Obrolan Jesslyn, Elina, dan Rhea belum selesai saat suara pintu kaca terbuka. Seisi ruangan refleks menoleh. Christian masuk dengan jas rapi, membawa beberapa berkas. Aura dingin-bossy-nya membuat sebagian karyawan langsung duduk lebih tegak.
Tapi tidak dengan Elina dan Rhea. Mereka justru makin semangat. Mereka tidak ada takut-takutnya dengan adik pemilik perusahaan ini.
Elina berbisik keras, pura-pura dramatis. “Jess… kutukan Lo datang.”
Rhea menutup mulut, tapi senyum lebar. “Eh, supir cadangan kesayangan udah muncul.”
Jesslyn langsung mendelik ke arah keduanya, wajahnya merah padam. Sedangkan Christian yang mendengar hal itu masih menunjukkan tampang coolnya. Dia tahu kakak iparnya itu tengah menggodanya atau mungkin akan mengadu pada ibunya tentang hal ini? Jika iya dia akan mengadu pada Arzachel jika istrinya minta dihukum.
Pelan, penuh ancaman.“Kalian berdua mau gue coret dari daftar temen nggak?”
Bukannya apa Elina dan Rhea malah menunjukkan wajah sok takutnya mendengar ucapan Jesslyn. Dan hal itu mampu membuat Jesslyn kesal setengah mati. Ingin rasanya menenggelamkan mereka di Antartika agar tidak kembali lagi. Minimal setelah hari ini tidak ada lagi gonjang ganjing gosip tentang dirinya.
Christian mendekat, berhenti di depan meja Jesslyn. Ia menaruh berkas di meja dengan tenang, matanya sempat melirik sekilas ke arah Jesslyn yang pura-pura sibuk mengetik padahal salah tekan tombol berkali-kali.
“Abigail Jesslyn Greta, laporan ini perlu kamu revisi. Saya tunggu sore nanti.” katanya dengan senyum kecil tercetak jelas di bibir pria itu.
Jesslyn melongo melihat hal itu, dia tahu tidak ya posisi Jesslyn disini sebagai apa? Dan kenapa juga dia harus menyusun laporan yang bukan ranah dia? Dan sejak kapan dia berada di kantor ini dan berani memerintah? Belum juga beres akan hal itu Jesslyn sudah melihat Elina dan juga Rhea mulai menggatal disini.
Elina menyikut Rhea, lalu bersuara manis pura-pura sopan. “Pak Christian, semalam makan malamnya gimana? Lancar?”
Jesslyn hampir tersedak ludahnya sendiri. Tangannya refleks meraih pena, siap melempar ke Elina. Bisa-bisanya dia bertanya sesopan itu di depan banyak orang. Yang dimana akan ada gosip baru tentang dirinya dan juga Christian setelah bertengkar di koridor kantor. Lebih baik pura-pura tidak tahu saja ketimbang pusing karena ulah Christian.
Christian berhenti sejenak, menatap Jesslyn, lalu menjawab datar tapi matanya jelas bersinar nakal. “Lancar. Malam yang menyenangkan, meski partner makannya… agak judes.” pria itu melirik Jesslyn yang masih diam saja di tempatnya. Seolah dia tidak memperdulikan keberadaan Christian sekarang.
Elina dan Rhea langsung menahan tawa, saling memberi tos kecil di bawah meja. Jesslyn menunduk dalam-dalam, wajahnya panas seperti terbakar. Kapan semua ini berakhir? Batin Jesslyn.
Rhea pura-pura polos dan ingin terus menggoda Jesslyn yang sudah merah padam. Bukan karena marah mungkin karena salting atau apapun itu. “Oh, jadi dinner romantisnya beneran kejadian ya?”
Jesslyn meledak, akhirnya menatap mereka berdua dengan suara tinggi. “Diam kalian berdua! Kerja sana sebelum gue beneran pecat Lo pada yaa!!”
Christian hanya tersenyum tipis, lalu berjalan pergi sambil membawa aura puas yang jelas terlihat. Sementara Jesslyn mendengus keras, dan Elina serta Rhea hampir tak bisa menahan tawa mereka.
***
Suara riuh kembali terjadi ketika Jesslyn dan Sabian duduk berdua. Lebih tepatnya Jesslyn yang menghampiri Sabian lebih dulu. Disini mereka sudah saling terbuka, Sabian yang belum bisa melupakan Avasa dan meminta bantuan Jesslyn untuk melupakan wanita itu. Begitu juga dengan Jesslyn yang masih memiliki perasaan dengan Christian tapi masih ingin menggoda atau mungkin berharap Sabian bisa meliriknya setelah ini. Untung besar kalau dapat Sabian meskipun dapat Christian juga sangat menguntungkan.
Disini mereka sudah tahu masalah mereka. Jesslyn yang ingin menjauh dari Christian karena Hanna. Dia merasa tidak enak hati, apalagi semalam dia tidak datang ketika Hanna mengajaknya makan malam bersama, dan malah pergi makan malam bersama dengan Christian.
“Biasanya kamu nggak datang kecuali ada berkas atau masalah sistem. Kali ini masalahnya hati, ya?” kata Sabian dengan alis yang terangkat sebelah. Dia tahu betul, belum lagi raut wajah Jesslyn yang mendukung sekali.
Jesslyn melotot, melempar pouch yang selalu dia bawa diatas meja. “Kenapa semua orang mendadak jadi cenayang, sih?!”
Sabian tertawa kecil, menyandarkan punggung ke kursi kantin. Jesslyn membuka pouchnya mengambil kaca. Dia ingin tahu ada kerutan halus tidak di bawah matanya karena terlalu sering marah. Ia menyilangkan tangan, wajahnya kesal campur lelah.
“Semua orang di kantor ngomongin saya Pak. Elina, Rhea, sampai satpam pun kayaknya tahu kalau saya dinner sama Christian.” Jesslyn menggerutu.
“Karena kamu nggak bisa bohong, Jess. Wajahmu udah jadi spoiler berjalan. berita tentang kamu dikantor ini lagi naik daun. Setelah dengan Christian sekarang dengan saya.”
Jesslyn memukul meja pelan, menunjukkan kekesalannya. “Bukan itu masalahnya! Masalahnya… saya benci kenyataan kalau saya masih… masih…”
Jesslyn terdiam. Kata-katanya tercekat. Sabian menatapnya lekat-lekat, memberi ruang tanpa mendesak. Tapi hal itu membuat Jesslyn tidak nyaman. Dia tidak nyaman dengan tatapan itu, seolah tatapan itu menggambarkan jika Jesslyn harus jujur dengannya apapun yang terjadi. Baru kali ini Jesslyn terdesak dengan situasi seperti ini, dengan harapan Sabian memberikan ide yang tidak begitu buruk untuknya dan hubungannya dengan Christian.
“Masih sayang sama dia?” kata Sabian dengan nada yang lembut
Jesslyn menghela napas berat, akhirnya mengangguk pelan. Matanya berkilat, tapi ia buru-buru menunduk. Dia mengakui hal itu, mau tidak pun juga akan terlihat jelas dari interaksi Jesslyn dan juga Christian. Dia punya Elina dan juga Rhea tapi entah kenapa hal ini malah dia bicarakan dengan Sabian. Setidaknya Jesslyn bisa menimbulkan kesalahpahaman antara dirinya dan juga Christian.
“Padahal saya tahu dia tunangan Hanna. Adik Bapak itu udah punya calon kenapa juga masih ganggu saya? Apa mungkin bapak nggak ada cita-cita untuk ngasih tau dia buat jauhin saya? Saya bisa gila kalau gini terus Pak?”
Sabian mencondongkan tubuh ke depan, serius. “Kamu bukan gila. Kamu cuma manusia. Perasaan nggak bisa diperintah. Yang salah itu kalau kamu terus pura-pura nggak peduli padahal hatimu hancur.”
Jesslyn menggigit bibir, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Tapi mau sampai kapan?
“Terus Saya harus apa? Dia bikin sayanmarah, bikin saya kesel… tapi di saat yang sama, cuma dia yang bisa bikin saya ngerasa hidup.”
Sabian menghela napas panjang. “Kalau kamu masih ingin kasih kesempatan, kasihlah. Tapi pastikan itu bukan karena dia memaksa… melainkan karena kamu benar-benar siap. Tau kan resiko kalau berhubungan dengan calon suami orang?
Jesslyn terdiam. Ia menatap Sabian lama sekali, matanya berkaca-kaca tapi bibirnya tetap tegas. Bukan itu yang Jesslyn harapkan.
“Kenapa kamu nggak jatuh cinta sama saya aja sih, Pak? Biar gampang.” katanya lirih, dan sedikit bercanda untuk menutupi sakit hatinya sekarang.
Sabian tersenyum tipis, nada hangat tapi menyimpan luka. “Kalau hatiku nggak masih milik Avasa… mungkin dari dulu saya udah rebut kamu dari Christian.”
Jesslyn tercekat. Ia hanya bisa menunduk, menyembunyikan getar di matanya. Untuk sesaat, kantor yang riuh di luar terasa jauh. Yang tersisa hanya dua hati yang sama-sama terluka, tapi memilih untuk saling menopang.
****