"Papa nggak datang, Ma?"
"Papamu ada pekerjaan di luar kota."
"Oh." Elara hanya bisa bergumam pendek. Sudah biasa bila ayahnya hampir tak pernah hadir pada momen-momen penting dalam hidupnya. Bahkan pria itu tidak meluangkan waktu menemani Elara di hari kelulusan SMA-nya. Ayahnya juga takkan menghadiahinya dengan sorot mata bangga ketika namanya masuk dalam daftar lulusan terbaik salah satu dari sepuluh SMA top di Indonesia.
Elara berharap pada ayahnya satu kali itu saja. Namun sepertinya, ia harus mendulang kecewa. Harapannya terlalu besar.
Untuk merayakan kelulusan, sang ibu membawanya ke sebuah pusat perbelanjaan dan membiarkan Elara memilih pakaian atau barang-barang yang disukainya. Elara yang seringnya harus puas menjadi prioritas nomor dua tentu saja menyambut ide itu dengan senang hati. Wajahnya berseri-seri.
Tiba di dekat sebuah toko perhiasan, tatapannya tertumbuk pada seorang perempuan hamil di kejauhan. "Tante Jihan?" gumamnya.
Keningnya berkerut samar. Setahunya, perempuan itu masih lajang. Lalu, kenapa bisa hamil? Kapan dia menikah? Mengapa keluarganya tak diundang? Atau jangan-jangan ayah dan ibunya diam-diam pergi ke pernikahan Jihan? Sayang sekali Jihan tidak turut mengundang Elara. Padahal Elara lumayan sering mengobrol dengan Jihan kala perempuan itu mampir ke rumah.
Tak lama setelah itu, seorang pria muncul dari belakang dan menggandeng tangan Jihan dengan mesranya, lalu mengusap perutnya. Perempuan itu menggelendot manja.
Jantung Elara seakan-akan berhenti berdetak. "Papa?"
Berbagai pertanyaan simpang siur di kepalanya bak jalinan kabel kusut. "Ma?" panggilnya dengan suara bergetar. Ia tidak terlalu bodoh menyimpulkan adegan pendek di depan matanya itu. Ayahnya dan Jihan pasti punya hubungan khusus.
Elara menoleh dan mendapati ibunya sama membekunya di tempatnya berdiri. Muka ibunya merah padam. Tampak amarah menyala-nyala di kedua bola matanya. Kantong belanjaan yang tadi di tangan ibunya kini teronggok diam di lantai.
"Ayo pulang, El." Nora memungut kantong belanjaannya lalu menyeret tangan Elara.
"Tapi, Ma—"
"Pulang, Elara!"
"Setidaknya jelaskan padaku mengapa Tante Jihan menggandeng tangan Papa, Ma!" balas Elara melepaskan tangan ibunya dengan paksa. Berjuta pertanyaan meledak di kepalanya.
Nora menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Sebentar lagi kalian akan punya adik dari Jihan."
Elara ternganga. "Apa?"
Nora mengangguk. "Benar. Jihan adalah istri muda papamu."
Peristiwa itu mencengkram kuat dalam ingatan Elara. Meskipun ia memiliki minim kedekatan emosional dan psikologis dengan ayahnya, tetap saja pemandangan menyakitkan itu membuat amarahnya meletup-letup bak cairan panas. Gejolak emosi masa muda membuatnya ingin mencakar wajah Jihan sampai berdarah-darah.
Ia berusaha menutupi kejadian tersebut dari Arby selama beberapa minggu, walaupun tak lama kemudian Arby datang mengadu dengan pipi bengkak karena dihajar oleh ayahnya. Arby kecil nekat mengkonfrontasi sang ayah setelah melihat pria itu nekat mencium pipi Jihan di teras rumah.
Entah bagaimana perasaan Tira. Ketika Elara menyampaikan perselingkuhan ayahnya kepada Tira, perempuan itu hanya menyeringai. "Sakit hati, ya? Pasti sakit, dong?"
"Maksud lo apa?" Mata Elara setengah terpicing, tak mengerti maksud ucapan Tira.
Tira mengangkat bahu. "Laki-laki punya hak memiliki maksimal empat perempuan, kan? Peduli setan dengan perasaan anak istri. Masa lo nggak tahu? Sekarang lo tahu, dong, gimana rasanya?"
Entah itu sarkasme atau apalah namanya, Elara tak sempat bertanya. Tira mengempaskan pintu kamarnya tepat di depan hidung Elara.
Dalam diamnya, Elara tahu ibunya memendam luka yang begitu dalam. Berkali-kali Elara dan Arby menyarankan ibunya untuk bercerai, tetapi wanita itu dengan tegasnya menggelengkan kepala.
Semenjak itu, perasaan Elara untuk sang ibu tak pernah sama lagi. Keluarga tempatnya hidup bersama selama delapan belas tahun juga takkan pernah sama lagi.
Dan sepuluh tahun kemudian, tragedi yang sama kembali mencabik luka di hati Elara. Ia pikir, trauma itu takkan pernah sembuh sampai ia menutup mata untuk selama-lamanya.
***
Minggu siang, terdengar pintu kamar Elara diketuk dari luar. Elara yang sedang bermalas-malasan berdecak kesal. Biasanya—setelah berganti status—di akhir minggu ia selalu menghilang keluar. Kali ini berbeda, di luar hujan deras, ia enggan pergi berkelana.
Dengan kaki mengentak-entak ia berjalan ke pintu. Elara melongokkan kepala sedikit saja. Mengingat kejadian tadi pagi, sikapnya lebih waspada, berjaga-jaga agar Angga tidak nekat masuk dan mencabulinya.
"Kamu lapar, ndak?" tanya Angga.
"Bukan urusan situ!" balas Elara ketus. "Nanti saya pesan lewat ojol," ujarnya lagi melihat Angga tampak hendak membuka mulutnya.
"Kasihan ojolnya disuruh hujan-hujanan nganterin makanan," kilah Angga.
"Tenang, saya selalu ngasih tips, kok."
Angga memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Mendingan kamu bantuin saya memasak."
Elara mendengus. "Males!"
"Ayolah, El."
"Ayo apa? Situ masak aja sendiri, saya males dekat-dekat orang omes kayak kamu!" Elara menutup pintunya kembali, namun terlambat kala sebelah kaki Angga menyumpal daun pintu. "Apa lagi? Udah, sana pergi. Jangan ganggu!"
Angga memasang raut memelas bak bocah kecil. "Mau sampai kapan kita begini terus, El?"
"Begini maksudnya?"
"Kamu menghindari saya."
"Memangnya apa yang kamu harapkan dari pernikahan kita?" balas Elara.
Sikap Angga seharian ini benar-benar membuatnya tak mengerti. Sedari awal mereka sudah sepakat menjalani pernikahan dengan perjanjian yang saling menguntungkan satu sama lain. Apakah pria itu berubah pikiran dan menjadikan hubungan mereka sebagai sebenar-benarnya pernikahan?
Well, itu agak menakutkan. Selain membuat bingung, Elara belum siap membuka hati, baik itu untuk diperhatikan, dicintai, ataupun jatuh cinta lagi. Konsep cinta terlalu menakutkan baginya. Ia ngeri bila suatu saat terjerat, lalu tidak kuat merangkak keluar saat peristiwa traumatik itu terulang kembali. Pria adalah makhluk berlogika yang alat kelaminnya gampang mencla-mencle pada 'goa' perempuan lain. Bisa-bisa nasibnya sama saja dengan ibunya.
"Setidaknya kita bisa berteman," jawab Angga mengingatkan Elara akan klausul tak tertulis saat mereka usai lamaran.
"Cuma orang gila yang mau berteman dengan penipu!" balas Elara ketus.
Sudah menjadi rahasia umum, tak ada persahabatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa tanpa melibatkan perasaan. Entah ke mana pertemanan yang ditawarkan Angga akan membawa mereka nantinya. Jujur saja itu menggiurkan, sekaligus membahayakan.
"Saya ndak sepenuhnya salah, lho, El."
"Whatever." Elara memutar bola mata. "Saya masih kesal sama kamu."
"Kesalnya awet, ya, sampai satu bulan? Ayo turun, temani saya memasak," kata Angga memaksa.
"Saya sudah bilang nggak mau. Situ budeg, ya?" Elara melotot.
"Ndak usah khawatir. Saya janji ndak akan nyentuh kamu. Kecuali—"
"Kecuali apa?"
Angga berdeham kecil. "Kecuali kamu yang minta duluan."
"Heh, situ jangan mimpi ya!" Elara sontak melotot.
"Nggak usah ngegas El."
"Masalahnya kalau dibaikin terus, kamu itu ngelunjak!"
"Lalu, apa yang bisa bikin kamu mau berinteraksi layaknya teman dengan saya?"
Elara berpikir sejenak. "Bisa nggak kamu berjanji nggak akan genitin saya lagi? Nggak akan mesumin saya lagi? Saya nggak suka kamu cium-cium saya sembarangan. Saya nggak suka kamu ngedipin saya tiap sebentar. Saya colok matamu nanti!" ancamnya sengit.
Raut genit bin m***m ala pria membuat Elara mual setengah mati. Yang terbayang olehnya adalah raut genit ayahnya kala Elara melihat pria itu bersama Jihan. Mengingat Angga dibesarkan dalam keluarga harmonis, serta melihat sikap sang ayah mertua kepada ibu mertuanya, bukan tidak mungkin didikan tersebut disalin oleh Angga.
"Astaga, El, namanya juga akting. Dan itu pun hasilnya buruk."
Angga tiba-tiba tersadar, bersikap m***m ataupun genit bukanlah jalan pintas menjalin hubungan baik dengan Elara. Perempuan itu tampaknya antipati dengan hal-hal yang berbau romantis dan intimasi. Kepalan tinjunya, juga ancaman sengitnya, bukanlah gimmick semata. Jelas Angga butuh pendekatan lain serta kesabaran ekstra.
Tunggu dulu. Sebenarnya, apa gunanya Angga mendekati Elara? Ke mana pernikahan ini akan ia bawa? Benarkah frasa quid pro quo itu tak lagi penting baginya? Benarkah ia menginginkan pernikahan yang berjalan normal sebagaimana mestinya?
Biarlah ia pikirkan nanti saja. Yang jelas, Angga butuh teman yang bisa ia ajak bicara. Di usianya sekarang, circle pergaulannya semakin menyempit. Ia lebih selektif memilih teman. Para pria sebayanya sudah sibuk dengan keluarga mereka masing-masing.
Elara menatap mata Angga dalam-dalam. "Kamu memperingatkan saya untuk tidak jatuh cinta sama kamu karena mungkin itu akan menyakiti saya. Tapi di saat yang sama, kamu mendekati saya seperti menawakan sesuatu. Sebenarnya niat kamu itu apa? I'm tired of this s**t, Dok. Jadi kalau kamu beneran menawarkan pertemanan, atau kalau kamu mau pernikahan ini berjalan sesuai rencana yang sudah kita sepakati, please, don't cross the line."
Angga tertegun. Berbagai pertanyaan melintas di kepalanya melihat sepercik rasa takut timbul dan tenggelam di sepasang mata Elara. Sebuah kegamangan yang pernah ia pertanyakan pada dirinya sendiri.
Dulu sekali.
"Yes, Mam." Angga mengangguk patuh. "Saya minta maaf sudah bersikap kurang ajar dan bikin kamu ndak nyaman. Itu ndak akan terjadi lagi, saya janji."
Elara mengembuskan napas pelan. Mengapa Angga semurah hati ini mengucap maaf? Mengapa dia kelihatan tulus sekali? Tidak bisakah dia bertingkah menyebalkan saja agar Elara punya cukup alasan untuk menahtakan benci?
***
Pendek aja ya, Genks. Besok disambung lagi, soalnya lagi ngejar views .