Rasa Penasaran Rey

1240 Words
“Tante, Echa ke kampus sebentar aja, nanti setelah itu-“ “Cepat masuk, selesaikan dulu kerjaan kamu!” Merry, perempuan berambut cokelat itu mendorong tubuh Echa dengan kuat sampai dia tersungkur. “Sebentar tante aku-“ dia berusaha bangun dan balik badan matanya tertuju pada tukang ojek online yang masih menunggunya. “Mas, maaf saya.” “Nggak apa-apa, Mbak. Aman, saya mengerti kok,” jawab lelaki itu dengan tatapan iba. tukang ojek langsung tancap gas dan motornya melaju. Baru kali ini, Echa merasa sangat terpukul. Dia tidak masalah jika dilimpahkan banyak pekerjaan. Tapi masalahnya, saat ini… waktunya sedang genting. Dosen pembimbingnya termasuk salah satu dosen yang super sibuk dengan segudang kegiatan. Hingga Echa kesulitan untuk mengatur jadwal bimbingannya agar bisa bertemu dengan sang dosen. “Enak aja mau main kabur, kerjaan belum beres!” omel wanita itu lagi, saat Echa sudah masuk ke dalam rumah dan Merry dengan sengaja menarik kerudung Echa, membukanya secara paksa. Dengan mata yang berkaca-kaca, Echa meletakkan kembali tasnya. Dia menuju dapur, di mana tempat sampah berada, dia juga merasa bersalah dan ceroboh, kenapa bisa melupakan hal ini. Echa membungkus sampah-sampah itu ke dalam kantung plastik khusus. Memungut dan memasukkan ke dalam tanpa ada yang tersisa. Ternyata Echa tidak kuat pagi ini, tidak sekuat pagi-pagi kemarin. Ketika dia merasa harus mengorbankan masa depannya, demi mengabdi di rumah ini. Setelah membuang sampah, tangis Echa semakin menjadi-jadi. Hingga dia harus berjongkok tepat di samping tong sampah, sambil menutup wajahnya dengan ke dua tangan. Tangisnya terdengar cukup pilu, hingga mengundang perhatian seorang warga baru di komplek itu. “Astaghfirullah… kasihan sekali. Benar-benar keluarga emosional semua di rumah itu, nggak sehat.” gumam seseorang lelaki di balik pagar. “nggak usah drama, nangis-nangis segala!” Merry kembali menghampirinya dan berdiri di hadapannya. “Mau nyari belas kasihan siapa, kamu?” Echa langsung berdiri sambil mengusap air matanya. Sungguh dia tidak berniat sama sekali seperti apa yang tantenya itu pikirkan. “Jemur pakaian! lelet banget sih.” “Tante…” lirih Echa. “Untuk kali ini aja, aku mau ketemu dosen, boleh nggak kalau aku-“ “Jangan mengelak, dengan alasan-alasanmu itu! nggak tau diri, udah dikasih makan, disekolahkan, tapi ini balasan kamu? kamu pikir, suami saya keluarin biaya itu buat kamu pakai daun? sadar diri dong kalau cuma numpang!” Echa sudah tidak bisa lagi berkata-kata, saat mendengar omongan pedas dan menyakitkan itu. Pada akhirnya dia harus terus meneteskan air matanya lagi tanpa dia inginkan. Air matanya mengalir semakin deras, ketika melirik pada arloji di tangan kirinya, tidak akan ada waktu lagi untuk melakukan perjalanan ke kampus. Tanpa Echa sadari, sedari tadi ada yang sedang memperhatikan dirinya dengan perasaan iba dan seolah ikut merasakan kesedihan yang dia alami. Keesokan harinya, Echa tetap menjalani aktifitasnya seperti biasa, meski dia sangat berat melalui hari kemarin. Echa beruntung karena dosen pembimbingnya masih memberi kesempatan di hari ini. Maka sebelum jam dua siang nanti, Echa harus sudah tiba di kampusnya. Echa menyiapkan sarapan, nasi goreng kampung dengan campuran seafood dan lauk telur dadar. Dia menyiapkan cukup untuk empat orang seperti biasanya. “Itu buat siapa?” Olivia menghampirinya saat Echa sedang mengisi nasi goreng porsi terakhir pada piring yang sedang dipegangnya. “Buat aku, Mbak,” sahut Echa. “Kamu nggak usah sarapan. Itu masukkan ke dalam tupperware, lengkapi dengan kerupuk dan bawang goreng. Sekarang ya!” titah Olivia, suaranya terdengar tidak ingin ada bantahan. Echa hanya terdiam, tidak menjawab apapun. Namun, meski dengan perasaan dongkol, dia langsung menyiapkan apa yang diperintahkan wanita itu. “Ini Mbak.” Echa menyerahkan kotak bekal berwarna pink itu ke hadapan Olivia yang sedang menikmati sarapannya. “Tapi Mbak kan udah makan,” ucapnya lagi. “Jangan protes, jangan bacot, bukan urusanmu itu untuk apa,” sahut Oliv dengan nada angkuh. “Kenapa? kamu keberatan karena jatahmu aku ambil? nih makan aja sisaku,” ucapnya lagi, lalu tertawa, menatap sisa nasi goreng di piring. Echa yang enggan membuang-buang waktu, terlalu malas jika harus mengulang masak sarapan. Lebih baik dia sekalian saja masak untuk makan siang, seperti biasa. “Ma, Oliv pergi ya?” wanita itu berpamitan dengan mamanya, tangan kanannya menenteng tas jinjing andalannya, sedang tangan kirinya memegang kotak bekal berisi masakan Echa tadi. “Hati-hati sayang, semoga sukses ya kerjaan kamu hari ini. Kamu benar-benar membanggakan, karena nggak jadi beban keluarga.” Merry tertawa setelah mengatakn itu. Ekor matanya melirik Echa yang sedang memilih bahan makanan di kulkas. “Oh pasti Ma, meski aku anak kandung mama dan papa, aku cukup tau diri untuk nggak menjadi beban kayak yang itu.” Olivia sengaja mengencangkan volume suaranya, agar didengar Echa. Padahal, tanpa dia bersuara besarpun Echa dapat mendengar sindiran pedas itu. Asal kalian tau, aku juga muak di sini, jadi beban kalian. Tunggulah sebentar lagi, aku bakalan pergi nggak akan balik lagi! Echa bergumam dalam hati, penuh percaya diri. Entah bagaimana caranya dia akan keluar dari rumah penuh derita ini, dia hanya berharap suatu saat bisa melakukannya. *** Seorang lelaki bertubuh tegap yang dibalut dengan kaos putih, masih sibuk menata beberapa buku-buku kesayangannya pada rak buku, di ruangannya. Pindah rumah, ternyata sangat merepotkan. Masih banyak lagi barang-barang yang harus dia susun, sementara lelaki itu tidak punya banyak waktu. Belum lagi, cacing-cacing di perutnya sudah pada demo karena belum menerima makanan sejak semalam. Rey merogoh saku celana trainingnya, mengambil ponsel untuk memesan sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Sejenak, dia meninggalkan ruang kerjanya dan berjalan menuju ruang tamu. Bertepatan dengan itu, bel di rumahnya berbunyi. "Siapa yang datang pagi-pagi begini?" gumamnya, sambil melangkah menuju pintu. “Selamat pagi, Bapak. Assalamualaikum,” ucap seorang lelaki di hadapannya, lelaki terlihat jauh lebih tua dari Rey. “Ya, waalaikumsalam,” sahut Rey ramah, di sertai senyum tipis. “Saya ketua RT di sini, apa Bapak warga baru?” tanya lelaki itu. “Oh iya benar Pak, maaf saya belum sempat lapor,” ucap Bagas. “ Silakan masuk, Pak.” Rey membuka pintu lebih lebar, dan mempersilakan ketua RT untuk masuk. “Nggak apa-apa, Pak. Saya di sini aja. cuma mau memastikan itu aja kok. Soalnya rumah ini udah kosong berbulan-bulan kan, pas saya lewat kok ada mobil, begitu,” jelas lelaki itu. “Oh iya Pak saya udah tinggal di sini, maaf kalau belum sempat lapor. Nanti saya segera urus semuanya Pak,” ucap Rey sopan, merasa jadi warga yang tidak patuh. “Nggak masalah Pak, saya tunggu kedatangannya, mari Pak.” “Pak, Pak… sebentar.” Rey maju beberapa langkah dari teras, sebelum tamunya itu benar-benar pergi. “Ya Pak, ada apa?” sahut si Ketua RT Rey melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang di sekitar mereka. “Em itu, saya mau nanya… penghuni sebelah saya ini.” Rey menunjuk tepat ke sebelah kiri, rumah yang dimaksudnya. “Apa sifatnya memang pemarah dan tempramen semuanya?” tanya Rey. Bukan bermaksud ikut campur, atau kepo, dia hanya iba jika ada seorang manusia, apalagi wanita yang tidak diperlakukan semestinya. Meski berdasarkan keterangan yang dia dapat kemarin, wanita itu hanyalah seorang pembantu, tapi tetap saja tak pantas diperlakukan demikian. “Oh ini?” Ketua RT juga menunjuk ke arah rumah yang di maksud warganya itu. “Orang-orangnya pada sombong, kecuali Mbak Echa,” jawab lelaki itu setengah berbisik. “Kalau bisa, jangan sampai deh Pak, berurusan sama mereka.” lanjut lelaki itu lagi. Berkerut kening Rey mencerna setiap kata lawan bicaranya. “Mbak Echa? apa asisten rumah tangga mereka?” tanya Rey penasaran dengan gadis berhijab yang berparas manis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD