Tetangga Baru

1110 Words
“Mbak, udah aku bersihkan, tapi itu beneran nggak bisa hilang…” lirih Echa. Semalam, lebih dari setengah jam Echa membersihkan heels berwarna peach itu sampai benar-benar mengkilap. “Memang kamu itu kalau kerja nggak pernah ikhlas!” sentak Olivia. “Makanya hasilnya begini.” “Tapi, Mbak… aku udah berusaha-“ ucapan Echa terhenti, ketika melihat Olivia dengan santainya melemparkan sepasang heels itu ke dalam tong sampah yang ada di depan pintu gerbang. “Nggak guna.” “Mbak, beneran mau dibuang?” menurut Echa, heels itu masih sangat bagus. Apa tidak mubazir dibuang hanya karena ada sedikit noda? memang kalau punya banyak uang bisa bersikap seenaknya ya? “Ya, kenapa?” “Mending buat aku aja,” sahut Echa tanpa ragu. Dia yakin size kaki yang mereka miliki sama. “Ambil sana, dasar sukanya yang bekasan.” Echa tidak peduli. Hinaan, dan kata-k********r sudah sangat biasa dia dengarkan dari Olivia. Dia melangkah menuju gerbang, memungut kembali sepasang heels yang sudah dianggap sampah oleh orang lain. Namun, masih cukup berarti baginya. Jika sebagian orang akan menangis saat dihina, Echa kini justru tersenyum. Siapa tahu nanti dia bisa membutuhkan benda ini suatu hari. Saat akan melamar kerja, misalnya. “Buka gerbang lebih lebar!” Olivia kembali memberi titah padanya, masih dengan nada tinggi dan mengencangkan suaranya karena kini wanita itu sudah berada di dalam mobil. Echa mendorong pintu gerbang agar terbuka semakin lebar, sesuai titah wanita kasar itu. “Pak Rey?” suara Olivia berubah seketika menjadi sangat lembut, saat dia menangkap sosok yang dikenalinya dari balik pagar besi, tepat di sebuah rumah yang letaknya di sebelah rumahnya. Ya, dia yakin itu adalah Rey Arsenio, dosen di kampusnya dulu. “Ya,” sahut lelaki singkat, dan hanya menoleh sesaat. Respon orang yang Olivia tegur, sangat berbanding terbalik dengan usaha yang telah dilakukannya. Olivia sudah melembutkan suara, juga memasang senyum semanis mungkin, berharap lawan bicaranya menoleh lebih lama atau membalas senyumannya. setelah memarkirkan mobilnya di tepi jalan, dia keluar dari mobil. demi meyakinkan sesuatu. Itu benar-benar dosennya saat kuliah dulu, kah? Dosen yang benar-benar populer, selain karena ketampanannya, juga karena jutek dan sikapnya yang dingin pada mahasiswa terutama kaun hawa. “Saya tau rumah ini udah ada pembelinya, ternyata Bapak?” tanpa dipersilahkan Olivia masuk melalui pintu gerbang yang tidak tertutup sepenuhnya. “Kamu tinggal di sebelah?” tanya lelaki bernama Rey itu. Demi menghargai lawan bicaranya, dia berhenti sejenak. Sedang menata beberapa jenis tanaman yang tertanam rapi di dalam pot. “Iya Pak,” sahut Oliv. “Berarti yang ngobrol sambil teriak-teriak itu tadi, kamu?” pertanyaan yang tak disangka-sangka Oliv, dilontarkan oleh Rey. Jadi, sedari tadi suara nyaringnya terdengar oleh tetangga baru yang rupawan ini? habis sudah imagenya, pasti langsung jelek di mata Rey. “Iya Pak. Saya emosi, menghadapi tingkah pembantu jaman sekarang,” jelasnya tanpa diminta. Dia tega menyebut Keysha pembantu, padahal gadis itu juga masih bagian dari keluarganya. “Apapun ceritanya, menggunakan emosi bukan jalan keluar.” Rey menasihati, jelas saja dia dengar semua dialog dua perempuan itu sejak beberapa menit lalu. Jelas terdengar bagaimana angkuhnya Oliv memperlakukan wanita yang dia anggap pembantu itu. “Iya sih Pak, tapi-“ “Mbak Oliv, makasih banyak untuk heelsnya!” setengah berteriak, Echa mengucapkan itu pada sepupunya yang terlihat sedang asyik mengobrol dengan lelaki tampan, Echa tersenyum tulus. Hanya dengan mendapatkan sepasang heels bekas saja, dia senangnya bukan main. Keduanya menoleh, termasuk Rey yang tidak menyangka pembantu yang dimaksud Oliv, memiliki rupa yang tidak biasa. Tidak cocok jika disebut pembantu. Gadis muda berkerudung yang masih memakai setelan piyama lengkap itu, berhasil menarik perhatiannya. “Itu, pembantu kamu?” tanya Rey. “I-ya Pak. Bapak tinggal sendirian di sini? atau udah… menikah? saya dengar Bapak mau nikah karena dijodohkan.” Olivia langsung mengalihkan obrolan. Sebelum Rey bertanya lebih banyak tentang sepupu yang dianggapnya pembantu itu. Gosip yang berkaitan dengan dosen tampan itu, memang cepat sekali tersebar, hingga yang sudah alumni pun kecipratan mendengar kabar itu. “Belum,” sahut Rey singkat. Dia kembali sibuk dengan aktifitas sebelumnya, menata tanaman. Rey terlihat acuh tak acuh saat ini dengan tamunya yang tidak diundang itu. “Ehm, dari tadi ngobrol, Bapak masih ingat nggak siapa saya?” Oliv menyelipkan rambutnya di balik telinga, siapa tahu Rey ingin menatapnya lebih lama, berharap lelaki itu masih mengingat namanya. Atau kalau dia beruntung, akan terpesona dengan penampilannya. “Saya nggak ingat. Tapi ya saya yakin kamu salah satu mahasiswi saya. Kalau nggak ya mana mungkin tau sama saya.” Oliv membuang napas berat. Dugaannya benar. Dari tadi mengobrol, ternyata lawan bicaranya tidak mengingat dirinya sama sekali. sial. Batinnya. Menenteng heels bekas. Echa masuk ke dalam rumah, terlalu lama di depan, sampai dia lupa waktu. Sementara waktu terus berjalan. Dia ada janji dengan dosen pembimbingnya pagi ini. kia bergegas ke kamar mandi, untuk bersiap-siap. “Assalamualaikum,” ucap Echa saat menempelkan ponsel tepat di telinganya. “Waalaikumsalam, kamu hari ini bimbingan? mau bareng nggak?” Aska Fabian, seorang teman laki-laki yang terus berusaha mencari perhatian dengannya, kembali menawarkan sesuatu yang sudah pasti Kia tolak. “Aku naik gojek aja Ka,” sahut Echa lembut. Menolak secara halus dan sangat sopan. “Padahal aku udah tau jawaban kamu, tapi dengan bodohnya aku masih aja nawarin.” terdengar tawa pilu khas cowok yang sedang ditolak cewek, di seberang sana. “Maaf Aska…” lirih Echa, tanpa bermaksud menyakiti. Prinsip Kia tidak mau berpacar-pacaran. Hanya berteman saja. Namun, tidak melewati batas. Echa menenteng ranselnya, dia sudah rapi dengan setelan tunik, dipadu dengan celana kulot dan juga kerudung warna senada. Di depan gerbang, dia menunggu ojek online yang sudah dipesannya. “Mbak Keysha?” seorang lelaki mengendarai motor dengan memakai jaket khas persatuan ojek online, menyapanya. “Benar, Mas,” sahut Echa sambil menerima helm yang akan dipakainya. “Echaaaaaa!!!” teriak seseoang dari dalam rumah. Tidak hanya Echa saja yang terkejut, tapi juga dua orang lain yang sedang berada di sekitar rumah itu. “I-ya tante?” sahutnya pelan, dengan terpaksa dia mengembalikan helm yang akan dipakainya, kepada tukang ojek online itu. “Mas, sebentar ya?” Echa menjauh, karena tidak ingin dipermalukan dengan kata-kata tante judesnya. “Kamu mau langsung pergi? kerjaan kamu belum selesai!” sentak wanita yang dia panggil tante itu, dengan tatapan tajam ingin menerkam. “Tante jangan teriak-teriak dong.” Echa hanya sekadar mengingatkan, karena saat ini mereka sedang berada di halaman rumah. “Nggak enak kalau ada tetangga yang dengar,” ucapnya lagi. “Siapa kamu berani ngatur-ngatur saya?! itu sampah belum kamu buang, pakaian juga belum dijemur!” titah wanita itu. Echa melirik jam, sial sekali rasanya. Dia tidak punya banyak waktu lagi, karena memiliki janji bimbingan dengan dosen pagi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD