Maira bangkit dan menghampiri mereka. Alex meletakkan bunga-bunga itu di atas meja."Wangi dan cantik sekali bunganya."
"Mohon ditanda tangani di sini, Bu, sebagai bukti ibu sudah menerima bunganya."
Maira menatap bunga itu dengan heran. Hari ini ia tidak sedang berulang tahun, bahkan di kantor ini juga sedang tidak ada perayaan apa pun."Ini dari siapa ya?"tanyanya setelah selesai tanda tangan.
"Di sana ada kartu ucapannya, Bu, terima kasih. Saya permisi dulu."
Maira mengangguk, kemudian meraih kartu ucapan yang menempel di bucket. Matanya terbelalak.
Teruntuk Maira, semoga harimu menyenangkan.
Gagah.
"Menjijikkan!"kata Maira dingin, ia pun meletakkan kartu ucapan itu dengan keras ke atas meja.
Alex terkejut dengan perlakuan Maira yang tidak biasa itu. Maira biasanya selalu bersikap santun, tapi kali ini ia terlihat begitu kesal dan marah."Ibu...baik-baik aja?"
"Iya. Kamu buang aja bunga-bunga ini!" Kepala Maira terasa semakin pusing.
"Kenapa, Bu, ini bunga mahal. Sayang kalau dibuang,"kata Alex.
"Kamu simpan di ruangan kamu aja, atau...ruangan mana yang membutuhkan bunga!" Maira pun duduk di kursinya dengan wajah stres."Kopinya, Lex, tolong dipercepat."
"Iya, Bu." Alex membawa salah satu bucket keluar dari sana. Ia segera menghubungi office boy untuk mempercepat pesanan Maira.
Maira kembali menarik napas panjang, memejamkan mata dan berusaha menghilangkan sakit di kepalanya. Baru beberapa detik, ponselnya berbunyi. Maira merasakan debaran di dadanya semakin kencang melihat nama yang tertera di sana. Maira menempelkan ponsel ke telinganya, tetapi ia tidak berkata apa-apa.
"Apa bunga yang aku kirimkan sudah sampai, Maira?"
Maira mendecih di dalam hati."Sudah."
"Baiklah, apa kamu suka?"tanya Gagah tanpa merasa bersalah.
"Apa-apaan ini! Saya tidak butuh bunga, saya juga tidak butuh Anda!"kata Maira ketus.
"Anggap sebagai permintaan maaf saya, Maira."
"Saya nggak butuh permintaan maaf. Lupakan soal perjodohan, Tuan Gagah. Saya tidak butuh calon suami yang suka ingkar janji. Sudah...cukup, jangan hubungi lagi." Maira berusaha bersabar menghadapi Gagah, tapi sepertinya sikap pria itu selalu memancing emosinya.
"Tapi, saya sibuk, Maira."
"Sesibuk apa? Saya juga bekerja, saya punya posisi yang penting. Tapi, saya tidak sesombong Anda. Maaf, saya juga sibuk. Selamat siang." Maira mengakhiri pembicaraan. Waktunya akan terbuang sia-sia jika hanya dihabiskan untuk menanggapi ucapan Gagah.
Ponsel Maira berbunyi lagi, kemudian ia mengangkatnya dan berkata ketus."Kenapa Anda tidak langsung datang saja menemui saya sebagai permintaan maaf?"
"Saya sibuk..."
"Lalu, kenapa menghubungi saya terus-terusan. Sebaiknya fokus saja pada kesibukan Anda?"
"Maira...dengar...." Suara itu terdengar berat dan dingin.
"Ada apa?"
"Aku serius denganmu..."
Maira tertawa."Itu bukan urusanku lagi."
"Aku akan datang..."
"Tidak perlu bicara, langsung saja datang sekarang, ke kantorku... jika Anda memang punya nyali." Maira tersenyum mengejek.
"Kamu menantangku, Maira?"
"Ya!"
"Menarik!!"balas Gagah.
"Saya sedang sibuk sekarang, selamat siang." Maira memutuskan sambungan. Jika Gagah menghubunginya lagi, ia tidak akan menjawab.
"Memangnya apa kerjaan dia sampai sesibuk itu,"omel Maira seraya membuka salah satu map di tumpukan.
"Bu, ini kopinya!" Alex meletakkan kopi Maira, kemudian perhatiannya tertuju pada ekspresi bosnya itu."Ibu kelihatan stres banget."
"Iya, Lex aku stres!"
"Ambil cuti saja, Bu, liburan. Itu kan...nggak pernah ibu lakukan. Menyenangkan diri sendiri itu penting, Bu,"kata Alex.
"Begitu ya? Sebenarnya saya juga mau...tapi siapa yang urusin kantor, Lex..."
"Ya ampun, Bu,kan ada Pak Fadli, orang kepercayaan Pak Hermawan. Biasanya kan beliau yang gantikan kalau Pak Hermawan cuti."
"Tapi, Papa juga mau keluar kota, Lex."
"Ada Pak Jalik." Alex terkekeh."Jangan banyak alasan begitu, Bu, keburu kepala Ibu berasap loh."
"Iya juga...kalau gitu, tolong kamu reservasi tempat yang kemarin ya? Pesankan tiketku juga."
"Ibu mau kemana?" Alex kebingungan.
"Ke tempat yang kemarin ada di brosur." Maira tersenyum penuh arti
**
Gagah sedang memandangi foto Maira. Ia tersenyum tipis saat ingat bunga-bunganya ditolak begitu saja. Semalam juga wanita itu tidak mengangkat teleponnya. Juga tidak membalas bahkan membaca pesannya. Ia benar-benar merasa terhina. Wanita itu sepertinya keras kepala dan sulit untuk ditundukkan.
Ini memang salahnya, membatalkan dua kali pertemuan mereka. Tapi, ini benar-benar tidak disengaja. Tiba-tiba saja Rian menghubungi dan meminta tolong sesuatu yang gawat.
Saat ini, ia ditantang untuk datang ke kantor Maira, menemui wanita itu. Sepertinya ini akan menjadi menarik, ia akan menerima tantangan Maira dan memberinya kejutan. Gagah tersenyum, ia sudah tidak sabar untuk melihat ekspresi Maira saat melihat dirinya yang memiliki karisma ini.
Maira masih berkutat dengan tumpukan dokumen yang harus ia periksa. Entah sudah berapa cangkir kopi ia habiskan untuk mengurangi sakit di kepalanya. Ia tidak ingin minum obat, sebab menurutnya ia tidak sedang sakit, hanya sedikit kelelahan atau stres. Pintu ruangan terbuka begitu saja. Hermawan dan Odelie masuk seraya melayangkan senyuman hangatnya.
Maira berdiri, kemudian menyambut kedua orangtuanya dengan pelukan."Papa sama Mama ke sini? Kok nggak bilang-bilang?"
"Iya, Papa sama Mama mau ajak kamu makan siang. Terus...sekalian nanti kamu antar kita ke bandara ya?"kata Hermawan dengan hati-hati. Maksudnya menyuruh anaknya itu mengantarkan ke bandara adalah supaya Maira tidak sedih karena terlalu lama ditinggal.
"Loh katanya masih dua hari lagi?"kata Maira sedih.
"Iya, sayang...dipercepat hari ini. Maaf ya, Mama sama Papa harus pergi lagi." Odelie mengusap pipi Maira.
"Iya, Ma...nggak apa-apa. Ya udah, kita makan siang sekarang yuk. Maira juga udah lapar." Maira merapikan dokumen di mejanya, kemudian meraih tas, lalu menggandeng kedua orangtuanya.
Meskipun saat ini ia sedih atas keputusan orangtuanya yang mempercepat jadwal kepergiannya, Maira tetap menghargai itu. Orangtuanya adalah orang sibuk, mereka sibuk juga untuk kepentingan orang banyak serta nasib karyawan. Maira harus menerima itu semua.
"Kamu beneran nggak apa-apa, sayang?"tanya Odelie ketika mereka sudah berada di perjalanan.
"Iya, Ma, jangan khawatir. Maira kan sudah dewasa, ya kalau kesepian itu hal biasa. Nanti Maira akan cari kesibukan,"jawab Maira.
"Kesibukan kamu itu cuma kerja kan?" Hermawan terkekeh.
Maira melirik sang Papa, sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengutarakan maksudnya."Kalau gitu...Maira liburan ya, Pa. Maira cuti mungkin...sampai dua Minggu. Boleh?"
"Boleh dong, selama ini kamu nggak pernah pergi liburan kan? Nanti Papa hubungi Pak Jalik untuk menggantikan kamu,"balas Hermawan. Dulu, ia sering kali menyuruh Maira mengambil cuti untuk liburan. Tapi, sayangnya Maira tidak mau. Ia terlalu suka bekerja. Akhirnya ia menyerah, tidak lagi menyarankan liburan pada putrinya.
Maira tersenyum senang, Restu sudah di tangan. Tinggal menyusun jadwal, serta pakaian-pakaian yang harus ia bawa. Sepertinya setelah ini ia harus pergi berbelanja. Banyak yang harus ia beli. Wanita itu senyum-senyum sendiri.
"Kita makan dimana, sayang?"tanya Odelie pada Maira.
"Maira ikut aja, Pa, Ma...yang penting sama Papa dan Mama."
"Duh...manisnya?" Hermawan tertawa.
Maira mengambil ponselnya, menghubungi Alex untuk mengatakan bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Ia harus pergi berbelanja untuk persiapan liburannya. Ia akan berangkat besok. Segala pekerjaannya akan digantikan oleh Pak Jalik. Pesan itu diterima oleh Alex, pria itu pun mengiyakan. Untuk dua minggu, bosnya akan berganti menjadi Pak Jalik.