi, kenapa harus Tira? She's my sister, Beno. Kenapa bukan yang lain? Kamu tahu sendiri bagaimana hubungan kami."
Pedih, Elara menggigit sudut bibirnya. Genangan air matanya hampir tumpah. Entah kapan lagi ia bisa mempertanyakan alasan Beno kalau bukan sekarang. Setelah menikah nanti, ia bertekad mengubur masa lalunya bersama pria itu dalam-dalam.
Ck! Seperti itu pernikahan sungguhan saja!
Beno terpekur menatap lantai. "Maaf, El."
"Dua tahun aku nungguin penjelasan dari kamu. Tapi kamu nggak pernah datang."
"Maaf."
"Kamu tahu kantorku di mana, kan?"
"Maaf aku terlalu pengecut."
"Ya, kamu memang pengecut. Bahkan sampai hari ini kamu nggak pernah bilang kurangnya aku di mana." Elara tersenyum getir. "Sebentar lagi aku menikah, Ben. Bila memang aku pernah menetap lama di hatimu, tolong beritahu di mana letak kurangnya aku, agar nanti aku nggak mengulangi kesalahan yang sama bersama Angga. Please," pintanya mengiba mengetuk pintu hati Beno, sekadar ingin tahu di mana letak kesalahannya.
Beno mengangkat kepala. Andaikan Elara tahu, bahkan sampai hari ini nama perempuan itu masih menetap abadi di hatinya. "Jaga dirimu baik-baik, El. Dengan setulus hati, aku berdoa semoga kamu bahagia."
"Ben—"
"Aku ke depan dulu. Kamu benar, nggak baik kita berduaan. Maaf sudah mengganggu." Beno melangkah pergi.
"Please, Beno, tell me. Apa benar aku terlalu dominan? Apa benar aku terlalu mandiri? Aku terlalu ngatur kamu?"
Beno mengepalkan tangannya. Rentetan pertanyaan Elara itu menyakitkan. Ia membalikkan badan, menatap Elara tepat di bola matanya.
"Di dalam sini masih ada nama kamu, El." Beno menunjuk ke dadanya. "Dan akan tetap ada, mungkin sampai nanti aku tutup usia. Tapi, kesempatan untuk kembali nggak akan pernah ada, kan, El? Walaupun aku meninggalkan semuanya demi kamu? Walaupun aku bersujud meminta agar kamu tidak menikah dengan Angga, aku yakin kamu nggak akan mau--"
"Oh, you make me seem like a real b***h!"
"Jadi, jangan tanyakan lagi di mana letak kekuranganmu, Elara. You did nothing wrong. Nothing."
Elara terpaku. Selepas punggung lelaki itu hilang dari pandangannya, tangisnya pun melesak. Kerongkongannya tersekat. Air matanya mengucur deras.
Mengapa ia harus menangis? Apa yang harus ia tangisi? Beno? Atau dirinya sendiri yang gagal move on sampai hari ini?
Mengapa hatimu lemah sekali, El?
***
"El?"
"Eh?" Elara tersentak. Tanpa sadar ia menoleh.
"Hei, stop!" seru pria itu mencegah Elara yang hendak mengusapkan jemari ke pipinya. "Pakai ini," katanya mengulurkan sapu tangan yang diambilnya dari saku belakang celananya.
Elara tertawa menyambut sapu tangan dari Angga. "Hari gini masih ada yang bawa sapu tangan ke mana-mana?" ejeknya.
Angga tersenyum. "Setidaknya berguna di saat urgent."
"Terima kasih."
Angga menunggu sampai Elara selesai mengeringkan air matanya. "Kamu baik-baik saja, El?"
"Pertanyaan macam apa itu?" Elara menggeleng. "Jelas saya berbohong bila saya bilang saya baik-baik saja."
"Maaf, saya mengganggu. Apa sebaiknya saya tunggu di depan saja?" Tadinya Angga hampir mati kebosanan berbincang dengan Tira. Bergibah ala perempuan bukanlah keahliannya. Keluarganya pun sibuk satu sama lain. Oleh karena itu, ia minta izin mencari Elara.
"Sudah?" selidik Angga setelah Elara kelihatan tenang.
Elara mengangguk cepat-cepat. "Ayo ke depan."
"Tunggu!" cegah Angga. "Nanti saja. Matamu masih merah."
"Oke." Elara menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan, berusaha keras menenangkan pikiran.
"Bila ini terlalu berat untukmu, kita batalkan saja," celetuk Angga iba. "Saya ndak mau pernikahan kita jadi beban buat kamu. Mumpung kita belum nikah."
Elara menggeleng. "Ini nggak ada hubungannya dengan kamu, Dok."
"Oh, ya? Lalu?" Angga mengangkat alisnya.
"Kepo amat!" dengus Elara. Tiba-tiba ia berpikir, ia ingin memanas-manasi Tira dan Beno. Katakanlah ia ingin pamer atau membalaskan dendam. "Hmm, Dok, boleh saya gandeng tangan kamu?"
Reaksi Angga sungguh di luar dugaan. Pria itu mundur sedikit memasang sikap defensif. Permintaan Elara membuat personal space–nya terusik. "Kenapa?" tanyanya waspada.
Elara mengangkat bahu. "Nggak tahu. Ya sudah kalau kamu nggak mau."
"Di sini ada mantan kamu?" cecar Angga lagi, mendadak teringat ucapan Tira bahwa Elara belum move on dari mantan pacarnya.
"Kalau iya, kenapa?"
"Yang mana?"
"Kepo amat!" balas Elara ketus.
"Easy, Elara. Ndak perlu ngegas pun saya dengar, kok," jawab Angga datar.
Elara tertohok menyadari kesalahannya. Setelah mengenal keluarga Angga sepintas lalu, seharusnya ia tahu pria itu dibesarkan dengan tutur kata lemah lembut oleh orang tuanya. Hal itu tercermin dari sikap Angga yang ramah dan hangat. Berbeda dengan dirinya yang kenyang oleh bentakan dari ayahnya. Angga sungguh beruntung. Nada suara Elara langsung anjlok. "Maaf, sa—"
"Mantanmu itu ndak lebih bagus dari saya, kan?" potong Angga cepat.
"Kamu pede banget, ya, Dok?" Elara terkekeh. "Sayangnya, ya, kamu lebih bagus."
"Syukurlah." Angga tersenyum jenaka. Ayo." Ia mendekat pada Elara, menjauhi zona amannya. "Siapa, sih, yang ndak mau digandeng perempuan cantik?"
"Saya? Cantik?" Elara menunjuk hidungnya sendiri. "Matamu minus ya, Dok? Jangan menggombal!"
"Mata saya normal, kok."
"Kamu bilang saya cantik itu dari kacamata siapa? Kacamata pria normal, atau kacamata seorang gay?"
"Kacamata pria normal."
"Well ... " Elara mencebik. "Itu mengejutkan. Saya nggak cantik. Kamu aja yang salah pilih orang buat jadi istri kamu."
Angga terheran-heran menyambut reaksi Elara yang di luar dugaan. "Apa perlu saya ambilin cermin biar kamu bisa lihat sendiri?"
"Jangan berlebihan menghibur saya, Dok."
Kening Angga berkerut penasaran. "El, serius, kamu cantik. There's something wrong with how you respect yourself."
"Lupakan saja." Elara mengibaskan tangannya.
"El?"
"Oke." Elara menyerah. "Kenapa menurutmu saya cantik?"
"Karena kamu perempuan. Memangnya ada perempuan yang tampan?" jawab Angga dengan polosnya.
Elara tertawa sumbang. "Kamu pernah dengar nggak, ada yang bilang, setiap perempuan akan terlihat cantik di mata pria yang tepat? And you're a .... Just don't look at me as if you're the right guy, okay?" sambungnya gusar.
Sayangnya, Angga enggan mengalah. Salah satu alasannya nekat meminta Elara menikah dengannya adalah karena wajah perempuan itu enak dipandang. Sederhananya, tidak membosankan.
"Argumenmu kurang tepat. Entah kamu sedang menghibur diri atau memuji dirimu sendiri."
Elara membalas dengan delikan.
"Setiap perempuan itu cantik. Your beauty comes from inside. Kamu cantik karena dirimu sendiri, bukan karena judgement orang lain. Jadi, percuma kamu teriak-teriak pada dunia bahwa kamu perempuan cerdas, kamu perempuan mandiri, kalau untuk memvalidasi kecantikanmu saja kamu masih butuh mata laki-laki. You're worthed by yourself. You're beautiful just the way you are. Seperti saya, no matter how hard people drag me down, I'm still cool. Karena saya memang keren."
"Dasar sombong!" Elara mendengus geli.
"Bukan sombong, cuma ngasih contoh."
"Oke, seberapa cantik?" Elara melipat tangan di perutnya. "Kamu sudah bertemu Tira, kakak saya, kan?"
"Ya. Kenapa?"
"Siapa yang lebih cantik di antara kami?"
Angga tahu, apa pun jawabannya akan tetap berisiko. Itulah hebatnya beradu argumen dengan perempuan. Jadi, ia mengambil risiko itu.
"Siapa?" desak Elara tak sabar.
"Tira."
Elara tersenyum getir. "See?"
"Bohong kalau saya bilang kamu lebih cantik dari Tira. Juga bohong kalau saya bilang kamu lebih cantik dari Gal Gadot, atau Raline Shah, atau Anne Hathaway, atau Monica Belucci di masa mudanya. Tapi, itu ndak mengejawantahkan pernyataan awal saya bahwa kamu cantik.
"Kamu bisa bilang suamimu tampan, tapi di saat yang sama kamu juga bisa bilang Chris Hemsworth itu lebih tampan, kan? Analoginya sama. Jadi berhentilah membanding-bandingkan dirimu sendiri dengan orang lain."
"Bila kamu bertemu lebih dulu dengan Tira, kamu bakal melamar dia seperti kamu melamar saya?"
Angga menggeleng. "Tira memang cantik. Tapi setelah mengenal dia sebentar, honestly, I don't even wanna be her friend. Saya ndak betah ngobrol lama-lama dengan dia. Maaf bila saya terlalu jujur."
Kening Elara berkerut, tapi dalam hatinya ia sedikit terhibur. "Kenapa? Padahal dia cantik, lho."
"Wajahmu membuat seorang pria menatap, tetapi hatimulah yang membuat mereka menetap."
"Astaga!" Elara terperangah. Pipinya berangsur merah. "Kamu memang tukang gombal, ya, Dok."
"Menggombal adalah salah satu skill yang wajib dimiliki kaum pria." Angga tersenyum lembut, senang melihat raut wajah Elara tak lagi muram.
"Kamu, kan, pria jadi-jadian!"
"Tetap tidak mengubah fakta bahwa saya seorang pria, kan?"
"Aneh nggak sih, Dok? Cara kamu ngomong ke saya kayak kita udah kenal lama. Kamu nggak merasa canggung atau apa, gitu?" tanya Elara lagi. Aneh rasanya, mereka baru mengenal sebentar tetapi cara mereka berinteraksi seperti sudah kenal berbulan-bulan.
Angga balas mengangkat bahu. "This is me."
"Maksudmu, kamu bersikap hangat seperti ini pada semua orang?"
"Begitulah, no wonder people love me." Angga mengedipkan sebelah matanya jahil. "Memangnya kamu berharap saya bersikap dingin seperti Thomas Shelby–nya Peaky Blinders? Kayaknya kamu terlalu banyak berkhayal, El. Saya tahu pernikahan ini cuma quid pro quo di antara kita, tapi setidaknya kita bisa berteman, kan? Yah, walaupun saya harus sering-sering denger kamu ngomong ngegas. Apa kamu ndak capek tegang urat saraf melulu?"
"Ya, ya, kita bisa berteman." Elara tertawa kecil. Jauh di dalam benaknya, ia kesulitan menjabarkan karakter Angga. Pria itu ramah, tapi defensif. Hangat, tapi misterius. Dekat, tapi tertutup. Berhadapan dengan Angga seperti berhadapan dengan lapisan kulit bawang, Elara harus sabar mengupasnya satu persatu.
"Jadi, kamu masih mau menggandeng tangan saya?" ucap Angga memutus lamunan Elara.
"Y–ya, tentu." Elara berdeham. Binar jenaka di mata pria itu menyihirnya.
Sepertinya Elara harus berusaha keras agar tidak terperosok dengan sengaja. He's a gay, Elara. Don't be stupid!