Jodohkah Kita

2169 Words
"Kita harus bagaimana, Bara sudah mengetahui semuanya?" tanya Walles pada Reynald. "Bahkan pecundang itu mempermalukan aku di depan semua orang," kata Walles merasa sangat marah jika mengingat dirinya sempat dipermalukan Bara di depan pegawainya. "Kita harus menyusun rencana baru," kata Reynald sambil menatap Walles. "Benar, perusahaan yang dia pegang dan kendalikan sekarang, jika kita bisa mengambil alih, bahkan untuk hidup tujuh turunan, enggak akan ada habisnya," kata Walles dengan senyum devilnya. "Tapi tak semudah yang kau bayangkan Walles, kita harus menyusun rencana baru agar kau bisa dipercaya lagi olehnya," kata Reynald sambil memainkan bolpoin di tangannya. "Tidak, bahkan jika kau membayarku, aku tidak sudi untuk kembali bekerja sama dengan b******n itu," tolak mentah mentah Walles pada perintah Reynald. "Lalu, apa kau punya rencana?" tanya balik Reynald dengan sangat emosi. "Tenang, kita masih ada putriku dan Dewa," kata Walles sambil tersenyum senang. "Maksud kau, mereka juga akan ikut berperan dalam misi kita?" tanya Reynald tidak mengerti. Walles hanya mengangguk sambil tersenyum devil. "Apa rencanamu?" tanya Reynald pada Walles. Walles mendekat ke arah Reynald, membisikkan rencana barunya. ●●● "Bos bos," kata salah satu bodyguard membangunkan bosnya yang tertidur di sofa begitu juga dengan teman- temannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, mereka curiga kenapa bosnya belum juga keluar untuk pergi ke kantor, sampai waktu makan siang tiba. Hingga akhirnya mereka berniat untuk masuk melihat keadaan bosnya ternyata mereka tertidur di sofa ramai- ramai. "Bos, bangun bos," Bara menggeliat setelah beberapa kali dibangunkan. Dengan kesadaran yang belum terkumpul penuh, Bara terduduk sambil menatap para bodyguardnya yang masih tertidur pulas di sofa. Lalu bodyguard lainnya membangunkan mereka yang masih tertidur pulas. "Bos, kenapa anda bisa tertidur di sini, begitu juga mereka semua?" tanya bodyguardnya. Bara tidak menjawab, nyawanya belum terkumpul penuh. "Sekarang jam berapa?" tanya Bara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jam 10," jawab bodyguardnya sambil menatap jam tangannya. "Oh jam 10," kata Bara hendak kembali berbaring di sofa tapi kembali bangun ketika menyadari ucapannya. "Apa jam 10, berarti telat dong kita ke kantornya," teriak Bara dengan keras seketika mata para bodyguard terbuka dengan lebar mendengar teriakan telat dari bosnya. "Tunggu apa lagi bos, ayo buruan siap- siap," kata Reno, kepala dari semua bodyguard yang ada di rumah. Seketika Bara dan semua bodyguard juga Rendy berlari terburu- buru menuju lift. Bara menekan tombol lift, pintu lift sudah terbuka, seketika Bara teringat sesuatu dan berbalik menatap para bodyguardnya yang berdiri di belakangnya. "Tunggu- tunggu," kata Bara membuat para bodyguard menatapnya. "Apalagi bos, kita sudah telat ke kantornya," kata Rendy tidak sabar untuk pergi bersiap. "Kenapa kita buru- buru ke kantor, itu perusahaan kan milik saya, jadi terserah dong mau berangkat jam berapapun," seketika senyum lebar terbit di bibir mereka. "Oh iya ya, kenapa kita semua bego dan mendadak amnesia," ceplos Rendy bernapas lega. "Kamu ngatain saya bego sama amnesia?" tanya Bara galak pada Rendy. "Maaf bos, maksud saya kita kecuali bos," jawab Rendy sambil menunjukkan gigi putihnya. "Jadi, gimana bos, anda akan ke kantor atau tidak?" tanya bodyguard yang tadi membangunkan mereka semua. "Untuk hari ini, saya ingin beristirahat di rumah," kata Bara kembali berjalan menuju sofa diikuti semua bodyguardnya. "Akhirnya kita bisa istirahat sejenak," gumam Rendy sambil menyandarkan punggungnya di sofa. "Kalau kita kerja sama tuan dan nyonya mungkin kita tidak mempunyai waktu libur sejenak seperti kita kerja sama bos," gumam Reno sangat senang. Seketika Rendy berdiri dengan wajah terkejut dan panik. "Oh iya, hari ini tuan dan nyonya akan ada kunjungan ke kantor anda tuan," kata Rendy membuat Bara sontak berdiri. "Kalau itu kenapa kamu baru ngomong sekarang," kesal Bara lalu berlari cepat menuju tangga menaiki lantai atas. "Bos, kan ada lift kenapa lewat tangga," teriak Rendy pada Bara yang sudah menaiki tangga menuju lantai atas. Seketika semua bodyguard berlari menuju lift untuk turun ke lantai satu dan bersiap. Kini hanya menyisakan Rendy dan bodyguard yang tadi membangunkan mereka semua. "Tuan, sebenarnya kenapa bos dan mereka semua bisa tertidur di sofa hingga telat bangun?" tanya bodyguard itu penasaran. "Semalam kita habis pemilu," kata Rendy lalu pergi meninggalkan bodyguard itu sendiri. "Ya tuhan, ada apa dengan mereka semua, kenapa bos saya berbeda" gumamnya pelan lalu pergi untuk menyiapkan mobil bosnya. Setelah beberapa menit Bara kini telah siap dengan kemeja dan jasnya. Bara tidak sempat makan apapun, dia langsung berangkat ke kantor karena papa dan mamanya akan datang. Hanya sekitar 10 menit Bara kini telah sampai di kantornya. "Ya tuhan bos, anda bisa- bisanya naik mobil secepet itu," gumam Reno sambil berjalan di belakang Bara. "Waktu adalah uang," gumam Bara lirih sambil berjalan dengan penuh karisma hingga siapapun tak akan bisa mengalihkan tatapannya saat Bara lewat. "Bener sih waktu adalah uang, tapi waktu 10 menit tadi nyawa saya hampir melayang," gumam Reno lirih membuat Rendy menahan senyumnya melihat wajah pucat pasi Reno. Bara menaiki lift menuju lantai paling atas, berharap papa dan mamanya belum datang. Mereka telah sampai di lantai paling atas, saat Rendy membukakan pintu untuk Bara, terlihat Bradsiton dan Rose sudah duduk manis menunggu Bara. Dan seorang gadis. Bara memasuki ruangannya dengan santai meski tahu papa dan mamanya sudah datang. Lalu siapa dia? "Pa ma, anda sudah datang?" tanya Bara ketika duduk di samping mamanya. "Apa anda menunggu lama?" tanya Bara bersikap santai tapi dalam hatinya sudah berdebar sangat keras. "Bara, papa sama mama datang kesini ingin membicarakan sesuatu denganmu," kata Bradsiton membuka suara. "Kenalin ini Laura anak teman papa," kata Bradsiton memperkenalkan cewek yang sedari tadi diam dan duduk di samping mamanya. Laura mengulurkan tangannya namun, Bara enggan membalasnya. Laura mengerti sikap dingin Bara. "Kamu ini, diajak kenalan juga," kata Rose sambil menarik telinga kiri Bara. "Aduh sakit ma," rintih Bara karena tarikan di telinganya. "Bara, papa harap kamu bisa kenal lebih dekat bersama Laura," kata Bradsiton yang membuat Bara sudah hafal kemana alur pembicaraan ini. "Pa ma, anda bahkan sudah memperkenalkan Bara dengan 100 cewek lebih mungkin, untuk dijodohkan sama Bara," kata Bara mengeluh akan sikap kedua orang tuanya. "Apa kamu menghitungnya?" tanya Rose mencoba mencairkan suasana yang canggung ini. "Bukan, Rendy yang menghitungnya," merasa namanya dipanggil Rendy menatap Bara terkejut. Bahkan dalam masalah keluarga dirinya selalu disangkut pautkan, batin Rendy. "Bara, usia kamu sudah tidak lagi muda nak, papa dan mama juga sudah semakin tua, kamu bahkan tidak memikirkan tentang dirimu untuk mencari seorang pendamping," kata Bradsiton memberikan pemahaman pada Bara. "Mama juga pengen cepet punya cucu Bara," adu Rose dengan mengedipkan sebelah matanya menggoda Bara. "Mama pengen punya cucu?" tanya Bara yang dijawab Rose dengan anggukan sangat antusias. "Adopsi aja dari panti asuhan atau enggak Rendy aja yang suruh nikah dulu," kata Bara membuat Rose memukul kepala putranya. Rendy langsung menatap tidak percaya pada Bara. Apa gue lagi? batin Rendy sambil mengelus dadanya. Mereka sudah menganggap Rendy sebagai putra mereka sendiri. Semenjak Rendy hidup sebatang kara tanpa keluarga satupun ataupun kerabat. "Rendy nikahnya setelah kamu," kata Bradsiton sambil memeluk bahu Rendy. Rendy menahan senyumnya mendengar ucapan Bradsiton. "Laura, kamu masih kuliah di Jerman kan?" tanya Rose pada Laura yang sejak tadi hanya diam. "Iya tante," jawab Laura sopan dan ramah. "Besok kamu urus surat pindahannya, kamu pindah ke Universitas milik Bara aja ya,kan tinggal satu tahun kamu kuliahnya," kata Rose membuat Laura mengangguk dengan sangat antusias. "Apaan sih mama suruh dia pindah segala," kesal Bara pada mamanya. "Emang kenapa? mama yang suruh," kata Rose semakin membuat Bara kesal. "Terserah mama, Bara mau pergi," kata Bara beranjak untuk pergi. "Ren buruan ikut gue," teriak Bara memanggil Rendy. Rendy berpamitan pada Bradsiton dan Rose untuk menyusul Bara. "Dasar anak itu, enggak ada bedanya sama papanya," gumam lirih Rose sambil melihat kedua putranya itu. ●●● Sela memandangi interior cafe mewah ini, sangat elegan dan juga cukup minimalis. Ya, Sela memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan selama satu minggu ke depan. Karena kecelakaan kemarin, gajinya dipotong satu minggu, karena itu Sela mencari pekerjaan lagi. "Siapa nama kamu?" tanya seorang barista sambil menatap Sela. "Sela," jawab Sela sopan dan ramah. "Baiklah, kamu bisa bekerja selama seminggu untuk menggantikan pegawai yang sedang cuti," katanya membuat Sela sumringah. "Beneran ini tuan?" tanya Sela tidak percaya, barista itu hanya mengangguk sambil tersenyum samar. "Apa hari ini saya bisa langsung kerja?" tanya Sela dengan sangat antusias. "Silahkan, jika kamu siap," katanya membuat Sela mengangguk dengan sangat bersemangat. "Mari, saya antar," katanya sambil berjalan menunjukkan tempat ganti pada Sela. "Gantilah terlebih dahulu, lalu bantu mereka melayani pelanggan yang mulai ramai," katanya lalu pergi begitu saja. "Baik tuan, terima kasih banyak," teriak Sela lalu cepat- cepat pergi menuju tempat ganti dan bersiap untuk bekerja. Sela bekerja dengan baik, pelanggan juga sudah mulai berdatangan meski waktu sudah mulai petang. Sela bersyukur dirinya bisa bekerja sampingan sebagai tambahan biaya ibunya. Semoga dia bisa membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Biarlah rasa lelah ini tergantikan dengan kesembuhan ibunya kelak. Keinginan Sela hanya satu, ibunya sembuh dan sehat seperti dulu lagi. Ya, Sela akan bekerja keras untuk ibunya. "Ya tuhan dia begitu tampan sekali," "Diusia muda dia sudah menjadi seorang miliader," "Lihatlah, betapa beruntungnya nanti yang memiliki suami sepertinya," entah apa yang digosipkan oleh para barista di ponselnya. Sela tidak menghiraukan yang sedang mereka bicarakan, selain Sela tidak punya ponsel dia juga tidak terlalu tertarik dengan media sosial. "Sela," panggil laki- laki tinggi itu sambil membawa nampan di tangannya. "Iya ada apa?" tanya Sela. "Gue minta tolong dong, anterin pesanan ini ke meja 11, gue kebelet banget mau ke toilet," katanya sambil menyerahkan nampan ke tangan Sela karena sudah tidak bisa menahan lagi, dia lari begitu saja. "Ehh tapi," kata Sela ketika cowok itu lari tergesa- gesa. "Yaudah deh," kata Sela lalu berjalan menuju pesanan meja 11, mengantarkan tiga kopi capucino. "Tuan ini pesanan anda, silahkan menikmati," kata Sela sambil meletakkan pesanan mereka di meja. "Permisi," kata Sela setelah selesai mengantarkan pesanan mereka. "Tunggu," Sela berhenti lalu berbalik menatap mereka. Betapa terkejutnya Sela, saat melihat siapa yang memanggilnya. "Bapak," kata Sela terkejut melihat Bara, sedangkan Rendy dan Reno menahan tawanya sekuat tenaga. "Apa saya bapak kamu?" kata Bara kesal saat Sela memanggilnya bapak. "Ya tuhan apa anda mengikuti saya?" tanya Sela sambil menatap Bara kesal. "Apa saya tidak mempunyai pekerjaan sehingga harus mengikutimu," jawab Bara tak kalah kesalnya. "Atau jangan- jangan anda penguntit?" kata Sela sambil menutup mulutnya. Bara menganga mendengar ucapan Sela yang ngelantur ini. Reno dan Rendy tidak lagi bisa menahan tawanya. "Apa itu lucu?" tanya Bara pada mereka berdua yang tidak berhenti tertawa. "Ini cafe saya," kata Bara membuat Sela menahan tawanya, entah apa yang lucu dari ucapan Bara. "Bapak sore- sore gini jangan halu deh, kemarin bilang seorang miliader sekarang pemilik cafe ini," kata Sela tidak percaya pada ucapan Bara. Bara tersenyum miring, bisa- bisanya dia tidak percaya pada ucapan Bara. "Apa kamu tidak melihat berita di sosial media?" tanya Bara pada Sela. "Apa ponsel ini bisa untuk melihat sosial media?" tanya balik Sela sambil memperlihatkan ponsel jadulnya. Reno dan Rendy kembali tertawa melihat sikap berani Sela pada Bara. "Percuma gue begadang cuma buat artikel," gumam lirih Bara membuat Rendy dan Reno menatap tidak percaya pada Bara. "Jadi, malem- malem kita begadang buat pemilu cuma buat dia tahu siapa anda?" tanya Rendy tidak percaya. Sela tidak mengerti arah pembicaraan mereka, Bara menatap tajam Rendy. "Nih, kamu bisa baca kan?" tanya Bara sambil memperlihatkan layar ponselnya yang menunjukkan artikel tentang Bara. "Anda pikir saya buta," ketus Sela kesal pada sikap Bara. Sela menatap layar ponsel Bara, membaca sekilas tentang dirinya. "Lantas, apa kamu sudah percaya sekarang?" tanya Bara pada Sela. Sela hanya diam menatap tajam kearah Bara. "Bara Cafe, apa itu belum cukup membuktikan kalau cafe ini milik saya," kata Bara sambil menunjuk tulisan Bara Cafe. Inilah karma buat Sela, tidak memperhatikan dengan baik saat Bara memperkenalkan dirinya, bisa- bisanya Sela kerja di tempat Bara. "Makanya, besok- besok kalau diajak kenalan diperhatikan baik- baik," kata Bara membuat Sela mencebikkan bibirnya. "Sudah saya permisi," kata Sela meninggalkan mereka bertiga. "Eh tunggu," panggil Bara sekali lagi, membuat Sela menghembuskan napasnya. "Iya, apa bapak ingin pesan lagi," tanya Sela seakan mengejek Bara. Reno cekikikan mendengar ucapan Sela yang mampu membuat Bara naik darah. "Apa saya setua itu di mata kamu?" tanya Bara membuat Rendy dan Reno bertepuk tangan tanpa suara. "Di mata kamu?" kata Rendy dan Reno mengulang ucapan Bara lalu kembali tertawa. Dasar asisten dan bodyguard laknat, batin Bara jengkel pada mereka berdua. "Kalau boleh tahu siapa namu mu?" tanya Bara pada Sela. "Maaf, saya sibuk enggak ada acara perkenalan diri," kata Sela lalu buru- buru pergi untuk kembali bekerja. "Ya tuhan semalam mimpi apa aku, bisa kerja di tempat dia," gumam Sela lirih sambil berlari kecil. "Maaf saya sibuk tidak ada acara perkenalan diri," kata Rendy berdiri sambil menirukan gaya bicara Sela. "Baiklah, saya akan melakukan pemilu buat nebak nama kamu," kata Reno bersikap layaknya Bara. Mereka tertawa sangat keras melihat adegan mereka sendiri menirukan Bara dan Sela. "Apa itu sangat lucu?" tanya Bara sambil menatap mereka berdua tajam. "Maaf kami pamit undur diri," kata mereka berdua lalu berlari keluar cafe sebelum Bara membuat babak belur wajahnya. "Dosa apa gue, punya asisten sama bodyguard laknat seperti mereka," gumam lirih Bara, lalu berjalan menuju ruang Windy, barista cafenya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD