"Saya terima nikahnya dan kawinnya Elara Soebagio Matthews binti Hadiman Soebagio dengan maskawinnya yang tersebut, tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
Elara mendengarkan lafadz ijab kabul yang terucap lantang dalam satu tarikan napas tersebut dari dalam ruangan melalui pengeras suara. Terdengar orang-orang bergumam syukur. Ia menarik napas panjang. Matanya terpejam beberapa saat tatkala kata sah bergema di telinganya.
Ingin rasanya El menggaruk kepalanya yang kini terasa besar oleh sanggul. Perutnya bergejolak mual. Biar bagaimanapun, rasanya ia masih jauh dari kata siap.
Sudah bosan rasanya ia mengatakan, ini bukanlah pernikahan yang ia impikan. Namun kenyataan tak selalu sesuai harapan.
Omong kosong apa ini, ya Tuhan!
"Wow, El!" seru Nita menghampiri Elara. "You're perfectly flawless!"
Elara tampil ayu dan anggun dalam balutan kebaya panjang berwarna putih ditaburi payet serta dipadupadankan dengan batik bernuansa coklat keemasan. Riasan wajahnya serta riasan paes khas Yogya Putri membuat perempuan yang selalu mengaku sebagai itik buruk rupa itu berubah menawan.
Ritual pernikahan seperti siraman dan midodareni sudah mereka jalani dengan baik. Melelahkan, pastinya. Kini ijab kabul pun sudah terlaksana. Entah ia harus merasa lega atau terbebani. Lega, takkan lagi dirongrong oleh keluarganya untuk menikah, diperkenalkan pada lelaki antah berantah yang membuatnya kepingin muntah. Terbebani, mengingat betapa seriusnya persiapan pernikahan ini.
Bagaimana bila suatu hari mulai ada yang tidak sejalan? Belum lagi beban bahwa ia harus menjaga nama baik kedua keluarga dan sebagainya. Membayangkan raut penuh kasih Mami Irene membuatnya merasa bersalah.
Andaikan Tira tahu bahwa dirinya menikah dengan perjanjian, perempuan itu akan semakin bersorak kegirangan. Entah apa yang membuat Tira begitu membencinya. Di masa kecil, hubungan mereka baik-baik saja. Beranjak remaja, perempuan itu berubah menjadi tukang risak.
Elara tertawa—atau meringis? Kedua sahabatnya yang menjadi seksi sibuk di sepanjang acara juga tampil cantik. "Makasih. You too."
"Sumpah, lo beneran cantik banget, El. Gue jamin Angga klepek-klepek ngelihat lo,' timpal Sara.
"Ada-ada aja lo, Sar." Elara terbahak kecil.
Nita celingukan memperhatikan keadaan sekitar. "Eh, itu si duo valak nggak kelihatan dari tadi. Di–blacklist atau apa?" bisiknya.
Elara mengangkat bahu tak peduli. Sejak acara siraman digelar, Beno tak hadir, sedangkan Tira hanya muncul sebentar dengan alasan anaknya sakit. Baguslah, setidaknya Elara bisa menjaga hatinya dengan benar-benar memupus bayangan akan pernikahan impiannya bersama Beno.
Go to hell, Ben, go to hell! omelnya dalam hati.
"Ijab kabul sudah selesai. Kita siap-siap, ya, Mbak." Seorang panitia dari wedding organizer menghampiri memberikan aba-aba. "Silakan, Bu, digandeng putrinya," tuturnya pada Nora.
Nora menghampiri putrinya dan menggandeng tangannya. Sara dan Nita mengiringi di belakang.
Belum sempat mereka keluar, tiba-tiba Nora tertegun. Langkahnya sontak terhenti. Raut mukanya yang tadi semringah berubah datar.
"Selamat, ya, El. Kamu cantik banget hari ini."
Elara mengepalkan tangannya geram. Mau apa si valak nomor tiga ini di sini?
"Makasih," jawabnya sambil menahan diri. Ingin rasanya ia mencakar bibir tipis yang kini tersenyum mengejeknya dan ibunya. Entah siapa yang mengundang gundik ayahnya itu ke pernikahannya.
"Hai, Mbak, kamu juga cantik. Sudah lama, ya, kita nggak ketemu?" lanjut Jihan mengerling pada madunya.
"Anda tidak diundang kemari," sahut Nora dingin.
"Aku yang undang." Tiba-tiba Tira muncul di samping Jihan dan menggandeng tangan perempuan itu dengan mesranya. "Iya, kan, Tante?"
Nora menahan dirinya, yakin kedatangan Jihan hanya untuk mengacaukan suasana hatinya.
Selang hitungan detik, Tira mendekati Elara dan berbisik di telinga adiknya itu. "Jangan terlalu bangga. Gue tahu, dulunya gue yang bakal dijodohin dengan Angga, bukan elo."
El balas berbisik, "Dan elo lebih memilih merebut seorang sampah daripada menunggu seorang berlian. It's your loss, not mine."
Tira mengepalkan tangannya.
"Oh, ya ampun, El. Kayaknya di pernikahan lo ada persatuan para pelakor. Hati-hati ya, El, nanti suami lo juga direbut," sindir Nita pelan, sedikit banyaknya mengetahui sekelumit kisah keluarga Elara.
"Jangan ikut campur, memangnya situ siapa?" balas Tira sengit.
Nita memasang tampang pura-pura polos. "Emangnya saya ngomong sama situ?"
"Ngomongin pelakor, kayaknya di sini butuh cermin besar, ya?" balas Tira sinis. "Biar ada seseorang yang bisa ngaca."
"Ayo, El." Nora memutus perdebatan singkat itu tatkala panitia WO kembali menghampiri mereka. "Tahan diri kalian. Anggap saja mereka cacing," katanya sembari berlalu dengan santainya.
Bila ada yang harus Elara salutkan dari ibunya adalah ekspresi perempuan itu yang tetap cool, tidak terganggu akan kehadiran Jihan, madu—racun—laknat yang dulu sangat dipercayai ibunya.
Hidup macam apa ini, ya Tuhan? keluhnya dalam hati.
Elara menata ekspresinya kembali. Dengan langkah anggun ia berjalan beberapa meter lagi menuju tempat ijab kabul.
Dari jarak tiga meter, ia melihat Angga menunggunya. Pria itu diapit oleh Arby dan ayahnya. Angga menatapnya dengan kedipan lamban lengkap dengan senyuman lembut di bibirnya. Tanpa sadar Elara membalas senyuman tersebut, kemudian tertunduk. Ngapain juga gue senyum-senyum?
Elara bersumpah, Angga yang mengenakan beskap putih serta blangkon di kepalanya terlihat amat gagah. Namun sangat disayangkan, pria seatraktif itu, secerdas itu, sebaik itu, se–good attitude itu, hanya menjadi suami pura-pura bagi Elara. Ia yakin gampang sekali bagi Angga membuat seorang perempuan bertekuk lutut kepadanya. Angga seperti sebuah paket lengkap yang dibungkus dengan apik dan mewah. Namun sayangnya, pria itu memilih jalan durjana.
"Hei, you look pretty," Angga menyapa Elara dengan pujian. Sekilas ia melihat Elara tampak ingin sekali memutar bola matanya. Lucu. Angga penasaran apa yang bisa membuat perempuan itu tersipu malu. Pernikahan yang seharusnya syahdu malah terkesan konyol bagi mereka berdua.
Keduanya menandatangani buku nikah. Elara melakukannya dengan hati gamang. Saat proses serah terima mahar kemudian saling memasangkan cincin berlangsung, tangannya berkeringat dingin. Konsentrasinya terpecah belah, sampai tidak ngeh saat Angga menyodorkan tangan kanannya untuk disalami.
"Ngapain?" Elara berbisik heran. "Tanganmu kenapa?"
"Cium, El!" balas Angga. Terdengar gumaman gemas dari sekeliling mereka.
"Oh!" Elara bergegas meraih tangan Angga dan menciumnya pura-pura takzim. Momen demi momen tersebut diabadikan dalam berbagai foto dan video.
Ia merutuk dalam hati, kenapa gue mendadak b**o begini?
Angga membalas dengan mengecup kening Elara. Ia tidak tahu perempuan itu sampai merinding saking gelinya.
"Harus banget, ya, cium tangan cium jidat?" bisik Elara setelah ritual cium tangan itu selesai.
"Ya, pakemnya memang begitu. Cium tangan melambangkan rasa hormat seorang istri pada suaminya."
"Hiy, males banget saya hormat sama situ, cuma suami jadi-jadian."
"Kamu juga istri jadi-jadian, ndak usah bawel. Nikmati aja. Fake it til you make it. Bisa, kan?" jawab Angga menahan diri untuk tidak memuji kecantikan Elara sekali lagi. Raut jutek Elara berganti dengan raut manis. Namun, nyatanya Angga tidak bisa menahan diri. "Kamu cantik."
Elara berdecak. "Makasih."
Angga tergelak.
Interaksi keduanya terputus oleh penghulu yang menyampaikan nasihat pernikahan. Keduanya menyimak dengan raut serius.
Setelah selesai, tiba-tiba Elara melihat 'pacar' Angga berdiri di deretan anggota keluarga pria itu. "Pacarmu juga ada di sini, Dok?" cecarnya sembari berbisik.
Angga mengikuti arah mata Elara, lalu balas berbisik, "Namanya Attaruna, adik sepupu saya."
"Ow!" Elara berseru singkat.
Angga mengerutkan dahinya. Tadinya ia menunggu momen Elara mengkonfrontasi status orientasi seksualnya. Ia menunggu mata perempuan itu terbelalak menatapnya. Rasanya bukan satu atau dua clue lagi yang ia berikan bahwa dirinya adalah pria normal. Tetapi tidak, perempuan itu tampak biasa-biasa saja.
Angga menggaruk pelipisnya. Aneh!
Ia hanya tidak tahu, Elara sedang menggerutu dalam hati. Sungguh terlalu! Sudahlah belok, i****t pula. Hiy...!
Setelah acara pernikahan ditutup oleh MC, kedua keluarga itu melebur menjadi satu. Elara dan Angga saling bertukar sapa dengan semua orang. Mami Irene memeluk Elara dengan mata setengah basah.
"Selamat datang di keluarga kami, Sayang. Kalau Angga menyulitkan, kasih tahu Mami, ya."
Elara tersenyum kecil membalas pelukan ibu mertuanya. "Terima kasih, Mam."
"Mami pilih kasih," celetuk Angga. "Mentang-mentang sudah punya mantu, anak sendiri dibilang menyulitkan."
"Terkadang kamu itu, kan, memang menyulitkan, Mas." Irene mendelik, dibalas kekehan oleh putranya.
Setelah itu, Angga pun sibuk dengan keluarga Elara. Hadi menepuk-nepuk bahunya dan berbisik, "Kamu berhati-hatilah dengan Elara."
Ketika Angga mempertanyakan maksud ucapan ayah mertuanya itu, pria itu hanya tersenyum kecil. "Nanti kamu juga tahu sendiri."
"Selamat, ya, Mas," kata Arby menghampiri Angga. "Bisa kita bicara sebentar?" sambungnya memberi kode agar mereka menjauh dari anggota keluarga yang lain.
"Ada apa, By?"
Arby menghela napas panjang sebelum bicara. "Untuk Mas ketahui, bila dibandingkan dengan kedua orang tua saya, saya jauh lebih menyayangi kakak saya."
"Ya, saya tahu." Angga mengangguk-angguk. Ia bisa melihat dua kakak beradik itu saling menyayangi satu sama lain. Dari cara Arby menatapnya, tampaknya Arby serius sekali. Ucapan Arby berikutnya membuatnya tertegun.
"Saya titip Mbak El pada Mas Angga. Tolong jaga kakak saya baik-baik. Dia memang selalu berlagak jadi perempuan paling kuat di dunia, tetapi ketahuilah hatinya rapuh sekali.
"Bila suatu hari nanti Mas tidak menginginkan kakak saya lagi, tidak perlu Mas sakiti dia. Bilang saja pada saya, saya akan jemput dia. Dan bila Mas menyakiti kakak saya, sebuah rasa sakit yang tidak bisa dia tanggung, Mas tahu, kan, harus berhadapan dengan siapa?"
***
Gaes, bab ini aslinya panjang, tapi kupecah dua jadi 11&12 karena aku lagi ngejar views. Jadi bab 12 nya dipost besok yak ?