Mobil berhenti perlahan di depan rumah Jesslyn. Lampu teras menyala redup, udara malam terasa lebih hening. Jesslyn buru-buru membuka seatbelt, seolah ingin kabur duluan sebelum Christian membuka mulut lagi. Dia tidak tahan jika harus terus berada disamping pria itu. Jesslyn hanya takut terbawa perasaan dan nyaman. Dia takut egois untuk memiliki Christian seperti dulu lagi. Tidak!!
Christian menahan pergelangan tangannya sebentar, nada santai. “Hey… biasanya orang bilang terima kasih kalau udah dianter pulang.” kekehnya.
Lebih tepatnya menggoda karena wanita itu entah kenapa cepat-cepat ingin pergi dari mobilnya.
Jesslyn menarik tangannya cepat, pura-pura dingin. “Terima kasih. Puas? Gue nggak mau hutang budi sama lo ya. Meskipun lo udah gagalin dinner gue sama Andy tapi gak masalah, gue maafin Lo.”
Christian terkekeh, mencondongkan badan sedikit ke arah Jesslyn. Tentu, hal itu membuat Jesslyn gugup setengah mati. Dia mundur dan takut kalau dia kelepasan mengecup bibir tipis itu dan melumatnya habis. Bahkan jika Christian sadar tatapan Jesslyn lebih fokus pada bibir itu ketimbang tatapan Christian padanya.
“Kalau gitu, bayar utangnya.”
Jesslyn menatap dengan alis terangkat, dia gelagapan. “Bayar gimana? Lo kira gue tukang kredit. Ingat ya malam ini lo yang rusuh bukan gue.”
Christian tersenyum nakal dan dalam. Kapan lagi sih bikin wanita itu gugup setengah mati dengan tatapan yang teralihkan dari bibirnya? Jika saja bukan mobil mungkin Christian sudah menidurkan wanita itu dengan cepat. Memeluknya tanpa mau melepaskannya sedikitpun.
“Bayarnya gampang. Mulai malam ini lo nggak boleh panggil gue dengan sebutan Tian lagi.”
Jesslyn terdiam, matanya menatap sayu ke arah Christian. Dia tahu betul arah ucapan itu tapi Jesslyn tidak bisa. Bibirnya mengatup begitu saja satu kata pun tidak keluar dari bibirnya. Dia benar-benar tidak suka dalam situasi ini.
“Terus Lo maunya dipanggil apa?”
“Abi. Gue mau dipanggil Abi kayak lo manggil gue dulu Jes.”
Wanita itu menggeleng. “Gue nggak bisa!!”
“Bisa!! Kalau nggak, Lo gak bisa keluar dari mobil gue.”
Brengsek!! Itulah satu kata yang pantas untuk Christian
“Oke, Abi terimakasih. Gue mau turun. Puas lo!!” Katanya sambil tersenyum manis. Anggap saja senyum ini bonus biar dia cepat pergi dari sini.
Christian menahan tawa, nada lebih lembut. “Belum. Gue baru puas kalau bisa lihat senyum itu tiap hari, Jess.”
Dada Jesslyn berdebar. Ia buru-buru meraih tas, mendorong pintu mobil, dan berdiri di depan rumahnya. Namun sebelum ia sempat melangkah masuk, suara Christian kembali terdengar.
“Selamat malam, Jess. Jangan mimpiin Andy, mimpiin gue aja. Gue lebih real daripada dia.” teriak Christian menurunkan kaca mobilnya dan menatap Jesslyn yang hampir masuk ke dalam rumahnya.
Jesslyn berbalik, wajahnya merah padam. Ia mendengus keras lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat. Dari balik jendela, ia sempat melirik—dan menemukan Christian masih duduk di mobilnya, menatap ke arah rumahnya dengan senyum kecil yang entah kenapa membuat dadanya semakin sesak.
***
Suasana kantor siang itu cukup ramai, tapi di meja kerja Jesslyn justru jadi pusat perhatian kecil. Elina dan Rhea duduk di sampingnya, wajah penuh rasa ingin tahu. Jesslyn berusaha fokus ke layar laptop, tapi kedua temannya jelas tak mau melepaskannya dengan mudah. Apalagi ketika mereka tahu jika Jesslyn dan Andy makan dinner berdua. Dan bagaimana reaksi mereka jika nanti mereka tahu kalau yang makan malam dengannya bukan Andy tapi Christian?
Rhea menyikut Jesslyn pelan, dia bela-belain pergi dari ruangannya di jam kantor hanya ingin mendengar celoteh Jesslyn tentang dinner nya. “Jadi… gimana kabar dinner romantis lo sama Andy semalam?”
Elina menyeringai lebar, menutup lipstik yang baru saja dia poles di bibirnya. “Jangan bilang Lo pakai gaun itu cuma buat makan di depan cermin.”
Jesslyn mendengus, jarinya berhenti mengetik dan menatap mereka berdua jengah.
“Kalau gue makan di depan cermin pun lebih baik daripada ending semalam.”
Rhea melebarkan matanya menatap penasaran, begitu juga dengan Elina yang seolah ingin tahu apa yang terjadi semalam. Tidak mungkin kan makan malam mereka kemarin gagal hanya karena gaun? Atau mungkin Jesslyn berubah pikiran untuk nonton atau melakukan apapun selain makan malam berdua? Atau mungkin lagi mereka tidak jadi keluar rumah karena hujan deras?
Tapi kalau dipikir ulang suasana semalam cukup indah. Tidak ada tetesan air hujan yang membasahi bumi. Dan entah kenapa Elina malah berpikir mereka pergi ke hotel dan menghabiskan waktu bersama?
“Lho? Kok gitu? Jangan bilang Andy batal?” pekik Rhea yang berpikir jika Andy membatalkan dinner mereka.
“Dia memang batal. Dan coba tebak siapa yang datang ke rumah gue dan diner bareng gue?”
“Siapa?” Ucap Elina dan juga Rhea serentak.
“Christian. Dia menggunakan kekuasaannya untuk ngancan Andy buat jauhin gue. Dan makan malam semalam gue gagal bareng Andy dan gue makan malam bareng Christian.” Jelas Jesslyn kesal.
“APA!!!” Rhea dan Elina memekik bersama. Matanya membulat mendengar penjelasan itu.
Beberapa rekan kerja melirik karena suara mereka, tapi Elina dan Rhea cuek. Jesslyn menutup wajah dengan tangan, menyesali keputusannya membuka mulut. Harusnya dia tidak mengatakan apapun agar mereka tidak berteriak. Tau sendiri kan mulut mereka kayak apa. Meskipun mereka pada takut dengan kekuasaan Rhea tetap saja Jesslyn tidak suka mereka berteriak.
Pertengkarannya dengan Christian waktu itu sudah membuatnya menjadi bahan gosip apalagi ini.
Elina setengah tertawa, menahan suara. Terdengar lucu tapi siapa sih yang tidak tahu Christian. Siapapun akan tunduk dan takut jika pria itu sudah menggunakan nama belakang.
“Tunggu-tunggu… jadi lo gagal dinner sama gebetan, tapi akhirnya candle light dinner sama mantan cinta SMA lo yang sekarang tunangan temen Lo sendiri?”
Kalau Elina lupa dia juga kenal Hanna. Dan mereka berteman kenapa juga kesannya kayak Jesslyn saja yang berteman dengan Hanna dan Elina tidak?
Jesslyn melotot, memukul lengan Elina dengan gemas. “Mbak El, kalau lo ulang lagi kalimat itu, gue sumpahin mouse Lo nge-lag seumur hidup.”
Rhea menutup mulut, menahan tawa.
“Terus? Gimana? Dia nyebelin kayak dulu, apa malah tambah bikin jantung Lo mau copot Jes?”
Jesslyn mendengus, pura-pura sibuk untuk menutupi salah tingkahnya. Kalau mereka tau apa yang diucapkan Christian malam itu sudah pasti akan menjadi bahan godaan Jesslyn seumur hidup.
“Nyebelin. Banget. Dia senyum-senyum, gombal murahan, nyuapin gue steak segala. Gue hampir melempar sendok ke kepalanya.” kata Jesslyn sedikit berbohong. Meskipun jantungnya kembali berdebar hanya membayangkan adegan yang tidak seharusnya terjadi.
Elina menepuk meja, ngakak. “Tapi Lo makan juga, kan?”
Jesslyn terdiam, lalu berbisik dengan muka merah “…Steak-nya enak.”
Rhea menjerit kecil, girang. “Astaga Jess! Lo nggak sadar? Itu udah level date, bukan sekadar dinner gagal!”
Jesslyn menghela napas panjang, bersandar di kursinya. Ia menutup mata sebentar, berusaha menenangkan diri dari teriakan teman-temannya. Rasa menyesal bercerita jika hanya menjadi bahan. Sedangkan yang ada dipikiran Jesslyn bagaimana caranya Jesslyn bisa pergi dan bebas dari Christian tanpa menyakiti siapapun.
“Gue capek. Capek banget kalau harus terus berhadapan sama dia.” lirih Jesslyn.
Elina dan Rhea saling pandang. Senyum mereka masih ada, tapi kali ini ada guratan empati. Mereka tahu, di balik judesnya Jesslyn, ada hati yang masih terlalu rapuh untuk menghadapi Christian. Mereka tahu jika tak gampang menjadi Jesslyn. Rasa cinta yang begitu besar, rasa ingin memiliki yang teramat tapi harus terhalang tembok tinggi yang mereka ciptakan sejak masih sekolah.
****