"Apa gue bilang, nama Airlangga Gunardi itu familier di kuping gue!" serbu Nita histeris. "Tiap Jumat pagi dia nongol di TV. Gue sering nonton!"
Elara yang sedang mengunyah sepotong donat seketika melongo. "Apa, sih, lo? Datang-datang langsung kesurupan. Pelan-pelan dong! Tuh, pada ngelihatin," tegurnya melihat beberapa pasang mata tertuju pada mereka.
Angga muncul di TV? Dia dokter, direktur RS, dan sekarang artis? Besok apa lagi? Pebisnis batubara? Dia masih kekurangan duit, apa?
"Oops! Pokoknya begitu." Nita mengenyakkan bokongnya di kursi. "Gue nggak nyangka lo dapatnya jackpot, El. Habis Beno terbitlah Angga. Calon suami lo itu ... omaigat ... berlian 25 karat!"
Elara membalas dengan memutar bola matanya. "Chill, Nita. Lo pesan apa?" Ia mengulurkan buku menu. "Sorry gue duluan. Laper."
Keduanya janjian nongkrong di sebuah kafe di Jalan Senopati sepulangnya Elara bekerja, kebetulan Nita ada urusan bisnis di dekat sana. Nita datang terlambat. Alhasil, Elara memesan menu untuknya terlebih dahulu.
Beberapa detik setelah itu, Nita disibukkan dengan buku menu, kemudian dia memanggil pramusaji.
"Jadi, Angga nongol di TV? Acara apaan? Reality show? Atau music show ala-ala yang suka joget-joget itu? Aduh!" Elara meringis saat Nita memukul bahunya keras-keras. "Sakit tahu!"
"Memangnya tampang tunangan lo itu kayak artis alay apa? Lo juga tega-teganya lamaran nggak ngasih tahu gue! Teman macam apa, sih, lo? k*****t banget!" gerutu Nita masam. Nita hanya bisa melongo melihat w******p story Arby sekitar dua minggu yang lalu, terlebih melihat siapa pasangan Elara. Ia mencecar Elara via telepon dan hanya dijawab sekenanya oleh sahabatnya itu. Sayang sekali ia sangat sibuk hingga baru sore ini bisa bertemu dengan Elara. "Jangan-jangan, lo hamil duluan?" bisiknya.
"Tuh, kan, elo yang k*****t! Nggak usah sotoy, ya!" maki Elara. Ini dia yang tidak ia sukai dengan acara lamaran dadakan, ujung-ujungnya dikira hamil duluan. Rekan-rekan sekantornya pun kaget saat tahu ia mengajukan cuti menikah ke bagian HRD. Setahu mereka Elara tidak punya pacar.
Nita terkikik. "Habisnya mendadak banget."
"Memangnya Angga ngapain nongol di TV? Acara apaan?" kata Elara mengalihkan pembicaraan ke topik awal.
"Dia sering jadi narasumber talk show tentang kesehatan keluarga gitu. Masa lo nggak tahu? Followers-nya di i********: ratusan ribu, lho. Akun fansbase-nya juga ada. Gila!"
Elara mangut-mangut macam orang bodoh. Baru teringat olehnya salah satu gelar magister Angga di bidang kesehatan publik. Mungkin itu sebabnya Angga punya side job di stasiun TV. "Gue nggak punya TV," katanya mengangkat bahu.
"Terus, lo tahu acara joget-joget itu dari mana?"
"Cuplikannya banyak di Youtube short."
Nita menatap Elara tak berkedip. "Are you happy, El? Maksud gue, gue nggak nyangka kalian baru kenal sebentar tahu-tahu udah mau nikah aja. Gue pikir lo mau penjajakan dulu enam bulan, setahun atau berapalah. Apa nggak terlalu cepat? Lo yakin?"
Bila Elara berniat mengimbangi kemampuan berakting Angga, mungkin inilah saat yang tepat. "Sederhana aja, sih, Nit. Ketika gue pikir gue lagi berada di fase f**k with everyone and f**k with everything, Tuhan ngirimin jodoh yang tepat buat gue. So, yeah, I'm happy."
"He's way too perfect."
"Me too. I am already perfect by my own."
"Tumben pede lo gede!" Nita mendengus.
Elara membalas dengan cengiran, menutupi rasa bersalahnya telah membohongi Nita.
Sebenarnya, Elara pun enggan sekaligus pusing memikirkan t***k bengek terkait pernikahannya dengan Angga. Ibaratnya sebuah kisah fiksi, pernikahannya nanti adalah sebuah plothole terbesar dalam hidupnya. Bahkan kemarin dirinya dan Angga sudah menandatangani perjanjian pranikah di hadapan notaris.
Satu hal yang ia tahu, kuasa uang benar-benar dahsyat! Menggelar pernikahan dalam tenggat waktu satu bulan butuh effort luar biasa. Keluarga besar Angga adalah the real definition of sat-set-sat-set, tahu-tahu mereka sudah mendapatkan gedung acara yang setahu Elara harus di-booking sejak jauh-jauh hari, serta wedding organizer terkenal yang biasanya menangani pernikahan public figure dan para artis.
Di waktu yang serba mepet, Elara juga masih diberi kesempatan untuk nanti mengenakan kebaya dan gaun rancangan desainer kenamaan. Ia jadi cemas memikirkan berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan ayahnya untuk melaksanakan pernikahan 'jadi-jadian' tersebut. Jangan sampai nanti sang ayah meminta Elara mengganti biaya resepsi. Kepada Elara, pria itu terkenal pelit dan pilih kasih. Bisa bangkrut Elara nanti!
Nita diam sebentar memperhatikan ekspresi Elara.
"What?" kata Elara mengangkat alisnya pura-pura polos.
Nita mengangkat bahunya. "Kalau memang lo yakin dan bahagia, gue turut bahagia buat lo."
"Thanks." Elara nyengir lebar. "Ukuran baju lo masih yang biasa, kan?" Saking seringnya menemani Nita berbelanja pakaian, Elara sampai hapal ukuran baju Nita.
"Masih. Kenapa?" Nita menyeruput minumannya.
"Yaelah masih nanya. Pastinya lo jadi bridesmaid gue. Sorry, modelnya dibikin sama semua. Dadakan soalnya."
"Buat Sara ... gimana?" tanya Nita berhati-hati. Sedari tadi ia sering melirik ke arah pintu masuk.
Elara sontak mengangkat kepala, lalu meneguk kopinya. "Nggak tahu. Nomornya masih gue blokir. Kesel banget gue sama tuh anak," semburnya.
"Sebenarnya ... gue ngasih tahu Sara kita janjian di sini. Mungkin sebentar lagi dia datang."
Elara berdecak kesal. Ia buru-buru meraih tasnya. "Sorry, Nit, gue masih males ketemu dia."
"Please, El, we need to talk. Kasihan Sara. Dia ... " Tiba-tiba Nita melambaikan tangannya. "Panjang umur tuh anak. Sar!" serunya memanggil.
Elara menggerutu kesal dalam hati. Ketika beberapa detik kemudian Sara duduk di samping Nita, Elara pura-pura sibuk dengan ponselnya, mengetikkan nama Angga di kotak pencarian Youtube.
"El," tegur Sara pelan. "Gue minta maaf."
"Hmm." Elara membalas dengan gumaman tanpa mengangkat kepala.
Sara melirik pada Nita meminta pertolongan. Orang yang dilirik hanya mengangkat bahu.
"Mulut gue kurang aja banget sama lo. Maafin gue, ya, El."
Elara memutar bola matanya bosan. "Ya, ya."
"Selamat atas pertunangan lo."
"Thanks."
Hening sejenak.
"Lo bentar lagi nikah, gue bentar lagi cerai."
"Hah?" Elara mengangkat kepala. "Lo ... apa?"
Sara terkekeh pelan. Bola matanya seketika tenggelam oleh cairan bening. "Tadi siang Nita nemenin gue masukin gugatan ke pengadilan."
Elara menatap Nita sejenak. Perempuan itu mengangguk sembari mengusap bahu Sara. "Kenapa cerai?"
Sara mendongak menatap langit-langit, mengusahakan air matanya tak jatuh ke pipinya. "Udah nggak cocok lagi."
"Terus terang aja kenapa, sih?" gerutu Nita masam.
Sara menunduk, kemudian menyingsingkan lengan blusnya hingga siku.
Elara tertegun melihat kulit Sara yang berwarna hijau pucat di beberapa titik.
"Ini udah lumayan. Kemarin masih ungu."
"Suami lo ... KDRT, Sar?" ucap Elara mengkonfirmasi prasangkanya.
"Sebenarnya dari kemarin-kemarin gue pengen ketemu sama lo. Tapi, muka gue bonyok. Hari ini udah mendingan, sih," Sara tersenyum getir, kemudian menunjuk ke arah sudut matanya. "Gue kasih foundation dan concealer yang banyak."
Nita mengambil ponselnya, menunjukkan beberapa gambar yang membuat Elara makin terbelalak. Dalam gambar-gambar tersebut, tampak wajah Sara dari berbagai sisi. Dalam satu foto, tampak mata Sara yang lebam keunguan.
"Sebelumnya udah pernah?" tanya Elara hati-hati. Ajaibnya, seluruh amarah Elara kepada Sara runtuh tak bersisa, berganti dengan rasa iba. Tenggorokannya tersekat, tak tahu harus berkata apa.
Sara mengangguk. "Semenjak gue resign, dia jadi makin semena-mena."
"Kenapa lo nggak pernah cerita ke kita?" timpal Nita.
"Gue malu." Tangis Sara pun pecah. Terisak-isak ia menangis saat Nita merengkuhnya dalam pelukan. "Gue malu nyeritain aib rumah tangga gue."
"KDRT itu bukan aib, tapi kriminal!" seru Elara jengkel. "Anjir, g****k pisan!"
"El!" Nita melotot. Elara membuang muka.
Setelah tangisan Sara mereda, Sara bercerita dengan suara terbata-bata. "Iya, gue memang g****k. Lo ingat nggak, terakhir kali kita ketemu, gue bilang bahwa laki-laki itu takut sama perempuan mapan yang gajinya lebih besar?"
"Ya, terus kenapa?"
"Gue pernah bilang kalau gue resign karena ingin fokus buat promil, kan?"
"Iya. Terus?"
"Sebenarnya gue resign bukan hanya karena ingin promil, tapi karena sering berantem. Anjas minder karena penghasilan gue lebih banyak. Katanya gue kurang menghargai dia. Padahal, nggak gitu, El."
"Oke, tunggu," cegat Elara tak habis pikir. "Lo disuruh resign karena gaji lo lebih banyak?"
Sara mengangguk. "Dia berharap setelah nggak kerja, gue jadi lebih nurut sama dia."
Elara pun melongo.
"g****k nggak, sih?" sembur Elara kesal. "Gaji lo lebih banyak dari dia, dan dia malah nyuruh lo resign? Seharusnya kalau ada yang patut resign di antara kalian, itu adalah dia. Kalian berumah tangga pakai otak nggak, sih? Logikanya di mana? Tambah kesel gue!" maki Elara dengan muka merah padam.
"El, tahan dulu napa?" Nita menegur lewat tatapannya.
"Sorry, gue ...."
"Gue pikir dengan menuruti kemauan Anjas, kami akan lebih akur. Nyatanya, cuma satu bulan dia baik sama gue. Bulan kedua dia mulai marah-marah kalau gue minta uang belanja tambahan. Katanya gue harus bersyukur dikasih berapa aja. Lo berdua tahu sendiri, kan, sekarang semua serba mahal? Ujung-ujungnya tabungan gue terkuras. Dia merendahkan gue karena minta uang melulu sama dia. Lha, gue, kan, nggak kerja gara-gara dia. Bulan ketiga dia mulai main tangan."
Elara pindah duduk ke samping Sara. "Kenapa lo nggak minta cerai dari dulu?"
"Dia selalu minta maaf sama gue dan berjanji akan berubah. Gobloknya, gue luluh melulu. Bodoh banget, kan, gue?"
"Iya, lo bodoh!" dengus Elara. "Terus, sekarang lo tinggal di mana?"
"El, terkadang idealisme kita semasa lajang nggak bisa sepenuhnya diterapkan setelah berumah tangga. Banyak pertimbangannya sebelum memutuskan bercerai," sergah Nita.
Tiba-tiba Elara tertegun, itukah sebabnya ibunya tampak tak berdaya di hadapan ayahnya? Karena ibunya tidak menghasilkan uang?
"Ngekos. Yang penting gue nggak ketemu Anjas dulu. Gue takut dia kalap."
Elara mengusap-usap bahu Sara. Raut wajah Sara yang kusut membuatnya tak tega memaki kenaifan Sara. "Lo tinggal di rumah gue aja. Daripada lo ngekos, nggak ada teman."
"Gue nggak mau ngerepotin elo. Gue udah kurang ajar banget sama lo."
"Udahlah, lupain aja," kata Elara. "Itulah gunanya teman. Pokoknya, gue dan Nita bakalan kawal sampai lo benar-benar cerai. Tapi, nggak ada kata balikan, ya. Kalau sampai lo balikan sama Anjas, nggak usah anggap gue teman lo lagi," tegasnya.
Bukannya apa-apa, tak sekali dua kali Elara mendengar cerita korban KDRT yang kembali lagi kepada suaminya. Entah bucin atau bodoh, Elara tidak mengerti. Yang ia sadari kini, pernikahan adalah perjudian, kadang menang, kadang kalah.
"Gue kenal pengacara, pakai jasa dia aja," kata Elara lagi.
"Gue nggak punya uang."
"Nggak usah pikirin soal uang, biar gue yang bayarin," timpal Nita. "Masih untung lo nggak punya anak, Sar."
"Tadinya gue berharap banget bisa hamil, mungkin dengan begitu Anjas bisa berubah."
"Bullshit, Sara!" seru Elara dan Nita hampir bersamaan, keduanya melotot.
Elara diam-diam tersenyum masam. Dirinya akan menghadapi pernikahan, sedangkan temannya menempuh perceraian. Hidup terkadang seironis itu.
Tiba-tiba ia berpikir bagaimana akhir kisah pura-puranya bersama Angga nantinya. Akankah mereka bercerai kala salah satu dari mereka jatuh cinta pada orang lain—bayangan Angga jatuh cinta pada pria lain membuatnya mual.
Memikirkan perceraian itu, entah kenapa lututnya menggigil.
"El, gue masih boleh jadi bridesmaid lo, kan?" cicit Sara lirih.
Elara terenyuh. Dirangkulnya Sara ke dalam pelukannya, lalu berbisik. "Tentu saja boleh. Memangnya siapa lagi yang mau jadi pendamping gue selain kalian?"
Ketiganya berpelukan erat. That's what friends are for, isn't it?
***
"Jangan kerja melulu, Mas Angga. Apa pekerjaanmu itu ndak bisa didelegasikan pada bawahanmu?" celoteh Irene memperhatikan putranya sibuk dengan panggilan telepon dan iPad di tangannya.
"Yang ini ndak bisa, Mam. Ada yang harus di follow up pada tim KARS. Lagi menyiapkan bahan juga, besok pagi ada meeting di kementrian," sahut Angga tanpa menoleh. "Namanya juga pemimpin, Mam. Kalau cuma leha-leha di rumah terima hasil, itu namanya investor."
Mereka sedang dalam perjalanan menuju butik melakukan fitting pakaian pengantin bersama Elara untuk yang terakhir kalinya. Pernikahan tinggal menghitung hari, sang ibu sibuk sekali. Untung saja ada Tante Niken, sukarelawan yang justru lebih banyak bekerja karena ibunya belum berpengalaman. Meskipun tentunya, proses persiapan sendiri lebih banyak dikelola oleh wedding organizer.
Sejak jauh-jauh hari Angga mengingatkan pada ibunya untuk tidak menggelar acara dengan njelimet–nya ritual adat yang melelahkan. Ia ingin acara pernikahannya cepat selesai karena banyak pekerjaan menunggunya di kantor. Sebagai laki-laki, otaknya bekerja secara sederhana. Akad nikah, resepsi kecil, selesai. Namun tidak demikian dengan keluarganya, mereka mengundang sebatalyon relasi dan kenalan.
"Kamu itu menyesal ndak Mami suruh pulang ke Indonesia?"
"Menyesal?" Angga mengerutkan kening. "Ndak tuh. Kenapa tiba-tiba Mami nanyain itu?"
Irene mengangkat bahu. "Kariermu dulu, kan, lagi bagus-bagusnya. Siapa tahu kamu menyesal disuruh pulang."
Angga membalas dengan senyuman sembari mengusap ringan lengan ibunya. Sejenak kemudian, ia kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Mam, apa benar dulu ada rencana aku dijodohkan dengan Tira?" gumam Angga penasaran.
"Eh, kok kamu tahu?"
"Tira sendiri yang bilang."
"Kapan?"
"Di acara lamaran kemarin."
"Dasar ndak tahu malu!" gerutu Irene pelan. "Sekarang kamu tahu, kan, mengapa Mami dulu menolak menjodohkanmu dengan dia?" sambungnya teringat perbuatannya yang dulu mengulur-ulur waktu memperkenalkan Angga kepada Tira sebagai sinyal penolakan secara halus.
"Mami menolak? Kenapa?"
"Jangan bilang kamu oleng ke Tira, ya?" Irene mendelik. "Dia ndak cocok buat kamu. Mami ndak suka."
"Ya, tapi ada alasannya, kan, Mi?" desak Angga sekadar ingin tahu.
"Mami ndak suka perempuan yang sembarang nemplok sana nemplok sini sama laki-laki. Mami tahu profesi Tira sebagai model mengharuskan dia berinteraksi dengan banyak orang, termasuk lawan jenis. Dan bukannya Mami menghujat profesi Tira. Mami juga kenal, kok, dengan beberapa model, anak-anak teman Mami. Cuma yo ndak kayak Tira yang sana-sini mau. Di mana marwahnya sebagai seorang perempuan? Kalau kamu menikah dengan dia, di mana marwahmu sebagai suami melihat istrimu suka gelendotan dengan laki-laki lain? Suka mabuk dan joget-joget di klub malam? Mami ini perempuan tradisional, masih menjaga unggah-ungguh. Dan Mami juga tahu, kamu itu ndak neko-neko. Ndak tahulah, ya, dulu di Amerika jangan-jangan kamu sempat begajulan?" ujar Irene panjang lebar sembari menyindir putranya.
"Dikit, Mam. Namanya anak muda, kelasnya masih amatir." Angga nyengir iseng.
"Oalah, Mas," keluh Irene. "Mami akan merasa bersalah bila nanti Elara menyesal nikah sama kamu."
"Tapi dia cantik lho, Mam, kayak Mami," pancing Angga lagi, meskipun dalam hatinya membenarkan Tira punya attitude yang kurang baik. Terlihat sekali perempuan itu membenci adiknya. Aneh. Seburuk-buruknya sibling rivalry, rasanya tak ada orang yang sengaja menjatuhkan saudaranya sendiri.
"Dia memang cantik, tapi hatinya ndak secantik wajahnya. Perempuan seperti Tira hanya cocok untuk kamu jadikan trophy wife, kamu pamerkan ke sana kemari. Tapi ndak cocok untuk berkontribusi memecahkan masalah-masalah hidup."
"Lalu, Elara gimana, Mam? Mereka kan, bersaudara?"
"El itu beda, Angga. Dia perempuan tangguh."
"Maksud Mami?"
"Perempuan tangguh itu ndak ujug-ujug dilahirkan tangguh. Mereka tangguh karena melewati berbagai badai kehidupan. Mami mau yang seperti itu."
"Mami sayang banget, ya, sama Elara? Padahal baru kenal."
Irene tersenyum kecil. "Semua perempuan yang Mami perkenalkan ke kamu sudah Mami filter, Mami selidiki latar belakangnya. Ketika Mami hendak mempertemukan kamu dengan Elara, Mami benar-benar berpasrah pada Tuhan, berdoa semoga saja kalian berjodoh. Itu sebabnya Mami senang sekali."
Hanya doa yang bisa Irene panjatkan kepada Tuhan, semoga dengan keberadaan Elara, putranya bisa move on dari masa lalunya. Seseorang yang namanya tak boleh disebut-sebut—Anjani menyebutnya Voldemort—yang pernah mengisi hati putranya sembilan tahun lamanya. Jujur saja, terkadang Irene merasa bersalah menjadikan Elara sebagai umpan.
Angga mengecup punggung tangan ibunya. "Mami yang terbaik."
"Mas Angga, baik-baik kamu dengan Elara, ya, Nak. Kamu ndak tahu apa yang sudah dia lewati. Kasihan dia."
"Maksud Mami?"
"Nanti kamu cari tahu sendiri. Usaha dong!"
"Injih, Mam."
Tanpa terasa, mereka sudah sampai di butik. Elara sudah menunggu di dalam. Perempuan itu langsung berdiri menyambut Irene.
Irene mengecup pipi calon menantunya. "Sayang, sudah lama? Maaf ya, kami terlambat."
"Belum lama, kok, Mam," sahut Elara yang sudah beberapa hari ini mengubah panggilannya kepada Tante Irene menjadi Mami. Satu hal yang sangat ia syukuri, perhatian-perhatian kecil Mami Irene membuatnya merasa diterima dan disayangi. Mami Irene juga menggabungkan dirinya ke dalam grup w******p keluarga yang berisikan empat orang dengan banyolan-banyolan konyol tak berkesudahan. Padahal Elara belum resmi menjadi menantu di keluarga itu.
"Hai, El," sapa Angga mengedipkan matanya jahil dan dibalas delikan mata dan kepalan tinju oleh Elara tanpa sepenglihatan ibunya. Angga tergelak. Mimpi apa dirinya punya calon istri galak?
"Silakan, Bu, kita fitting sekarang?" seorang pegawai butik menghampiri mereka. "Mas Eka sudah menunggu di dalam," katanya menyebutkan nama desainer gaun Elara.
Tidak banyak yang bisa Angga lakukan dengan pakaiannya. Ukurannya sudah pas dan nyaman di tubuhnya. Seharusnya ia tidak perlu datang untuk fitting, tetapi sang ibu memaksa. Jadilah ia menunggu Elara dan ibunya selesai saja.
Beberapa menit lamanya ia menunggu sambil meneruskan pekerjaan. Sesekali ia menghubungi Syila mengkonfirmasi beberapa hal.
"Gimana, Mas Angga? Cantik, ndak?" Tiba-tiba sang ibu menyeletuk.
Angga mengangkat kepala, lalu tersenyum lembut. "Cantik, Mam," komentarnya pada Elara yang muncul dari dalam ruangan fitting mengenakan kebaya berwarna putih.
She's gorgeous!
***
"Aku harap kamu tidak mengundang gundikmu di acara pernikahan Elara, Mas," kata Nora nyaris berbisik pada suaminya.
"Jihan itu juga istriku, Nora. Jaga mulutmu!" bentak Hadi kesal.
Nora menguatkan hati mendengarkan bentakan suaminya. Suaranya bergetar kala melanjutkan. "Kalau kamu sampai mengundang dia, kamu menggali kuburanmu sendiri. Bayangkan bagaimana bila keluarga besan kita tahu kamu punya istri siri di luar sana? Reputasimu bisa hancur. Mereka keluarga terhormat, bukan orang-orang sembarangan."
"Kamu pikir aku bodoh?" Hadi memicingkan matanya kesal.
"Kami bertiga sudah cukup mengalah demi Tira," gumam Nora miris. "Jadi untuk kali ini saja, tolong, satu kali ini saja. Jaga perasaan Elara. Dia juga anakmu, darah dagingmu."
"Darah daging yang kamu berinama seperti nama mantan pacarmu?" Hadi mendengus.
"Tapi dia tetap anakmu! Apalah arti sebuah nama?"
"Terserahlah. Aku capek." Hadi mengempaskan tubuhnya di sofa.
"Jangan sampai Jihan mengacau di hari pernikahan Elara. Aku mohon. Dia sudah terlalu banyak mengalah."
Tanpa mereka ketahui, sepasang telinga mendengarkan dari balik pintu. Si pemilik telinga itu tersenyum samar, lalu diam-diam pergi dengan langkah tenang.