Bab 2

1011 Words
"Maira...kamu belum siap-siap?"tanya Odelie saat melihat sang anak masih mengenakan stelan kerja. Putri satu-satunya itu memang baru saja pulang dari kantor dan sejak tadi hanya duduk memerhatikan para asisten rumah tangga bekerja. "Mereka datangnya masih dua jam lagi kan, Ma?"tanya Maira memastikan. Odelie mengangguk seraya merapikan anak rambut Maira."Iya, betul. Tapi, enggak ada salahnya kan kalau kamu bersiap-siap dari sekarang?" Maira mencium pipi Odelie."Iya, Ma." Odelie tersenyum senang, anaknya itu tidak berubah. Maira selalu menjadi anak yang patuh dan memiliki kelakuan yang baik, itu adalah jerih payahnya dan sang suami membuat Maira menjadi seperti itu. Maira bersiap-siap. Ia mandi lalu memilih gaun yang sudah disiapkan sang Mama. Wanita itu tersenyum karena ia merasa gaun ini berlebihan. Tapi, biar pun begitu ia akan tetap memakai gaun pilihan sang Mama. Maira menatap dirinya di depan cermin, setelah puas ia segera turun menemui Mamanya. Sepertinya tidak akan lama lagi, calon yang ada dijodohkan dengan Maira akan datang. Odelie dan Hermawan juga sudah rapi, sangat siap menyambut sang calon menantu. Wajah mereka sangat berbeda kali ini, terlihat sangat bahagia. Maira jadi bertanya-tanya di dalam hati, mungkinkah kali ini perjodohan mereka akan berjalan dengan lancar? Detik demi detik berlalu, akhirnya tamu yang mereka tunggu datang juga. Anehnya kali ini jantung Maira berdegup kencang. Ia merasa  masa lajangnya akan segera berakhir. Sepasang suami istri masuk ke dalam rumah, disambut hangat oleh Hermawan dan Odelie. "Maira, kenalin ini Bapak dan Ibu Santono. Maira menjabat tangan mereka satu persatu dengan ramah. Tapi, dimana anak mereka yang akan dijodohkan dengannya. "Silakan duduk,"kata Odelie. "Oh ya, maaf ya...anak saya sedikit terlambat datang ke sini,"kata Nyonya Santono sambil duduk di salah satu sofa. "Oh, iya...saya ngerti kalau Gagah sangat sibuk." Odelie terkekeh. “Iya, dia sibuk sekali. Makanya...nggak pernah mikirin pasangan,"sambung Nyonya Santono. "Ah, sama kayak Maira. Pasti mereka cocok." "Gagah? Namanya Gagah,"gumam Maira. Beberapa detik kemudian ia merasa bosan karena para orangtua itu sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri. Mungkin mereka langsung lupa ada Maira di sana. Detik, menit, hingga jam berlalu. Tidak ada tanda -tanda pria yang bernama Gagah itu datang. Hingga waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Tuan dan Nyonya Santoso menatap Hermawan dan Odelie dengan perasaan malu dan bersalah."Maafkan kami ya, maafkan Gagah. Entah kenapa nomornya tidak aktif. Kamu yakin dia benar-benar mau datang ke sini." "Nggak apa-apa, Mbak, Mas...mungkin saja Gagah sedang mengalami sesuatu di jalan. Semoga semua baik-baik saja. Dan...kita masih bisa ketemu di lain waktu lagi." "Iya, Kalau begitu kami permisi dulu. Mohon maaf atas segala kesalahan ini. Maira...maafkan kami ya." "Iya, Pak, Bu...nggak apa-apa. Ini di luar dari rencana kita semua. Mungkin...memang belum saatnya saya dan anak Bapak Ibu bertemu,"jawab Maira selembut mungkin. "Terima kasih, Maira. Kamu baik sekali..." Nyonya Santono tampak terharu. Ia pun segera memeluk Maira sebelum mereka pulang.  Hermawan dan Odelie mengantarkan Tuan dan Nyonya Santoso ke mobil mereka. Sementara itu Maira duduk di meja makan seraya menikmati beberapa makanan ringan. Ia sudah cukup lega karena ternyata perjodohan ini gagal. Tapi, di sisi lain ia merasa sedang dihina. Kedua orangtuanya sudah menyiapkan segalanya, tapi ternyata pria itu tidak datang. Mungkin saja pria itu tidak suka dengan perjodohan, tetapi tentu saja seharusnya ia tetap datang. Kemudian ia bisa bicara jujur seperti pria-pria sebelumnya. Maira sangat menghargai keputusan setiap orang. Ia juga sangat paham kalau cinta tak bisa dipaksakan. Kali ini ia benar-benar kesal, keluarganya sudah diremehkan. "Maira..." Hermawan duduk di sebelah Maira seraya mengusap pundaknya. Maira menoleh."Kenapa, Pa?" "Ini di luar dari rencana kita semua. Semoga besok Gagah bisa datang ya?" "Pa, seharusnya suka atau tidak suka ia harus tetap datang. Toh, sama dengan yang sebelumnya, kalau tidak suka tinggal bilang 'tidak'. Tapi, ini benar-benar sudah tidak sopan, Pa,"balas Maira. "Hei, pasti Gagah tidak bermaksud seperti itu, Maira. Dia pasti akan datang, mungkin saja dia ada keperluan mendadak,"kata Hermawan meyakinkan putrinya. "Pa, Pria bernama Gagah itu pasti sudah dewasa. Jika memang dia punya urusan mendadak, dia pasti berpikir untuk menghubungi Mama dan Papanya. Dia bisa bilang baik-baik kan. Bukan dengan menghilang tiba-tiba." "Sayang...." Hermawan mengehela napas panjang. "Pa, bagaimana mungkin laki-laki itu akan menjadi suami Maira. Dia laki-laki yang sangat sibuk. Bahkan, untuk acara pertemuan dengan calon istrinya saja dia tidak sempat datang. Bagaimana jika nanti kami berumah tangga?"kata Maira dengan sangat hati-hati. Ia sangat takut menyinggung perasaan sang Papa. "Tapi, nak...dia berjanji akan datang. Enggak tahu kenapa jadi begini. Orangtuanya datang kan?"balas Odelie lembut. "Ya udah, Ma, Pa. Pada akhirnya kan...memang dia tidak datang. Enggak perlu ada yang disesalkan. Dia memang bukan jodoh Maira." Maira tersenyum, kemudian mengecup pipi Mama dan Papanya secara bergantian. "Ya udah, kamu istirahat aja,"kata Odelie dengan wajah kecewa. Maira mengangguk. Lalu dengan santai ia kembali ke kamarnya. Kekecewaan orangtuanya bukan atas kesalahan dirinya, melainkan kesalahan calon suaminya yang tidak datang. Maira segera mengganti pakaiannya, cuci muka, lalu sikat gigi. Baru saja ia naik ke atas tempat tidur, ponselnya berbunyi. Wanita itu menaikkan kedua alisnya. Siapa yang berani menghubunginya tengah malam begini. Andai ini adalah orang kantor, ia akan memakinya. "Halo,"jawab Maira ragu. "Selamat malam, Maira, maaf mengganggu waktumu..." "Iya, tentu aja mengganggu. Ini sudah malam dan bukan jam untuk menghubungi seseorang,"balas Maira dengan nada dingin. "Maaf, aku tidak datang malam ini. Ada urusan yang nggak bisa kutinggalkan,"jelas Gagah itu dari seberang sana. Maira terdiam beberapa saat, tidak datang malam ini. Artinya pria ini adalah Gagah. Mendengar permintaan maaf itu, Maira jadi sinis sendiri."Kamu...Gagah?" "Iya." "Iya, enggak apa-apa. Aku maklum kalau kamu adalah orang sibuk,"jawab Maira cuek. Pria itu jadi mati kutu, jawaban Maira membuat mulutnya terkunci, kehabisan kata."Bagaimana kalau kita tentukan jadwal untuk ketemu, ya tentunya cuma berdua." Maira tersenyum sinis dari seberang sana. Sejak awal, pria itu tidak menepati janji. Bagaimana mungkin Maira mau meneruskan perjodohan ini."Maaf, aku sangat sibuk. Mungkin kapan-kapan aja kita atur jadwal. Atau...lupakan saja soal perjodohan itu. Kegagalan ini bukan sebuah masalah." "Oh...begitu? Baiklah, selamat istirahat, maaf mengganggu waktunya!"balasnya dan segera memutuskan sambungan. Pria itu menggenggam ponselnya dengan sedikit keras. Ia merasa kesal dengan penolakan Maira. Ia benar-benar tidak bisa hadir karena sesuatu hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Bukan sesuatu yang ia sengaja."Aku tidak suka ditolak, Maira, tunggu kedatanganku di hidupmu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD