Bab 3 | Sebuah Kesalahan

2218 Words
Aku menyiapkan sarapan di meja, sebuah piring berisikan sebuah roti dengan selai kacang dan coklat, di sampingnya tersaji s**u putih dicampur madu. Semua sarapan kesukaan Romi. Ia tidak seperti aku yang lebih menyukai nasi daripada roti. Tidak lama sebuah tangan merangkul ku dari belakang, "Morning sexy," Romi berbisik di telinga belakangku. Aku merasakan sesuatu yang mengganjal di bokongku, aku sudah duga, senjatanya selalu gagah setiap pagi. Aku tersenyum, menepuk pipinya. Kepala Romi disandarkan ke bahuku manja, "sarapan sudah siap sayang.." ucapku, "Aku pingin.." Romi sambil membelai pundakku, "Pingin sarapan? Ini sudah ada?" Aku tidak menanggapi ucapannya. "Pingin ini.. s**u," Romi meremas dadaku sambil tersenyum, "Nanti malam ya sayang, kata dokter aku harus istirahat dulu." tolakku lembut, padahal keinginan Romi sama kuatnya dengan keinginanku saat ini, "calon Papa ini harus bersabar ya.." sambungku sambil mencubit pelan hidung mancung Romi. Saat hamil, aku lebih senang bermanja dan berhubungan dengan Romi, keinginan itu sulit aku bendung. Romi terlihat bahagia melayani, karena ia juga memiliki hasrat yang sama besarnya denganku. Terkadang aku malu untuk meminta saat keinginan itu menggebu. "Okey, " Romi mencium keningku lalu menunduk dan mencium perutku, "Kamu baru tiga minggu di perut Mama sayang, tapi kamu sudah berhasil buat Papa cemburu," Aku tersenyum melihat tingkah Romi. Romi mengelus perutku yang belum terlihat, aku mengusap kepala Romi yang masih menempel di perutku. "Ini belum seberapa sayang, kamu harus siap-siap cemburu terus." Sambungku lagi, "Untuk kamu, Papa rela Mama kamu ambil.. Tapi, sesekali Mama akan Papa culik!" Bisik Romi lagi, seolah ia sedang berbicara dengan bayiku. Romi berdiri dan memegang kedua pipiku. Bibirnya mengecup bibirku. Aku mengulum bibirnya, ciuman kami terasa berbeda pagi ini. Aku merasa hangat dan sangat bahagia menerima serangan bibirnya. Romi melepaskan kuluman di bibirnya, "jangan lama-lama, nanti aku kepingin.." bisik Romi, walaupun aku tau ia sudah sangat ingin. Ia menahannya, untuk aku dan bayiku. Begitu juga denganku, walaupun aku berharap Romi melanjutkan permainan nya. "Ra, aku bahagia kamu sehat. Istri temanku, saat hamil muda seperti mu, selalu muntah dan bahkan masuk rumah sakit.." cerita Edward, Aku tersenyum, "aku malah selalu ingin makan. Apalagi makan es krim." "Es krim, es krim Papa yaaa.." goda Romi nakal sambil menunjuk bawah badannya. "Ih, kamu porno!" Aku mencubit Romi. Romi mengelak, dan memelukku. Aku sudah menemukan kebahagiaanku saat ini. Tidak ada alasan untuk tidak bahagia. Suami yang tampan, baik dan perhatian. Romi memang suami yang hebat. Pujiku dalam hati. *** Aku meluruskan kaki dan menyandarkan badan di atas tempat tidur. Sudah satu minggu ini aku tidak berhubungan dengan Romi karena demi kesehatan kehamilanku yang masih sangat muda, aku dan Romi sama-sama sepakat untuk libur berhubungan badan, sampai kandunganku benar-benar kuat. Drrrtt... Hpku berbunyi. Edward memanggil, "Selamat pagi, Pak." sapaku, terdengar aneh saat aku memanggilnya dengan sebutan Pak. Biasanya, setiap pagi Edward telepon, selalu ku angkat dengan sapaan sayang, dan manja. "Ara, aku ada di depan rumahmu." Ucap Edward di telepon, "Apa?" aku turun dari tempat tidur dan mengintip keluar jendela, terlihat Edward berdiri di depan pintu. "Un-untuk apa Bapak ke rumah?" Tanyaku panik, "Aku hanya ingin menjengukmu, dan memastikan kamu baik-baik saja." Jelas Edward, "Aku baik-baik saja," aku berusaha meyakinkan Edward "Lalu? Aku tidak dibukakan pintu?" Tanya Edward lagi, aku mendengus pelan, "Aku sudah bersuami," jawabku pelan berharap Edward mengerti maksudku. "Haha. Aku ke rumahmu untuk menjengukmu, bukan untuk yang lain. Dasar m***m!" Tawa Edward pecah mengejekku. Karena rasanya aneh, bila ada atasan datang dengan sangat sengaja menjenguk sekertaris nya sendiri. Mukaku memanas, aku ingat saat masih berpacaran dengannya, rumah kosong adalah moment paling ditunggu, karena itu kesempatan kami untuk bermesraan. Dia masih seperti yang dulu. Bisikku dalam hati, ia sepertinya tau jam seperti ini Romi masih di kantor. Aku membukakannya pintu. Edward dengan jas biru dan kemeja cream membawa bucket bunga di tangganya, "Apa kau sudah sehat?" Edward duduk tak jauh dariku, "Sudah baikan, hanya butuh istirahat," Jawabku singkat, "duduk. Aku tidak ada waktu lama. Aku harus kembali istirahat." Ujarku berbohong, "Selamat, aku dengar kau hamil?" Edward berkata pelan. "I.. Iya, darimana kau tau?" "Grup rumpi di kantor sudah tau berita ini, haha.." tawa Edward pecah mencairkan suasana. Aku menanggapinya dengan tersenyum, "terimakasih," ucapku, "Aku ikut bahagia. Aku tidak pernah membayangkan kalau kamu akan hamil, bukan hamil anakku." "Jangan bahas hubungan kita lagi. Sekarang kamu adalah bosku, itu saja.." "Ok. Berapa usia kehamilanmu?" "Baru tiga atau empat minggu." jawabku, "oh ya, tunggu sebentar, aku akan membuatkanmu lemon tea. Aku beranjak bangun untuk membuatkan Edward minuman kesukaannya, sama seperti dulu setiap kali ia berkunjung ke rumahku. Aku melangkah kan kaki menuju ke ruang belakang, "Apa orang hamil bisa terlihat begitu sexy? Bokongmu terlihat makin indah.." Ucap Edward. Aku berhenti berjalan, menutup bokongku dengan tangan. Sepertinya Edward memperhatikan gerak gerikku. "Kalau itu, sudah dari dulu. Hanya saja kau baru menyadarinya," aku menanggapinya dengan candaan. Aku melangkahkan kaki ke dapur, saat aku melewati kaca, aku melihat memang badanku agak sedikit melebar, entah karena aku sedang mengenakan kaus putih longgar dan hotpants atau memang badanku yang berubah. Saat di dapur aku teringat Romi, bagaimanapun ia suamiku, ia harus tau kalau aku kedatangan tamu lelaki. "Halo, honey.." sapaku kepada Romi, "Hai cantik, Are you ok? " Tanya Edward meyakinkan, Romi tau kalau jam sibuk seperti sekarang aku jarang menghubunginya, kecuali ada sesuatu yang harus ku sampaikan. "I'm ok. Hm, Rom, ada bosku datang ke rumah menjengukku, ia ada di depan sekarang.." "Lalu?" Romi bertanya, "Apa tidak apa-apa? Di rumah tidak ada orang," "Selama dia baik, tidak jadi masalah. Aku percaya kamu sayang.." jawab Romi lembut. Dia memang suami yang baik, "Thank you, I love you.." "I love You too.. oh ya, nanti sore ada rapat di kantor, mungkin aku pulang terlambat." "Iya, gak apa-apa. Hati-hati sayang," Aku menutup telepon Romi. Aku sudah mendapatkan izin suamiku. Aku tidak salah menerima Edward ke rumah. Apa kamu juga akan tetap mengizinkan Edward datang bila tau dia adalah mantan kekasihku? Tanyaku dalam hati. Aku menuangkan lemon tea ke gelas dan membawanya ke depan. Edward duduk menunggu. Saat pacaran, ia tidak pernah duduk di depan saja, apalagi bila tau rumah sedang tak ada orang, dia biasanya akan ikut ke dapur denganku Di dapur, di ruang tengah, ruang tv dimanapun ada kesempatan kami berciuman, saling meraba. Tapi aku selalu menolak bila ia mengajakku lebih jauh.. Itu semua dilakukan di rumah kontrakan ku, namun saat ini keadaan berbeda. Ini rumah Romi, Edward tidak mungkin lancang menyusul ku ke belakang. "Maaf sudah menunggu lama," aku membawa nampan dengan segelas lemon tea ke arah Edward, Tiba-tiba kakiku terasa menyandung sesuatu. Badanku terhuyung dan minuman yang ku pegang jatuh, badanku terhuyung ke arah Edward, Edward menangkapku. Kami berdua jatuh di atas sofa. Wajah kami amat dekat. Aku bisa merasakan d**a Edward berdebar kencang, aku pun begitu. "Kamu tidak apa-apa?" bisik Edward sangat pelan.. Aku mengangguk. Edward semakin mendekatkan wajah ke wajahku. Matanya terpejam, bibirnya menyentuh bibirku. Aku memejamkan mata, entah apa yang ku rasa. Sakit, rindu, nafsu mejadi satu. Ada rasa ingin sekali merasakan kehangatan Edward lebih menggebu dibandingkan biasanya, Aku membiarkan Edward mengulum bibirku, sesekali aku menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya, ia menghisap dan mengecupnya perlahan. Tangan Edward menyusup ke dalam kausku, ia mendapatkan payudaraku. p******a yang sejak dulu menjadi favoritnya. Remasan di dadaku semakin membuatku hilang akal, vaginaku berdenyut kuat sekali. "hm.. Edward, aku.. Ah.." Aku melepaskan ciumanku ke Edward, aku merasa benar-benar bodoh. Merasa benar-benar hina. Aku merasa menjadi perempuan murah, pengkhianat suamiku. "Aku sangat mencintaimu Ara.. " "Aku sudah menikah! Apa kau sudah gila?! Aku bahkan sedang hamil!" Makiku, aku duduk menjauh darinya. Baju Edward basah karena tersiram minuman yang ku buatkan. "Apa kamu benar-benar sudah tidak merasakan apa-apa?" "Tidak! aku.. Aku hanya.." Aku tidak bisa melanjutkan. Di lubuk hatiku yang paling dalam, aku menginginkan semuanya. Kewanitaanku masih berdenyut kuat, kalau saja aku belum bersuami mungkin aku sudah melakukannya dengan Edward. "Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak perduli apapun kondisimu saat ini." Edward kembali meyakinkanku, "Aku mohon kamu sekarang pulang. Sebelum suamiku datang.." ucapku bergetar, ku tundukkan wajahku tidak mau menatap Edward karena aku merasa malu, sempat membalas ciumannya, bahkan hampir menikmati tantangannya. Edward berdiri, dan meninggalkanku pergi. Setelah Edward masuk ke dalam mobil, aku menangis. Aku meraih bunga dari Edward dan membuangnya ke tempat sampah. Aku kecewa dengan tingkah Edward yang tidak menghargai ku, menganggap ku perempuan murah yang mau kembali dengannya begitu mudah. *** Aku menekan kontak Romi di handphone. "Romi.. " ucapku pelan sambil terisak, menangis, entah apa yang ku tangiskan, menangisi aku yang sudah menjadi penghianat, "Ada apa sayang? Kamu kenapa? Kamu menangis?" Suara Romi terdengr panik. Dadaku sesak, bisa-bisanya aku mengkhianati suami sebaik Romi. "Aku.. Aku.. " Aku bingung harus berkata apa. Bayangan ciuman Edward masih terekam erat di benakku. Bahkan kewanitaanku belum berhenti berdenyut, nafsuku seperti tak tertahan. "Ok, aku pulang sekarang.. " "tidak perlu, Rom. Aku baik-baik saja." Aku berusaha mengatur nafasku, "Masih ada waktu dua jam lagi untuk mulai rapat. Aku pulang sekarang." Romi menutup telponnya. Aku menutup telpon dan menangis. Tanganku meremas payudaraku sendiri. Dalam hati aku terus memaki diriku, ada apa denganku ini. Bagaimana kalau Romi tidak mau melayaniku? Ia kan masih dalam jam kantor? Aku menyusupkan tanganku ke dalam hotpants yang ku kenakan. Saat tanganku menyentuh bagin bawah tubuhku, sudah sangat basah dan tebal. Aku menggesekkan pelan jemariku di atas milikku. "hm.. " aku memejamkan mata. Berusaha memikirkan yang terjadi antara aku dan Romi. Semakin aku memejamkan mata, semakin bayangan Edward muncul. Suara desahannya, dan tangannya yang hangat menyentuh payudaraku. "Ward, oh.." aku merasa semakin menggebu saat menyebut namanya. Aku membuka mata, tidak mau terlalu terlarut dalam bayangan Edward. Aku menggeleng kan kepala, berharap semua bisa ku lupakan. Tidak lama terdengar bunyi bel di depan rumahku. Aku kaget, Romi datang cepat sekali. Aku beranjak bangun dan membukakan pintu. "Sayang, kamu..." belum selesai Romi menanyakan keadaanku. Aku langsung menerkamnya, bibirnya ku kecup dengan rakus. Ku lingkarkan kaki ke pinggangnya. Ia membalas ciumanku tak kalah ganas. Menggendongku ke kamar. kami masuk kamar, masih dalam keadaan berciuman. Romi menggendongku, aku tidak melepas bibirnya. Aku yakin ia mengerti, aku sudah menahan nafsu ini selama seminggu, "Sayang, maaf.. Aku.." Romi membelai pipiku, tidak mendengarkan jawaban, ia kembali menciumku. Tangan kanannya meremas payudaraku. Ia membuka jas, dasi dan kemeja yang ia kenakan. Aku membantunya membuka celana. Begitupun Romi, ia juga membantuku menanggalkan semua yang ku kenakan. Setelah puas dengan mulutku, ia turun ke leher, melepas tali bra ku dan melumat habis payudaraku. "Oh, aaaaah... Arghh..." Aku tidak bisa menahan. Aku seperti srigala yang lapar. Aku menikmati semuanya. Tangan Romi bermain di kemaluanku, sedangkan mulutnya di payudaraku. "Pelan-pelan sayang.. Nanti anak kita keget.." bisikku lembut, "Ia sudah tau, kalau ia memiliki Mama yang nakal dan hot seperti kamu, " jawab Romi. Romi membuka pahaku lebar-lebar, ia menundukkan wajahnya, "Aku mau senjatamu, aku rindu. Cepat sayang.." Romi tersenyum. Dengan amat hati-hati ia memasukkan senjatanya ke bagian bawahku. ia menggenjotnya beberapa kali. Nafsuku yang sudah memuncak dari tadi tidak lama sudah membuatku o*****e. "Aahh... Aku.. Uh.. Oh God, so good.. " racauku. Entah dari mana asal baru besar ini, seolah aku kehilangan kendali atas diriku. Romi msih menggenjotku seperti memompa sesuatu. Keringatnya mengucur, ia kadang menutup matanya, terkadang membuka. Aku tidak bisa menggambarkan betapa indahnya saat senjata Romi bergesekkan dengan vaginaku, rasanya luar biasa. Benteng pertahanan Romi luluh setelah kurang lebih 30 menit ia menggauliku. Romi merebahkan badannya di sampingku, "Kamu semakin hot sayang," "Maaf, ini bawaan bayi mungkin.." "Bayi, atau Mamnya?" Romi menggoda. "Dua-duanya.. " jawabku malu-malu. "Aku akan menjadi suami dan Papa terbaik sayang, aku berjanji." Romi kembali mengecup bibirku hangat. Aku lega, aku melakukan ini dengan Romi, suamiku sendiri. Walaupun tadi pertahanan ku hampir runtuh, dan dikuasai Edward. Aku juga berharap aku bisa menjadi istri yang baik untukmu, Rom. Ucapku dalam hati. Aku mencium bibir Romi lagi, dan lagi. Aku berjanji dalam hati tidak akan tergoda oleh pesona Edward. Edward tetaplah masa lalu. Aku bisa mendapatkan semua keindahan bersama Romi, suamiku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD