2. Kehadiran Yang Tidak Diinginkan

1117 Words
Tiga hari sudah Mia mendekam di dalam rumah mewahnya. Ia hanya berkutat di dalam kamar, dan juga ruang makan. Dan selama itu juga Elena tidak bisa dihubungi maupun menghubungi dirinya. Kesal … dan juga khawatir, membuat Mia merasa gelisah dan tidak tenang. “Kenapa ia tidak menghubungi aku? Dia sengaja membuat aku seperti ini,” gerutu Mia. Tok … Tok … Tok … Seseorang tengah mengetuk pintu kamar Mia. Dengan suara yang sedikit keras, Mia menyuruh orang itu untuk masuk. Ceklek … “Nona, Tuan dan Nyonya sedang berada di ruang kerja. Mereka ingin bertemu dengan anda,” ujar seorang pelayan di dalam rumah itu. “Apa kini ingatan akan anaknya kembali?” Mia berjalan keluar dari kamar, ia menuruni anak tangga untuk sampai di ruang kerja ke dua orang tuanya. “Ada apa?” tanya Mia. “Kenapa kau terlihat kesal?” tanya sang ibu yang bernama Isabel. Mia melangkah masuk ke dalam ruangan itu, ia melihat sang ayah sedang berkutat dengan berkas yang ada di atas meja. Sedangkan sang ibu hanya peduli dengan angka yang sedang ia lihat di layar laptop. “Kenapa kalian ingin bertemu denganku?” tanya Mia. “Sayang, kami tahu jika waktu untuk bersama sangat terbatas. Karena itu, kali ini kami ingin menghabiskan waktu bersamamu, dengan makan malam bersama, bagaimana?” jelas Isabel. “Mama tidak perlu repot, aku lebih suka makan di dalam kamar daripada harus di restoran mahal.” “Mia, sebaiknya kau menerima tawaran ibumu. Jangan seperti anak kecil,” sahut sang Ayah yang mulai  menghentikan kegiatannya. “Baiklah, apa yang ingin kalian bicarakan?” “Apa kau akhir-akhir ini melakukan balapan liar lagi?” tanya Marcelo, sang ayah. “Tidak, aku lebih banyak di rumah. Ada apa?” “Bagus, kau sudah melakukan hal yang benar. Jadi … apa kau sudah memutuskan ingin bekerja di mana?” “Papa, aku ingin bekerja di suatu tempat yang bisa membuat adrenalinku terpacu. Segala hal yang menggunakan senjata, membuat aku bersemangat,” jelas Mia. “Apa kau ingin menjadi seorang teroris?” sahut Isabel. “Jika boleh, aku akan melakukannya,” jawab Mia dengan ringan. “Kau –“ “Cukup! Baiklah, Mia. Malam ini berdandanlah dengan cantik dan anggun. Papa ingin mengajakmu ke sebuah restoran yang mewah,” ujar Marcelo. “Baik, Papa.” Setelah itu, Mia berjalan kembali ke dalam kamarnya. Ia mengatur napasnya perlahan. Lalu mulai masuk ke dalam walk in closet, untuk menyiapkan gaun. Untuk tetap waspada, Mia selalu membawa senjata yang disembunyikan diantara pakaiannya. Setelah semua persiapan selesai, Mia mulai membersihkan diri di dalam kamar mandi. Selama di dalam kamar mandi, Mia tidak mendengar suara dering telepon yang ia letakkan di atas nakas. Telepon itu dari Elena, sahabatnya. Setelah dua puluh menit berlalu, Mia masih tidak menggubris ponsel miliknya. Mia yang sudah selesai dengan persiapannya, mulai melangkah keluar dari dalam kamar. Ia menghampiri ke dua orang tuanya, dan mereka berangkat bersama menuju ke restoran mewah yang berjarak cukup jauh dari rumah mereka. Mia tidak diizinkan untuk menggunakan mobil, ia kini duduk di bangku belakang. Dengan sang ayah yang ada di balik kemudi, dan ibunya duduk di samping pria itu. “Berapa lama waktu untuk makan malam?” tanya Mia. “Sayang, jangan membuat Mama kesal. Kau cukup mengikuti acara ini sampai selesai. Dan setelah ini kami harus berangkat ke Brazil,” jelas Isabel. “Astaga … kenapa kalian tidak langsung saja berangkat ke sana? Kenapa kalian harus mengadakan acara ini?” gerutu Mia. Ciitttt …. Marcelo menghentikan mobil itu secara mendadak. Ia mulai muak dengan tingkah anaknya yang membangkang. Pria itu membuka pintu mobil dan menyuruh Mia kembali ke rumah dengan menggunakan kendaraan lain. Brak! Mia menutup pintu mobil dan berjalan menjauhi mobil itu. Kesal … ia sangat kesal dan tidak tahu harus bagaimana saat ini. berharap ada yang bisa membantunya, tetapi Mia meninggalkan ponselnya di atas nakas. “Bodoh! Kenapa aku meninggalkan ponsel itu di sana?” gumam Mia. Jarak dari ia turun, hingga ke rumahnya cukup jauh. Hingga kaki Mia terasa sakit karena mengenakan high heels. Mia pun melepaskan alas kaki yang dikenakannya, lalu membuang ke dalam tempat sampah. Tidak lama setelah itu, Ada sebuah mobil yang tiba-tiba saja berhenti di depannya. “Apa kau Mia Taylor?” tanya pria yang mengenakan jas hitam. “Ya, siapa kau?” tanya Mia. “Nona, apa kau mau menjalankan sebuah misi?” “Ini, setelah aku sampai di rumah, kalian bisa menghubungiku. Karena saat ini ponselku tertinggal di dalam kamar.” “Nona, misi ini memiliki waktu dua kali dua puluh empat jam. Apa kau bisa melakukannya?” “Kau menghinaku? Sebaiknya tinggalkan pesan pada nomor itu. Aku akan menjalankan misi itu dengan segera.” Mia melanjutkan langkah kakinya tanpa menggubris orang yang kini terlihat bingung. Sudah setengah jam Mia berjalan, tetapi ia masih belum bisa melihat gerbang besar rumahnya. “Di mana rumah itu? Kenapa sangat jauh?” Beberapa kali Mia menginjak bebatuan yang membuat kakinya terluka. Hanya saja, wanita itu tidak merasakan sakit sama sekali. Sampai di depan gerbang rumahnya, Mia menyuruh seseorang mengantarkannya sampai di depan pintu masuk rumahnya. Ia berjalan dengan sedikit terseret, lalu masuk ke dalam kamarnya. Mia melihat ada banyak sekali panggilan tidak terjawab. Dan di sana ada satu nama yang sangat ingin ia temui untuk saat ini, Elena. Mia menghubungi Elena untuk mengetahui kabar darinya. “Kau masih hidup ternyata! Aku kira hanya namamu yang bisa aku temui setelah ini,” ujar Mia di telepon. “Kau memang tidak memiliki akal sehat, bisa-bisanya kau berkata seperti itu,” ujar Elena di seberang telepon. “Kemana saja kau, ha!” “Aku sedang dihukum, maaf jika tidak membalas semua panggilan itu.” “Apa? Kau sedang dalam pengawasan?” “Ya, dan itu menyebalkan! Aku tidak bisa keluar dari wilayah mansion.” “Hahaha, maaf jika aku tertawa … itu adalah hal lucu yang bisa aku tertawakan saat ini.” “Kau benar-benar membuat aku seperti orang bodoh, Mia!” “Ayolah, Ele … aku sangat merindukanmu, apa kau tidak ingin menjalankan misi denganku?” tanya Mia. “Aku tidak bisa, Mia.” “Baiklah, setidaknya kau masih bernapas, dan hidup.” “Kau –“ “Cukup, aku ada misi … sampai jumpa, Ele.” “Okay.” Tut Setelah panggilan telepon itu terputus, Mia kembali melihat pada layar ponselnya. Seseorang sudah meninggalkan pesan untuk misi yang akan dijalankannya. Mia tidak begitu mengenal wilayah yang diperlihatkan di layar ponsel itu. Akan tetapi, ia pasti bisa menemukan tempat itu dengan mudah. Mia membalas pesan itu dengan kata “Oke”. Kini ia bersiap dengan berganti pakaian. Sebuah pakaian ketat berbahan latex sudah melekat di tubuh Mia. Ia juga mengenakan jaket kulit berwarna hitam. “Ayo beraksi!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD