Gagah sudah rapi dengan pakaian terbaiknya, bersiap-siap pergi menemui Maira di kantornya, sekaligus mengajak wanita itu makan siang. Tentu ia sudah tahu dimana Maira bekerja. Hermawan sudah cerita semuanya tentang putri tunggalnya itu. Maira, si pekerja keras.
"Mau kemana?"tanya Rian tiba-tiba.
Gagah memutar bola matanya."Mau pergi. Kalau mau minta tolong lagi, sorry ya...nggak bisa. Hampir gagal percintaanku gara-gara urusan nggak pentingmu itu."
Rian tertawa."Sialan. Sama adek sendiri...kayak gitu!"
"Adek durhaka! Bisanya nyusahin kakaknya!" balas Gagah kesal. Pasalnya dua malam berturut-turut adiknya itu membuat ulah.Malam pertama dimana ia harus menemui Maira bersama kedua orangtuanya, Gagah harus berurusan dengan polisi karena Rian terlibat kasus pengeroyokan. Malam kedua dimana Gagah harus pergi berdua bersama Maira, Rian kembali berulah, ia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap temannya. Gagah benar-benar pusing menghadapi adik satu-satunya itu. Jarak usia mereka yang sangat jauh membuat Rian begitu manja dan nakal.
Jujur saja, Gagah merasa tidak enak membatalkan pertemuannya dengan Maira sebab Hermawan begitu baik padanya. Tapi, ia juga tidak bisa membiarkan Rian begitu saja, bisa-bisa ia dihajar habis-habisan di kantor polisi. Ia juga tidak mau orangtuanya tahu perihal kenakalan Rian yang sudah kelewatan ini. Tapi, demi menutupi kesalahan adiknya, Gagah harus rela dimarahin habis-habisan oleh Santoso karena tidak datang ke rumah keluarga Hermawan.
"Ya udah, nanti kalau kakak nikah, aku yang bantuin urus ini itu,"kata Rian dengan wajah tengilnya.
"Kayak ngerti aja urusan begituan. Udah ah, mau berangkat!" Gagah meraih kunci mobilnya kemudian segera melaju menuju kantor Maira.
"Sukses, Bro!!"teriak Rian.
Gagah memasuki kantor Maira dengan percaya diri yang tinggi. Ia langsung menuju lantai dimana ruangan Maira berada.
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu?"sapa Alex.
"Saya ingin bertemu Ibu Azmairah Hermawan,"katanya sambil membuka kaca mata hitamnya.
Alex mematung beberapa detik, kemudian ia tersenyum."Apa Bapak sudah buat janji dengan Ibu Maira?"
"Sudah."
"Tapi, Ibu Maira sedang keluar, Pak. Dan...katanya tidak kembali lagi ke kantor sebab, Ibu Maira sudah cuti,"jelas Alex.
"Cuti bagaimana? Tadi beliau sendiri yang mengatakan kalau dia ada di kantor,"kata Gagah mulai panik.
"Iya, betul, Pak. Pagi tadi...Ibu Maira memang ada di kantor. Tapi, beliau sudah pergi, Pak. Beliau cuti selama dua Minggu ke depan,"jelas Alex lagi.
"Cuti ...kenapa? Maksudnya...cuti untuk urusan apa?"
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa jelaskan. Sebaiknya Bapak langsung komunikasi dengan Ibu Maira jika memang ingin bertemu."
"Oke. Terima kasih." Gagah pun keluar dari sana, sedikit kesal. Ia segera menghubungi Maira. Nada hubung terdengar, beberapa kali, tapi Maira tak kunjung mengangkatnya. Ia mencoba sampai tujuh kali. Tapi, wanita itu tidak menjawab teleponnya.
"Sial!"umpat Gagah yang kemudian segera pulang.
Maira tiba di lokasi, dimana ia akan berlibur. Tapi, sayangnya semua tak semudah yang ia bayangkan. Untuk memasuki daerah itu, ia harus naik ojek sekitar setengah jam. Setelah itu, perjalanan terhenti sampai di perbatasan saja. Siapa pun yang akan berkunjung ke sana harus jalan kaki sepanjang lima kilometer. Maira tak bisa membayangkan bagaimana lelahnya berjalan sejauh itu. Tapi, di perbatasan terdapat posko, dimana para pengunjung akan dibekali peta, air minum, dan makanan.
Maira berharap lelahnya saat ini akan terbayarkan dengan lokasi yang indah di sana. Lagi pula ia akan menginap selama seminggu lebih, pasti rasa lelahnya akan terbayarkan.
Maira tiba di penginapan dengan wajah merah karena kelelahan. Ia duduk di salah satu bangku di depan penginapan, meneguk air minum, kemudian menormalkan detak jantungnya. Setelah semua normal, ia pun segera ke resepsionis.
"Maaf, Ibu, pemesanan kamar Ibu ditolak."
"Loh, kok bisa. Maksudnya apa?"tanya Maira, kepalanya langsung terasa panas.
"Ibu melakukan pemesanan kemarin. Dan...pemesanan Ibu ditolak karena kamar sudah penuh."
"Tapi, kan...saya bisa booking. Gimana bisa kamar penuh tapi saya bisa booking!"kata Maira kesal.
"Pemesanan Ibu ditolak, mungkin Ibu tidak mengeceknya kembali."
"Ahh...sudahlah!!"
"Kelihatannya lagi urgent ya?"
Maira menoleh ke orang di sebelahnya dengan wajah kesal. Tapi, kemudian ia menarik napas dan berusaha tersenyum. Tidak mungkin ia berwajah jutek pada orang yang tak ia kenal."Ah, iya. Tapi, ya sudah...mau bagaimana lagi."
Pria itu tersenyum, kemudian menyerahkan ponselnya pada rsepsionis, setelah itu ia mendapatkan kunci kamar.
Maira melotot."Kamu dapat kamar?"
Pria itu mengangguk."Iya. Soalnya aku...booking seminggu yang lalu."
"Aku...baru kemarin."
"Memang ... Kalau waktunya mepet bakalan begitu."
"Tapi, masalahnya kemarin sewaktu ditelepon...mereka bilang oke. Bayar di lokasi saja. Aku sudah tenang dong. Tapi, nyatanya begini. Aku sudah jauh-jauh ke sini!" Maira ingin menangis. Rasa lelahnya semakin bertambah. Ingin mencari penginapan lain, tidak ada. Harus keluar dari area ini dan berjalan kiloan kilometer lagi. Ia sudah tidak sanggup.
"Ya sudah, Kamu duduk aja dulu di situ. Yuk...!" Pria itu memberi kode agar Maira mengikutinya. Ia juga duduk di sana menemani Maira.
"Hah!" Maira menghempaskan tubuhnya dengan kepala yang sakit.
"Jangan terlalu dipikirkan, kamu ke sini kan untuk liburan, kok makin stres."
"Gimana nggak stres kalau jadinya begini. Ini udah sore, mau pergi juga jalannya jauh banget. Nggak ada transportasi, dan capek banget pula."
Pria itu menoleh ke sekeliling, di sana ada coffe shop."Sebentar ya..." Ia segera pergi ke coffe shop itu dan memesankan dua kopi hitam untuknya dan juga Maira.
"Ini, minum dulu!"katanya seraya menyerahkan kopi pada Maira.
Maira melirik kopi yang diserahkan pria asing itu."Thanks..." Ia menyeruputnya sedikit. Perasaannya mulai tenang.
"Kopi hitam, memang menenangkan." Pria itu tersenyum dengan wajah yang tenang.
Maira tersenyum seraya mengusap cup kopinya."Sekarang...aku sudah membaik. Terima kasih. Baru kali ini ada laki-laki yang ngasih aku kopi hitam."
"Oh ya?"
"Iya, karena...biasanya laki-laki berpikir ...wanita tidak suka kopi hitam,"jawab Maira.
Nugra menatap Maira dengan intens."Tidak juga, wanita pekerja keras seperti kamu pasti suka kopi hitam."
Maira tertawa, kemudian ia menyeruput kopinya lagi."Terima kasih. Semudah itu ditebak ya?"
"Nggak juga. Aku cuma menebak. Oh ya, namaku Nugraha Syarief, panggil saja Nugra!" Katanya seraya menyodorkan tangan pada Maira.
Maira tersenyum, ia memandang Nugra beberapa detik, kemudian menjabat tangan pria itu."Azmairah Hermawan, panggil saja Maira."
"Nama yang cantik."
"Terima kasih."
"So...kamu mau pulang? Aku akan bantu cari tranportasi."
"Aku ingin tetap menuntut pihak penginapan. Aku sudah ambil cuti untuk liburan ini, masa aku harus kembali lagi. Aku tidak mau rugi, Nugra. Biar aja aku nunggu di sini. Tidur di sofa,"kata Maira.
"Mau berbagi kamar?"tawar Nugra.
"Maaf?" Maira menatap Nugra dengan tajam.
Wajah Nugra terlihat tenang sekali. Tapi, sikapnya itu justru membuat Maira tertarik padanya."Aku menawarkan saja, kamu tinggal di kamarku sambil menunggu kamar yang kosong dari pada kamu tidur di sini. Kamu juga butuh kenyamanan kan?"
"So...kita berdua berada di kamar yang sama? Tidur di sana berdua?"tanya Maira.
Nugra mengangguk."Iya. Tapi, itu pilihan, Maira. Aku hanya menawarkan sebab...aku tidak tega melihat kamu tidur di sini, dilihat banyak orang."
"Oke!"jawab Maira cepat.
Kini pria itu justru terkejut, Maira langsung menerima tawarannya. Padahal ia sendiri yakin, wanita itu tidak akan mau. Hanya saja sebagai sesama manusia Nugra merasa memiliki kewajiban menawarkan bantuan."So, kamu tidak akan masalah dengan apa pun?"
"Kita bisa membicarakannya nanti di dalam. Sekarang aku ingin mandi dan ganti pakaian." Maira berdiri.
Nugra mengangguk."Baik." Lantas ia memanggil salah satu pekerja penginapan untuk membawakan tas mereka ke dalam kamar.
Mereka berjalan menuju kamar dipandu oleh pelayan penginapan. Mereka harus berjalan menapaki jalan bebatuan yang di sekelilingnya terdapat tanaman-tanaman hutan serta sungai-sungai kecil. Airnya jernih dan udaranya segar. Maira sangat senang bisa berada di sini. Ia sudah tak sabar menanti hujan turun.
"Ini kamarnya, Maira,"ucap Nugra saat pintu kamar sudah terbuka.
Maira masuk ke dalam dan mengedarkan pandangannya."Twin bed?"Maira mengerutkan keningnya."Bukankah...sejak awal kamu berencana sendirian?"
"Waktu booking hanya tersisa kamar dengan tempat tidur seperti ini. Tapi, bukannya ini berita baik untuk kamu ya? Kan kita nggak perlu tidur satu ranjang." Nugra terkekeh.
"Satu ranjang juga...bukan masalah,"balas Maira yang kemudian berjalan ke jendela besar. Dari sana ia bisa melihat pemandangan yang indah. Tanaman-tanaman liar yang memang sengaja dirawat dan air terjun.
Nugra hanya tersenyum menanggapi ucapan Maira barusan. Ia pergi menuju lemari, membongkar tas dan memindahkan pakaiannya. Ia menyisakan beberapa slot kosong untuk pakaian Maira. Ia mengambil ponsel dan berbaring di kasurnya. Maira menoleh ke arah Nugra yang terlihat santai saja, pria itu bersikap seolah-olah mereka bukanlah orang asing.
"Aku udah sediakan tempat kosong di lemari. Pindahkan aja pakaianmu sementara. Setelah itu...katanya mau mandi kan?"ucap Nugra yang sepertinya sadar sedang diperhatikan oleh Maira.
"Iya."
"Oke...lakukanlah,"balas Nugra. Pria itu masih saja disibukkan dengan ponselnya.
"Pria yang manis,"ucap Maira dalam hati. Lantas ia segera menyimpan pakaiannya di lemari dan bergegas membersihkan diri.