Bab 4 | Yang Ku Cinta

1703 Words
Kehamilan aku sudah menginjak minggu ke sembilan, sebentar lagi kehamilanku menginjak usia trimester kedua. Perutku belum terlalu besar, namun aku sudah merasakan sesuatu yang mengganjal. Aku tidur dalam pelukan Romi, badannya hangat saat berada di kamar berAC membuat ku nyaman beradu kulit saat berpelukan dengannya. d**a Romi dan pipiku tidak ada penyekat yang menghalang, hanya rambut halus yang tumbuh menggelitik pipiku. Romi memang hebat dalam urusan ranjang, sikapnya yang lembut dan romantis membuat siapapun akan menyukai caranya memperlakukan pasangan. Romi membelai rambut ku yang terurai di atas tubuhnya, malam ini kami tidak melakukan hubungan seperti biasa, Romi hanya memainkannya dari luar, menggelitik bagian bawahku hinggaku mengejang, aku suka walaupun hanya seperti itu. Alasan Romi cukup masuk di akal, ia tidak ingin berhubungan badan terlalu sering, karena mempertimbangkan kehamilanku. Tapi aku selalu meminta dan memancing Romi. "Besok ikut ke kantor ya," ajak Romi sambil membelai rambutku pelan, "Besok aku juga masuk," jawabku lagi. "Kamu tidak ingin berkenalan dengan karyawanku?" Tanya Romi,  "Nanti saja, saat pernikahan kita, mereka sudah datang kan?" aku membalik posisi, saat ini wajahku bisa leluasa menatap wajahnya, "Lalu, bagaimana kalau kamu pindah saja? Ke kantorku?" Tanya Romi lagi. Pertanyaan ini sebenarnya sudah Romi lontarkan sebelum menikah, tapi aku tidak setuju karena aku sudah nyaman di kantorku. Aku diam, "aku tau, kamu akan menolak bila ku minta berhenti bekerja, tapi bukankah agak aneh bila kamu bekerja di perusahaan lain. Sementara, suamimu memiliki perusahaan juga, bahkan lebih besar." Tanya Romi. Aku tersenyum mendengar nya. Aku mengerti maksud Romi. Suamiku memang memiliki dua perusahaan besar, Papa mertua ku juga terkenal dengan bos besar dari beberapa perusahaan yang kini sudah dikelola oleh anak-anaknya termasuk Romi. Romi tidak ingin menjadi bawahan orang lain, aku mengerti maksudnya. "Kalau aku menolaknya, apa kamu akan marah?" Tanyaku ragu, Romi mengusap kepalaku yang masih dalam pelukannya, ia mempererat pelukannya pada badanku, Romi menarik nafas panjang, "Tentu saja tidak, sayang. Semua terserah padamu. Aku hanya merasa, kamu harusnya tidak bekerja lagi. Karena keperluanmu, cukup aku yang penuhi.." jelas Romi. Tentu saja, semua kebutuhan ku sudah terpenuhi oleh Romi. Apapun Romi sudah berikan kepadaku. Sampai terkadang aku merasa tidak enak hati karena aku belum sempurna menjadi seorang istri pemilik perusahaan. "Aku ingin tetap bekerja, Rom. Aku ingin punya teman, punya kegiatan." aku memohon, alasan ku sebenarnya memang itu. Tidak bisa di bayangkan seandainya aku harus menjadi ibu rumah tangga. Aku akan kehilangan teman, relasi, kesibukan dan yang pastinya aku akan terus bergantung kepada Romi dan aku tidak menyukai itu. "Baiklah kalau seperti itu nyonya. Apapun keinginan nyonya akan aku penuhi.." Romi mengacak-acak rambutku.  Romi mencium kepalaku lembut. Aku memeluk Romi erat. Romi menjadi begitu perhatian akhir-akhir ini, aku begitu bahagia. Tring... Tring.. Tring.. Suara ponsel Romi berdering, sebuah nomor dengan nama Deffa terlihat. Aku membiarkan Romi mengangkat telepon. "Ya, Def?" Jawab Romi. Deffa sekertaris Romi, Romi pernah menceritakan nya padaku, "kalau begitu, itu bisa langsung kamu serahkan ke pak Ziga besok," jawab Romi lagi. "Malam ini? Pak Ziga meminta malam ini?" Romi melirik ke arahku seakan berfikir sesuatu mengenai aku, "nanti aku kabarkan lagi. Aku harus minta izin ke istriku dulu." Ternyata Romi mempertimbangkan aku.  Romi mematikan ponselnya.  "Deffa, dia sekertaris ku." Jelas Romi,  "Ya, aku sudah tau itu.."  "Dia mengatakan Pak Ziga besok pagi akan kembali ke KL, jadi, malam ini ia ingin membicarakan proyek yang akan kami realisasikan bulan depan." Aku menyimak,  "Lalu?", Pancingku menunggu pertanyaan utama Romi, aku sudah tau kemana arah pertanyaan nya. "Lalu, hm, ini sudah jam sembilan malam, aku ingin meminta izin padamu untuk bertemu dengannya."    