Bab 3

1045 Words
Hujan kembali turun dengan deras pagi ini. Udara dingin membuat siapa pun malas untuk bangun dan beraktivitas. Beda halnya dengan Maira. Mendengar hujan turun, ia cepat-cepat segera menuju balkon untuk menyaksikan berkah dari yang maha kuasa. Maira menengadahkan tangannya ke air yang jatuh membasahi bumi. Tetesan air mengenai telapak tangannya. Maira memejamkan mata, menghirup aroma tanah basah yang tersiram hujan. Begitu menenangkan. Wanita itu pun kembali masuk ke dalam kamar, tetapi ia tetap membuka pintu lebar-lebar agar udara segar masuk. Wanita itu bersenandung sambil mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Hermawan dan Odelie sudah menunggu Maira di meja makan. Wajah mereka terlihat begitu ceria, tidak seperti semalam yang jelas sekali mereka kecewa karena ketidak hadiran Gagah di antara mereka. "Pagi, Ma, Pa!" Maira mencium pipi kedua orangtuanya. "Semangat sekali ke kantornya?"komentar Odelie. "Karena...hari ini hujan,"jawab Maira. "Maira, tadi...Gagah menghubungi Papa. Katanya dia mau datang malam ini menemui kamu,"kata Hermawan dengan semangat. Maira tersenyum tipis, mendengar nama pria itu saja ia sudah tidak mood. Sikap pria itu jelas-jelas sangat dingin dan terkesan tidak berniat serius padanya. Pria seperti itu benar-benar tidak menarik minat Maira."Oh ya? Kenapa malam ini, Pa?" "Ya karena...semalam dia enggak bisa hadir. Dia mau ajak kamu pergi berdua saja. Sekaligus perkenalan. Perkenalan...yang tertunda." Begitu Hermawan memberi penjelasan serta meyakinkan Maira. Maira benar-benar tidak berminat untuk bertemu apa lagi pergi makan malam berdua dengan Gagah. Tapi, ia tidak ingin mengeluarkan pernyataan apa pun kepada Hermawan."Ya sudah, Pa. Nanti Maira coba untuk kenalan dengan Gagah." "Nah, syukurlah kalau begitu. Papa dan Mama akan mendukung apa pun yang akan buat kamu bahagia?" Maira tersenyum, kemudian ia melanjutkan sarapannya. Ia sudah pasrah dengan garis hidupnya. Keinginan orangtuanya bagaimana, ia akan turuti semua. Termasuk menemui pria yang menyebalkan malam ini. Maira memasuki kantornya, disambut oleh Alex, asisten pribadinya. "Selamat pagi, Bu, kelihatan ceria sekali." "Tentu, ini kan hujan..." Maira tertawa. "Wanita hujan,"celetuk Alex. "Apa itu, Lex?"tanya Maira penasaran dengan kertas yang dipegang Alex . "Ini...brosur, Bu, cuma sebuah tempat wisata,Bu, tapi...tempatnya sedikit terpencil. Butuh waktu yang lama dan panjang untuk sampai di sana." Alex menyodorkan brosur pada Maira. Maira memerhatikan lokasi yang tertera di sana dengan serius."Bagus sekali tempatnya, Lex. Sayangnya jauh." "Iya, jauh, Bu...apa lagi kalau Ibu yang ke sana. Bisa lecet-lecet, terus hilang deh cantiknya" Alex terkekeh. "Curah hujannya gimana di sana, Lex?" Maira masih penasaran. "Lumayan tinggi, Bu, hampir setiap hari hujan,"kata Alex. Maira tersenyum puas. Tempat seperti inilah yang ia cari. Ia sudah harus merencanakan kepergiannya menuju tempat itu mulai dari sekarang. Ia pun menyimpan brosur itu baik-baik ke dalam tasnya."Ya udah, Lex, terima kasih ya. Kamu balik kerja." "Iya, Bu." Maira membuka jendela lebar-lebar kembali menghirup udara segar seraya merilekskan otaknya yang tegang karena memikirkan pertemuannya dengan Gagah malam ini.   Maira kembali mengenakan gaun cantik pemberian sang Mama. Ia terlihat cantik dengan make up tipis itu. Wanita itu tersenyum, lantas pergi menemui kedua orangtuanya di ruang keluarga. "Cantik sekali anak Papa,"puji Hermawan. "Iya, dong, Pa...namanya juga mau ketemu calon suami,"sahut Odelie. Maira tersenyum seraya menyembunyikan wajahnya yang merona. Ia duduk di antara Hermawan dan Odelie."Mama sama Papa enggak keluar kota lagi?" "Iya, pergi, anakku. Mungkin lusa,"jawab Hermawan. "Berapa lama, Pa?" "Dua atau tiga Minggu." Maira hanya bisa diam mendengarkan lamanya mereka akan pergi. Ia akan merasa kesepian lagi, sama seperti sebelumnya. "Kamu kan bakalan ada temennya kalau kita pergi,"hibur Odelie. "Siapa, Ma?" "Gagah!" Maira memutar bola matanya, ia hampir lupa kalau saat ini ia tengah menunggu pria itu."Ngomong-ngomong...kok Gagah belum datang ya." "Pasti masih di jalan, kita tunggu aja,"kata Hermawan. "Iya, Pa." Maira menunggu kedatangan Gagah sambil menonton acara televisi. Berkali-kali ia melirik jam dinding, waktu berjalan begitu cepat. Satu jam berlalu, Gagah belum datang juga. Maira mendecak sebal, ia tidak suka menunggu seperti ini. Ia adalah orang yang selalu tepat waktu saat sedang memiliki janji. "Pa, udah jam sembilan tuh, masa iya sih Gagah datang jam segini." "Coba kamu hubungin nomor dia,tanya lagi dimana?"perintah Hermawan. Maira menghubungi Gagah dengan malas. Ia menempelkan ponsel ke telinga kirinya. Ia memekik pelan, nomor ponsel Gagah tidak bisa dihubungi. "Astaga..." "Ada apa, sayang?" "Nggak aktif, dong, Ma." Wajah Maira terlihat syok sekali. Bisa-bisanya ada orang seperti itu pada calon istrinya yang bahkan untuk pertemuan pertama mereka. "Loh kok bisa?" Hermawan mulai khawatir kejadian yang sama terulang kembali. Ia pun bergegas mengambil ponselnya untuk menghubungi Santoso. Sementara Hermawan menghubungi Santoso, Odelie berusaha menenangkan hati sang putri. Ia berharap Maura mau bersabar sekali lagi agar perjodohan ini tetap berjalan dengan semestinya. "Gagah memang tidak bisa datang,"kata Hermawan. "Tuh kan!" Maira mengepalkan tangannya dengan geram. "Memangnya ada apa, Pa?"tanya Odelie pada suaminya. "Ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan,"jawab Hermawan. "Gagah enggak datang lagi?" Maira menggeram. Ia sudah dandan maksimal, tetapi lagi-lagi pria itu tidak datang. Benar-benar tidak tahu menghargai orang lain. Maira benar-benar marah kali ini. "Sayang, tenang dulu...mungkin Gagah sibuk." Odelie kembali menenangkan Maira, walau sejujurnya ia juga kecewa atas kejadian ini. Tapi, semua ini di luar dari kuasa mereka. Tentunya Gagah juga memiliki kesibukan yang luar biasa. "Ma, seharusnya dia bisa kasih kabar ke kita kan kalau memang nggak bisa datang. Ini malah menghilang, ponselnya nggak aktif...itu namanya nggak gentleman. Ini udah kedua kalinya, Ma. Maira merasa benar-benar dipermainkan sama dia." Maira merasa tidak terima. "Ya sudah, sudah...dalam waktu dekat, mungkin sebaiknya jangan ketemu dulu. Biarkan Gagah menyelesaikan segala kesibukannya. Setelah itu, baru kalian ketemu lagi,"kata Hermawan. Maira melipat kedua tangannya di d**a. Ia tidak peduli lagi dengan perjodohan, serta tidak akan peduli lagi dengan pria bernama Gagah.   **   Maira sampai di kantor, pagi ini kepalanya terasa sedikit pusing karena tidurnya kurang nyenyak. Semalaman ia bolak-balik terbangun karena ponselnya berbunyi. Gagah, pria yang suka ingkar janji itu menghubunginya lagi. Tentu saja, Maira tidak Sudi menjawab teleponnya. Tapi, pria itu tidak menyerah, ia terus-terusan menghubungi Maira, sampai mengirim beberapa pesan. Semuanya Maira abaikan. "Lex, tolong...bikinin kopi ya,"kata Maira pada Alex. Alex meletakkan beberapa dokumen yang harus diperiksa Maira di atas meja."Tumben pagi-pagi minum kopi, Bu." "Iya lagi sakit kepala,"jawab Kita memegangi pelipisnya. "Baik, Bu...saya pesankan dulu." Alex keluar dari ruangan Maira. Maira pergi ke balkon, duduk di kursi untuk menghirup udara segar. Hari ini cuaca cukup cerah, masih pagi saja matahari sudah begitu terik. "Bu!"panggil Alex. Maira menoleh, keningnya berkerut melihat Alex datang bersama seseorang. Di tangan mereka ada beberapa bucket mawar."Apa itu?" "Bu, ini ada kiriman bunga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD