Elara terbangun tatkala erangan memenuhi gendang telinganya. Ia mengusap-usap matanya menyesuaikan penglihatan dengan pencahayaan kamar yang buram. Setelah itu ia menyadari posisinya sudah bergeser. Kepalanya pindah melintang ke sisi kiri tempat tidur dan kakinya berada tepat di samping paha Angga. Bantal yang tadi menghalangi mereka terbang entah ke mana.
Terkesiap ia bangun, lalu memeriksa pakaiannya. Utuh. Elara bernapas lega.
"Kamu kenapa, Dok?" tanyanya tak mengerti. Ia buru-buru bangkit mencari remote control untuk menyalakan lampu, lalu menyaksikan sang suami bergelung sambil merintih. "Sakit perut?"
"You hit my balls!" Angga berseru kesakitan. Sepercik air mata merembes di sudut matanya. Bagi seorang pria, tak ada rasa sakit yang mengalahkan sakit saat sang aset vital terkena 'kecelakaan'. Sensasi sakitnya sulit dijabarkan dengan kata-kata. Otaknya sibuk memikirkan diagnosa selanjutnya. Berbagai kemungkinan buruk mengintai, mulai dari p***s bengkak, hematoma, gangguan berkemih, robekan saluran kencing, gangguan ereksi, sampai yang paling parah terjadinya fraktur.
"Your balls? What balls?"
Angga pelan-pelan menunjuk ke selangkangannya.
"Ouch!" Elara menutupi mulutnya yang ternganga. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi ngeri sekaligus ngilu membayangkan rasa sakit yang ditanggung Angga. Kalau dilihat dari posisi tidurnya, mungkin Angga terkena hantaman tumit Elara.
"Buat apa saya mukul situ? Saya, kan, tidur?" sahutnya pura-pura polos.
"Kamu tidur tapi kakimu ke mana-mana!" balas Angga kesakitan. Mukanya memerah. Sekarang ia mengerti maksud perkataan kedua mertuanya. Tidak bisakah mereka berterus terang saja? Setidaknya Angga bisa mengantisipasinya. "Ya Tuhan, sakit sekali! Kamu mau saya mati, hah?"
"Loh, saya kan nggak tahu situ bakalan kena. Makanya nggak usah ngotot tidur sama saya."
"Kalau saya tahu kamu tidurnya lasak, saya ndak bakalan mau tidur sama kamu. Kayak bocah aja. Tidur pakai sarung sana biar ndak lasak!"
"Ya, salah situ sendiri, ngapain maksa." Elara merengut tak terima disalahkan.
"Kalau salah mbok yo minta maaf. Apa susahnya, sih?" Angga meringis. Pasal perempuan selalu benar itu nyata adanya. Sayangnya, ia tidak terlalu terbiasa dengan kultur seperti itu. Makanya melihat ekspresi tak bersalah Elara membuatnya jengkel sendiri.
Elara terdiam, lalu berkata lirih, "Maaf, saya nggak sengaja."
"Bisa ndak kamu bantuin saya?"
"Bisa, Dok." Elara segera bersiap. "Perlu apa?"
"Tolong ambil botol air mineral dingin di kulkas."
"Oke." Tanpa ba-bi-bu Elara melesat keluar kamar lalu turun ke dapur, tentu saja menjaga langkahnya tetap santai agar tidak gedebak-gedebuk saat menuruni anak tangga. Ia takut Mami Irene dan Jani terbangun.
Elara segera mengulurkan botol plastik tersebut pada Angga yang langsung ditaruh Angga di sela pahanya. Setidaknya dapat mengurangi nyeri lebih cepat.
"Butuh bantuan lagi, Dok?"
Angga mengangguk.
"Apaan? Bilang aja, jangan sungkan."
"Uhmm ... " Angga mengulum seringaian jahil, "barangkali kamu bisa elusin sebentar, biar rasanya agak enakan."
"Elusin apa?" Kening Elara berkerut.
"Yang kamu tendang tadi."
"Hah?" Elara melongo. Saat menyadari maksud terselubung Angga, ia sontak berkacak pinggang. "Heh, situ jangan ngelunjak, ya! Dikasih hati minta jantung. Nanti kalau dia jadi gede, justru saya yang repot!"
"Ndak repot. Tinggal dilanjutkan saja biar sama-sama enak."
"Nggak sudi! Mimpi aja sana! Dasar omes!" Elara melemparkan bantal pada Angga yang cengengesan tak karuan. Di mana-mana otak cowok itu sama aja, selalu kurang ajar!
"Ojo galak-galak, El. Saya ini suami kamu."
"Terus mentang-mentang kamu suami saya, kamu mau pakai privilege kamu buat ngapa-ngapain saya? Ingat perjanjian kita ya, Dok. No s*x, no love!" sembur Elara dengan muka merah padam.
"Saya ndak jamin suatu hari nanti kamu ndak jatuh cinta pada saya lho, El."
"That's not gonna happen. Mark my words!" El melotot. Sepertinya mimpi Angga ketinggian!
Di penghujung rasa sakitnya Angga memasang tampang antara geli dan meringis. Modus operandinya gagal total. Jokes murahan tak berkelas tersebut tidak mempan untuk Elara, malah membuat Elara muntab. Muka perempuan itu merah padam berangsur kelabu. Meskipun tujuan utamanya hanya untuk mengerjai Elara. Siapa yang bisa turn on dalam kondisi seperti ini? Dielus oleh Alexandra Daddario pun ia takkan bisa ereksi.
Tiba-tiba ia teringat misuhan Attar. Dengan beristrikan Elara, jelas dirinya tak beruntung mendapatkan Barbie doll, melainkan Annabelle yang membuat ritme jantungnya tak bisa tenang. Namun, ia tidak menyesal. Setidaknya, hidupnya tak akan membosankan.
"Yo wis, tolong ambilin sleeping bag dalam lemari saya," pungkasnya.
"Buat apa?"
"Saya jelas ndak bakal mengalah dengan tidur di lantai, El. Satu-satunya cara biar saya ndak jadi korban kamu lagi, kamu tidurnya dalam sleeping bag."
"Oh, solutif sekali, ya, Dok," El mendengus. Ia melirik Angga yang tertatih-tatih berjalan ke kamar mandi, mungkin untuk mengecek kondisi sang 'aktiva tetap'. Duh, kasihan dia!
Mau tidak mau Elara mencari sleeping bag yang dikatakan Angga. Ia menggelarnya di atas tempat tidur, sedangkan Angga sudah berbaring di tempatnya. Elara mematikan lampu, kemudian menarik resleting sleeping bag–nya dan membungkus tubuhnya dalam kantong tidur tipe mummy tersebut.
Selang setengah jam kemudian, Elara tak jua bisa memicingkan mata. Gerah. Sleeping bag–nya terbuat dari bahan polyester untuk menahan dingin di alam bebas. Ia melirik ke sebelah dan melihat Angga sudah pulas. d**a pria itu kembang-kempis teratur.
Diam-diam ia bangkit dari pembaringan, kemudian mengambil bantal dan menggelar sleeping bag–nya di lantai yang beralaskan karpet. Tak tega rasanya bila nanti Angga kembali jadi korban ketidakmampuannya mengontrol pergerakan di saat lelapnya.
***
"Tolong Jani, panggil Masmu. Jam segini masa belum bangun? Jangan mentang-mentang sudah punya istri, dia jadi malas bantuin beres-beres," omel Irene melihat Angga tak jua turun dari kamarnya.
"Ya, Mam." Jani bergerak pergi.
Elara yang sedang membersihkan meja tamu mendengarkan obrolan singkat tersebut hanya bisa meringis. Sehari-hari, justru dirinya tidak punya kontribusi apa-apa terhadap apartemen tersebut. Selalu Angga yang menyapu, mengepel lantai, membuang sampah, mengelap meja dan sebagainya. Pria itu resik sekali. Sementara Elara menganggap tempat itu layaknya hotel tempat singgah. Bahkan, ia tidak tahu menahu di mana keberadaan wajan, piring, ataupun pisau dapur.
Ia berangkat pagi-pagi sekali menghindari macet di jalan, kemudian sarapan di dekat kantor. Siangnya tentu ia makan di luar. Malam harinya, ia mengisi perut sebelum kembali ke apartemen. Baju kotornya ia cuci di laundry. Sederhana sekali. Ia tidak peduli urusan perut Angga, juga kebutuhan Angga yang lain. Elara hanya mengikuti pakem perjanjian yang mereka sepakati di awal. Masa bodoh soal hak dan kewajiban. Simple, bukan?
Selesai mengelap perabotan, Elara mendekati Mami Irene di dapur. "Mami bikin apa? Ada yang bisa saya bantu."
"Bikin nasi goreng aja, Sayang, biar ndak ribet. Kebetulan ada sisa nasi di rice cooker. Kamu duduk saja yang manis, sesekali Mami masakin sarapan buat mantu," jawab Irene tersenyum sayang.
Mendengar jawaban itu hati Elara menghangat. Andaikan saja pernikahan ini bukan pura-pura, tentunya ia dengan senang hati menganggap Mami Irene sebagai ibu kandungnya. Ia akan menelepon perempuan itu setiap hari, mengajaknya mengobrol hal-hal yang tidak penting. Sejauh ini, Mami Irene dan Papa Rama lah yang rajin menelepon menanyakan kabarnya. Dirinya menghubungi mereka sekadarnya saja.
"Kapan libur, El main ke Jogja, ya."
"Siap, Mam." Satu hari pasca resepsi, sang mertua mengadakan pesta unduh mantu di Yogyakarta yang mereka lakoni satu hari saja sebelum buru-buru kembali ke Jakarta.
Elara menoleh ke kiri dan melihat Angga mendekat dengan muka bantalnya.
Tanpa sadar, tatapan Elara tertuju pada s**********n Angga. Pria itu berjalan normal. Apa si 'aktiva tetap' sudah nggak apa-apa? pikirnya.
Sayangnya, tatapan tersebut tak luput dari penglihatan Angga. Pria itu berdeham kecil. Ketika Elara menatapnya, ia menyeringai jenaka.
Elara segera membuang muka. Pipinya sontak memerah. Matamu, El!
Angga mengecup kening ibunya. "Pagi, Mam." Kemudian mengusap kepala adiknya. "Pagi, Dek."
"Pagi, Mas."
"Kenapa cuma Mami yang kamu cium?" Irene memberi kode ke arah Elara yang sedang menunduk.
Secepat kilat, Angga mencondongkan tubuhnya untuk mengecup pipi Elara. Perempuan itu terkesiap. Ketika sang ibu lengah, Elara mengancamnya dengan meletakkan jari di lehernya. Angga membalas dengan mengedipkan sebelah mata. Raut wajah perempuan itu semakin geram. Ingin Angga tertawa, puas rasanya mengerjai Elara.
"Mas Angga sini, bantuin Mami motong daun bawang," celetuk Irene menyerahkan pisau, talenan, dan beberapa batang daun bawang yang telah dicuci pada Angga. "Kamu ndak membiarkan Elara repot sendiri tiap pagi, kan? Jangan mentang-mentang sudah punya istri terus kamu bertingkah jadi raja."
"Ndak kok, Mam. Tanya saja pada mantu Mami."
"Benar, El?"
Elara tergagap tak enak hati. "Hmm, benar, Mam."
Ia mendadak terpana melihat cekatannya pergerakan tangan Angga di atas talenan. Pria itu sudah layak mengikuti kompetisi Masterchef. Serius!
"Baguslah." Irene kembali sibuk mengaduk nasi di wajan, menaburinya dengan kecap, aneka bumbu, dan garam. "Kalian ndak cari ART saja?"
"Buat apa, Mam? Kami masih handle berdua saja," jawab Angga.
Di sela kesibukannya, ia masih bisa mengurus dirinya sendiri. Paling-paling hanya galau meninggalkan tanaman hias di balkon ketika ada tugas ke luar kota selama beberapa hari. Bila itu terjadi nanti, ia akan meminta bantuan pada Elara saja. Mungkin dengan balasan Angga harus mengisikan saldo e-wallet perempuan itu lagi.
"Kalian itu kalau malam heboh, ya? Mbok yo direm dikit suaranya, kasihan kalau tetangga dengar. Iya kalau tetangga kalian sudah nikah, gampang urusan. Kalau jomlo gimana? Gigit jari, kan?" sindir Irene sepintas lalu.
Angga dan Elara saling berpandangan, sedangkan Jani diam saja, sibuk mengelap piring makan.
"Mami minta maaf semalam nguping. Habisnya kalian berisik sekali." Tiba-tiba Irene memasang wajah bersalah pada Elara. "Maaf, Mami bukannya ikut campur. Semalam Mami dengar kalian menyebut-nyebut ... kalau Mami tidak salah dengar ... sarung, atau apa gitu. Kalian ... hmm ... berencana menunda punya anak dulu?" katanya yang langsung mengasosiasikan kata 'sarung' sebagai a**************i paling sederhana, k****m.
Angga menunduk salah tingkah, sedangkan pipi Elara bersemu merah. Tampaknya ada kesalahpahaman di sini. Andaikan sang ibu tahu, Elara sudah membuat aset Angga beserta isinya terancam punah, entah bagaimana respons wanita itu.
"Itu ...." Elara berdeham.
"Ndak perlu sungkan. Kalau memang demikian adanya, justru Mami senang."
"Lho, kenapa senang, Mi? Mami ndak kepingin punya cucu?" tanya Angga heran.
"Kepingin sih kepingin, Mas. Tapi kalau kalian belum siap, piye? Sebaiknya kalian gunakan waktu untuk saling mengenali karakter masing-masing terlebih dahulu.
"Mami dan Papa ndak akan merecoki kalian soal anak. Ndak usah buru-buru. Nikmati saja. Milikilah anak saat kalian benar-benar siap. Karena, bukan berarti setiap perempuan dan laki-laki yang siap menikah otomatis juga siap untuk menjadi orang tua. Ndak gitu konsepnya. Relasi antara pasangan dan relasi ketika menjadi orang tua itu berbeda. Menjadi orang tua itu ndak bisa kalian batalkan, anak ndak bisa diretur pada Yang Maha Kuasa. Persiapkan diri kalian dengan baik."
Irene memang ingin Angga segera menikah, tetapi bukan berarti ia juga lancang mengintervensi kehidupan rumah tangga anaknya. Ia berharap sebelum menjadi orang tua, Angga dan Elara sudah selesai dengan diri mereka masing-masing, terutama Elara. Ia tahu menantunya itu kekurangan kasih sayang dari orang tuanya.
"Kamu Mas Angga, kalau ada luka batin atau cara pengasuhan Mami dan Papa yang melukai hatimu, bereskan dulu luka-luka itu. Kami minta maaf tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna untukmu. Begitu juga dengan Elara, ya, Nak. Kalau perlu, di akhir minggu kalian luangkan waktu, temui konselor, ikuti kelas-kelas parenting," ceramah Irene panjang lebar. "Insyaallah ketika kalian diberi kepercayaan nanti, kalian sudah benar-benar siap dititipi amanah."
Mata Elara sontak berkaca-kaca. Kerongkongannya tersekat. Dengan suara serak ia mengucapkan terima kasih, lalu memeluk Mami Irene. Memiliki anak memang tak ada dalam kesepakatannya bersama Angga. Namun, melihat sang mertua penuh kebijaksanaan serta penghargaan dengan tidak banyak menuntut, sontak membuat rasa haru memenuhi rongga d**a Elara.
"Sarapan sudah siap," suara Jani menginterupsi. Gadis itu menyusun piring berisikan nasi goreng yang masih panas. Wanginya menggugah selera.
Selama sarapan, keempat manusia itu berbincang hangat. Sesekali Angga menggoda Elara, sesekali tingkah mereka mesra. Tak jarang Elara tertawa mendengar guyonan Mami Irene. Angga yang melihat tawa perempuan itu ikut senang. Wajah Elara terlihat lebih manis dari biasanya.
Selesai sarapan, Mami Irene dan Anjani segera mandi. Keduanya pamit tak lama kemudian.
"Mami mau ketemu Tante Niken dulu," katanya kepada Angga dan Elara yang mengantarnya ke bawah.
Angga memeluk ibunya. Sang ibu menolak keras usulan Angga yang ingin mengantarkan mereka. Ternyata, ibu dan adiknya telah ditunggu oleh sopir Tante Niken di depan lobby.
Sebelum masuk mobil, Anjani mendekati Angga dan Elara dengan raut datar, lalu berbisik, "Mungkin kalian bisa membohongi Mami, tetapi aku tidak. Akting kalian buruk sekali."
Angga dan Elara sontak terpaku. Ketika mereka tersadar hendak meminta konfirmasi Anjani, mobil yang membawa mereka sudah keburu pergi.