Aku tersenyum, mencubit hidungnya gemas, "ya jelas boleh sayang," "Atau kamu mau menemaniku?" tawar Romi, takut aku tidak percaya. Aku menggeleng, "aku mual, aku mau istrahat, besok juga akan bekerja." Aku menolak. Aku tidak masalah dengan keadaan seperti ini, asal Romi memberikan kabar terlebih dahulu. Aku akan mengizinkannya. "Kalau begitu, kamu istirahat. Aku pergi dulu sayang.." kecupan Romi mendarat di keningku, "Nanti pulangnya, bawakan aku martabak India ya sayang.." pintaku sambil tersenyum, "Siap nyonya." Romi mengecup bibirku kilat. Romi melangkah keluar kamar, sementara aku masih meringkuk di dalam selimut. Suasana kamar sepi sepeninggalan Romi. Aku hanya sendiri di kamar. Aku memejamkan mata, sekilas masih terbayang yang aku lakukan dengan Edward waktu itu. Kembali ku letakkan ponselku di meja samping tempat tidur, aku tidak mungkin menghubungi lelaki lain, di jam malam seperti ini, selain itu juga suamiku sedang tidak ada. Di kepalaku saat ini bayangan Edward begitu banyak, aku ternyata belum sepenuhnya melupakan lelaki yang lima tahun ini mengisi hari-hariku. Aku menggeleng-gelengkannkepala, berusaha melupakan bayangan Edward. Aku kembali memejamkan mata, kini aku berusaha membayangkan Romi. Aku membayangkan Romi yang begitu gagah dan lembut memperlakukanku. Aku membayangkan Romi menyentuhku, aku membayangkan Romi tersenyum kepadaku. Hatiku sangat tenang.  Tring.. Tring.. Suara ponsel membuyarkan lamunanku, aku membuka mata dan meraih ponsel. Sebuah nama yang tidak ku harapkan muncul. Edward. Aku ragu mengangkat teleponnya.  "H-halo.." bukaku ragu sambil sedikit berbisik. "Kamu pasti sedang kesepian?" terka Edward,  "Aku sedang bersama suamiku!" Bisikku, seolah-olah ada Romi di dekatku.  "Tidak usah bersandiwara, aku cukup lama mengenalmu." Jawab Edward. Aku mendengus kesal, terkaan Edward memang selalu benar. "Ada apa?" Tanyaku ketus, suaraku kembali ku normal-kan karena Edward benar, aku memang sedang kesepian dan tidak dengan suamiku. "Aku mau minta maaf," "Minta maaf untuk apa?" "Yang waktu itu, aku.." Edward berkata ragu, "Sudahlah, Ward. Aku juga yang salah. Untuk apa aku mau kau sentuh. Aku merasa benar-benar murahan, plis tolong..";Potongku, aku tidak bisa menahan pembicaraanku. Aku tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. "Anggap saja itu semua tidak terjadi." Ujar Edward pelan. Dadaku sesak. Bagaimana mungkin aku bisa melukan itu, sementara bayangan Edward dan cumbuannya selalu mengikutiku. Tapi aku tidak boleh mengatakan yang sebenarnya, bisa-bisa Edward memiliki pikiran yang lain. Kalau seperti ini rasanya aku ingin menerima tawaran Romi untuk pindah kerja tempatnya. Tapi, perusahaan Romi dan perusahaan Edward yang juga tempat ku bekerja berbeda. Aku sudah cukup menguasai perusahaan tempatku bekerja sekarang, akan sangat sulit bila ku harus pindah ke tempat kerja yang baru, dan harus beradaptasi dengan lingkungan dan cara kerja yang baru. Bila aku berbuat salah, Romi juga nanti yang akan malu dengan karyawan yang lain.  "Ra, kamu harus tau, kalau.." Edward menghentikan omongannya, aku masih menempelkan ponselku kentelinga, menunggu Edward melanjutkan bicaranya, "kalau, aku masih mencintaimu. A-aku tau, itu salah. Tapi aku hanya ingin kamu tau. Tidak lebih, tidak untuk membuatmu terbebani, itu.."  Edward berkata terbata.  "Tidak. Aku tidak terbebani. Aku mencintai suamiku, Ward. Itu, itu yang harus kamu tau." Aku menegaskan omonganku, Edward harus tau itu. Walaupun dari dalam hatiku yang terdalam Edward masih membekas di hatiku, tapi Romi tetaplah suamiku, suami yang harus satu-satunya ku cintai. Aku menutup sambungan telepon Edward. Aku membenamkan wajahku ke atas bantal, tangisku pecah. Aku saat ini benar-benar membenci Edward, harusnya Edward tidak membuatku memilih lelaki yang belum lama aku kenal, harusnya ia bisa menerimaku dan menemaniku saatku terpuruk. Ia tidak benar-benar mencintaiku. Cinta yang sesungguhnya adalah milik orang-orang yang tulus. Romi-lah yang mencintaiku dan dapat menerima keadaanku dengan sempurna. Romi yang menemaniku menghadapi bayangan masa depan yang kelam, menggenggam tanganku dan berani mengambil resiko untuk menikah denganku. Yang menerima dan menemaniku saat aku berada di posisi sulit. Ia lelakiku, lelaki yang saat ini harusnya aku cintai, yang harusnya aku perjuangkan.  Aku benci menjadi wanita cengeng, untuk apa aku menangis mendengar ungkapan cinta dari lelaki yang menghilang tanpa kabar saat aku mendapat musibah, dan kembali hadir saat aku sudah bangkit dan sedang bahagia? Itu konyol. *** Aku merasakan usapan lembut di keningku. Aku membuka mata. Sinar matahari sudah memenuhi kamarku, karena tirai jendela yang tidak sepenuhnya tertutup. Aku melihat samar wajah Romi yang sedang menatapku.  "Kamu baru pulang?" Aku beranjak bangun, aku melirik jam yang tertempel di dinding kamar sudah jam tujuh pagi, ternyata semalam aku tertidur setelah puas menangis. Romi yang masih mengenakan kemeja dan dasi yang sudah separuh terbuka terlihat lelah. Aku menarik wajahnya dan mencium kedua pipinya.  "Wajahmu? Kenapa?" Aku mengusap memar kebiruan di ujung bibir, dan di bawah kelopak mata Romi.  "Semalam ada lelaki memukuli ku tiba-tiba.." jawab Romi pelan, "Apa? Siapa?" Tanyaku panik melihat wajah Romi yang lebam, aku langsung merubah posisi, dari tidur langsung terduduk. "Entahlah, sepertinya lelaki mabuk.." ucap Romi lagi. "Mabuk? Astaga... Sebentar, aku ambilkan es batu, aku akan kompres lukamu." Aku membuka selimut yang masih menutupi badanku,  "Tidak usah," Romi menahannya, "kamu di sini saja, temani aku.." ucap Romi manja. Aku tersenyum ke arahnya.  "Sejak kapan kamu menjadi manja seperti ini?" Tanyaku mengusap pipinya.  "Apa kamu mencintaiku?"  Pertanyaan Romi membuat hatiku tersentak, pertanyaan tiba-tiba yang tidak pernah Romi lontarkan sebelumnya. "Bagaimana dengan kamu?" Aku berbalik bertanya,  "Tentu saja aku mencintaimu, mencintai bayi kita." Jawab Romi lembut, ia menempelkan keningnya di pundakku. "Kalau aku tidak mencintaimu, tidak mungkin bayi ini hadir, Romi. Kamu suamiku, kamu pilihanku.." aku meyakinkan dan mencium dalam bibirnya. Romi membalasnya lembut.  Perasaanku ke Edward memang belum seluruhnya hilang, tapi bagaimana pun Romi tetaplah suamiku. Ia adalah orang tua dari anakku. Bersamanya adalah keharusan, mencintai nya adalah kenyataan.  "Maaf, aku tidak membawakanmu martabak India," sambung Romi.  Aku tertawa ringan mendengar permintaan maaf nya, ia masih ingat dengan pesanan ku sebelum pergi. "Tenang saja, aku sudah berubah lagi nih ngidamnya.." jawabku, "Apa?" "Aku mau, pisang goreng." "Hah?" Romi tercengang mendengar permintaanku, ia menatapku heran, aku mengangguk sambil tersenyum iseng, "Aku mau pisang goreng, yang di atasnya di siram s**u kental manis dan keju. hm, enak nya.." aku membayangkan pisang goreng hangat yang tersaji, pisang keju yang sering Bunda buatkan dulu saat msih sekolah. Romi meraih ponselnya dan menempelkan di telinga, "Bik, tolong buatkan pisang goreng ya, jangan lupa di beri s**u kental manis dan keju di atasnya." Romi ternyata menghubungi asisten rumah tangganya. Aku memeluk Romi gemas, ia tidak mau aku menunggu terlalu lama. "Terimakasih sayang.." Romi memeluk pundakku erat. Dalam hati aku berdoa, semoga yang memukul Romi sungguhan orang mabuk, bukan orang yang berniat jahat kepadanya. Aku mengkhawatirkan itu. Pengusaha seperti Romi pasti memiliki saingan bisnis yang tidak semuanya baik.  "Sayang.." panggilku,  "Hmm.." jawab Romi,  "Jaga diri baik-baik. Kalau kamu merasa terganggu, laporkan saja orang yang memukulmu ke polisi." Romi diam, "aku takut kamu kenapa-kenapa.." sambungku.  Romi mengangkat kepalanya, kali ini berada sejajar di hadapan wajahku,  "Aku akan baik-baik saja. Cintaku saja, aku akan menjadi kuat dengan cintamu.." jawaban Romi membuatku tersenyum. Aku memajukan wajah ku ke Romi. Mencium bibirnya yang membiru dengan lembut. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD