Bab-26

1048 Words
Mobil berhenti mendadak di depan rumah Jesslyn. Suara mesin langsung padam, menyisakan keheningan menyesakkan. Lampu jalan menyorot samar wajah Jesslyn yang masih keras kepala, tapi matanya bergetar. Christian bersandar di setir sebentar, mengusap wajahnya kasar, lalu menoleh padanya. Rahangnya tegang, matanya merah karena menahan terlalu banyak amarah dan juga kesabaran. Entah harus sabar apa yang Christian lakukan untuk menghadapi Jesslyn yang terus menolaknya. “Kenapa Lo selalu bikin gue gila, Jess? Kenapa harus dia—Sabian—yang Lo biarin ada disamping lo?!” ucap Christian, suaranya berat dan penuh amarah yang tertahan. “Karena dia nggak pernah bikin gue ngerasa hancur kayak lo. Karena dia nggak pernah bikin gue jadi pilihan kedua—” Belum sempat kalimat itu selesai, Christian mendekat dengan cepat, tangannya mencengkeram dagu Jesslyn dan bibirnya menekan bibir Jesslyn dengan brutal. Ciuman itu bukan lembut. Itu marah, penuh luka, penuh ketakutan. Jesslyn meronta, menahan dengan kedua tangannya di d**a Christian, tapi tubuhnya gemetar. Pria itu terlalu kuat untuk disingkirkan dari hadapannya. Ini bukan pertama kali dan sialnya Jesslyn tidak bisa menolak. Sentuhan itu begitu memabukkan, seolah wanita itu tidak mau berhenti sampai disini saja. Tapi Jesslyn juga sadar jika apa yang mereka perbuat barusan itu salah. Gue benci dia. Gue benci perasaan ini. Kenapa setiap kali dia dekat, gue nggak bisa menolak. b******k!! Batin Jesslyn. Christian menarik diri sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari Jesslyn. Nafasnya terengah, matanya berkilat. Tangannya menyentuh bibir Jesslyn yang sedikit bengkak karena ulahnya. Jika saja ini bukan mobil mungkin Christian akan melakukan hal yang lebih dari ini. Dia akan mengklaim jika Jesslyn akan menjadi miliknya seutuhnya. Tapi sayangnya— “Lihat gue Jess.” Ucap Christian dengan suara yang serak nyaris berbisik. Tangannya tak henti-hentinya mengusap sudut bibir Jesslyn yang membengkak karena ulahnya. Bibir kecil yang selalu membuat Christian candu. “Katakan di depan mata gue kalau lo nggak pernah cinta gue. Katakan kalau hati lo cuma buat dia.” ujarnya lagi. Jesslyn terdiam. Bibirnya bergetar, matanya memanas, tapi tak ada satu kata pun keluar dari bibirnya. “Diam lo… itu jawaban paling jujur yang pernah gue dapat.” lanjutnya. Jesslyn buru-buru membuka pintu mobil, melarikan diri masuk ke rumah tanpa menoleh lagi. Christian hanya terdiam di balik kemudi, kedua tangannya mencengkeram setir hingga buku jarinya memutih. Gue nggak akan biarin lo lari lagi, Jess. Nggak kali ini. *** Suasana kantor masih sibuk menjelang siang. Jesslyn menaruh berkas di mejanya dengan sedikit bantingan, wajahnya masam sejak pagi. Elina, yang duduk di seberang, langsung curiga begitu melihat sahabatnya itu menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Sudah bisa ditebak siapa sumber masalah dalam hidup Jesslyn akhir-akhir ini. Elina menyipitkan mata. “Pagi-pagi udah manyun, kenapa lagi, Jess? Jangan bilang gara-gara Mas Christian lagi?” Dan entah sejak kapan Elina punya panggilan baru untuk Christian. Mungkin terlalu sering berinteraksi atau apapun itu, sehingga menyeletuk panggilan Mas Christian dari bibir Elina. Alis Jesslyn terangkat sebelah mendengar kata asing. “Kenapa? Dunia ini emang isinya cuma dia? Nggak usah ge-er deh.” Elina langsung menyandarkan dagu ke telapak tangannya, jelas makin penasaran. Tidak mungkin wajah ditekuk seperti itu jika bukan karena Christian. Apa dia lupa akhir-akhir ini yang sering berinteraksi dengan Jesslyn hanya Christian saja. Tidak mungkin teman Elina yang babak belur itu berani mendekati Jesslyn. Andy? Jangan harap Christian sudah meminta pria itu untuk mundur dalam hidup wanita itu jika ingin hidup enak. Jika tidak, dalam hitungan detik sudah dipastikan kalau Andy akan bangkrut begitu juga dengan keluarganya. Makanya Christian bilang jika Andy gampang sekali menyerah. “Oalah, berarti beneran dia dong. Ayo, cerita. Muka Lo itu nggak bisa bohong. Udah kayak muka-muka ada sale parfum tujuh puluh persen tapi Lo ketinggalan war.” goda Elina. Wanita itu menggerutu. “Jadi gini… kemarin tuh gue ketemu Hanna di rumah Sabian. Dan tahu nggak? Dia ngajak gue piknik bareng. Sok banget, kan? Kayak kita masih sahabatan aja.” Meskipun aslinya mereka masih teman. Tapi acara tunangannya dengan Christian membuat Jesslyn tak lagi menganggap Hanna teman. Makanya dia menolak apapun yang wanita itu inginkan kecuali ngopi dadakan waktu itu, diluar prediksi Jesslyn yang tiba-tiba datang ke kantor. Elima mendengus. “Serius? Dia mau ngulang kejadian yang mana? Dan Lo mau? Parah sih kalau Lo mau.” Jesslyn menghela nafasnya panjang. “Enggak lah. Yang bikin tambah nyebelin, Tian langsung panas begitu dengar Hanna ngajak gue. Dia kayak… ngebela gue banget buat gue nggak ikut piknik sama Hanna.” Elina langsung bersandar ke kursinya, tangannya terlipat di d**a, wajahnya setengah serius setengah sarkas. Dipikirannya jika Jesslyn mau udah jelas Christian tidak akan tinggal diam. Pria itu akan ikut kemanapun Jesslyn pergi, tanpa peduli jika Hanna adalah tunangannya. Yang kemarin aja dia nekat apalagi yang ini. “Ya ampun, Jess… itu namanya bukan marah, itu cemburu. Pria mana sih yang rela liat wanita yang dia suka jalan sama tunangannya sendiri? Ribet, kan?” pekik Elina dan tertawa, mencairkan suasana yang menurut wanita itu aneh. Jesslyn tertawa hambar, menyandarkan diri di kursi. “Cemburu atau nggak, Mba El… tetap aja dia nggak punya hak ngelarang gue. Dia bukan siapa-siapa gue.” Perlu digaris bawahi jika hidup Jesslyn adalah hidup Christian juga. Kapan sih wanita itu tahu? Meskipun tahu mungkin dia lebih ke sadar diri aja sih. Lebih kek sekarang sudah punya kehidupan masing-masing, bisa tidak ya jangan mengganggu satu sama lain? Elina menatap sahabatnya lama, lalu tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa, tapi lo masih peduli sama amarahnya. Itu udah cukup bukti, Jess kalau Lo masih peduli sama Tian.” Jesslyn terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. Bibirnya mengetap pelan. Kata-kata Elina menohok terlalu tepat di tempat yang ia coba sembunyikan. Dia sudah berusaha tapi kenapa juga dia tidak bisa? Elina yang melihat hal itu hanya menarik nafasnya panjang. Dia mencoba menarik tangan Jesslyn dan menggenggamnya erat. “Mau sampai kapan? Lo nggak capek apa berantem Mulu sama Tian? Gue yang lihat tiap hari capek banget loh. Kayak masa iya gak ada satu hari buat Lo damai sama dia?” Damai sama Christian sama dengan membuka luka yang seharusnya Jesslyn bisa sembuhkan. Dia sudah berhasil membuang gelang itu agar tidak mengikatnya. Sekarang Elina minta Jesslyn untuk berdamai? Apa dia sudah gila? Apa dia ingin membunuh Jesslyn dengan perlahan? Atau mungkin Elina ingin melihat kemesraan Hanna dan juga Christian dengan lapang d**a? “Gue ada ide kalau Lo mau, Jess.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD