Bab-24

1163 Words
Ruang keluarga Sabian siang itu terasa lebih ramai dari biasanya. Jesslyn duduk di ujung sofa, tangan terlipat di d**a, matanya sesekali menatap kosong ke arah jendela. Sabian di kursi seberang, tenang dengan senyum tipisnya. Yoora tengah pergi ke ruangannya dengan alasan ada kerjaan dadakan, entah pekerjaan apa yang mungkin akan menambah aset kekayaan mereka. Pikir Jesslyn. Christian duduk di samping Hanna, meski jarak tubuhnya tampak tegang—seolah keberadaannya di sana bukan karena keinginannya. Tapi karena adanya Yoora yang awalnya duduk di hadapan mereka. Mau tidak mau Christian duduk disamping Hanna agar wanita tua itu tidak curiga sedikitpun tentang Christian dan juga Jesslyn. Hanna menoleh ceria ke Jesslyn, mencoba membuka percakapan. “Jess, gue ada ide. Gimana kalau weekend ini kita piknik bareng? Kayak dulu… bawa bekal, duduk di taman, cerita-cerita. Seru, kan? Oh ya Elina juga diajak ya, biar makin seru kalau ada dia. Gue bisa curhat soal make up ke dia.” Ya, dulu selama sekolah dan Hanna merasa bosan dia akan pergi piknik bersama dengan Jesslyn di weekend. Menghabiskan waktu bersama dengan banyak cerita dan juga quality time para wanita. Dan Elina akan membawa semua alat make up-nya disana untuk merias Jesslyn dan juga Hanna secara bergantian. Sabian tersenyum tipis, menoleh ke arah Jesslyn, penasaran dengan reaksinya. Sementara Christian menegakkan tubuh, tatapannya langsung mengunci Jesslyn, jelas tidak setuju. Dia tidak suka jika Jesslyn akan pergi piknik dengan Hanna. Bukannya apa tapi menurut Christian hal itu akan menghambat apa yang diinginkan Christian pada Jesslyn. “Piknik? Hm… kayaknya nggak, deh. Gue nggak ada mood buat begitu-begituan.” kata Jesslyn datar. Lebih ke menghindar karena sakit hati. Takutnya waktu piknik Hanna malah bahas Christian, kan ya berabe perasaan Jesslyn. Hanna meraih tangan Jesslyn singkat, senyumnya tulus. “Ayolah, sekali aja. Gue kangen Lo, Jess. Gue cuma pengen kita deket lagi kayak dulu. Setelah acara tunangan kita kayak gak ada waktu buat ketemu dan quality time deh.” Katanya merengek. Menunjukkan tatapan puppy eyes dengan harapan Jesslyn akan setuju dengan idenya. Jesslyn buru-buru menarik tangannya, pura-pura memperbaiki posisi duduk. Senyumnya tipis, tapi matanya bergetar. Sebelum ia menjawab, Christian menyela. “Jess memang nggak bisa, Han. Belakangan ini dia sibuk banget, bahkan istirahat aja kurang. Kalau ditambah piknik, dia makin kecapekan.” ucap Christian menyela, nada tenang tapi sarat akan tekanan dan juga menatap Hanna sekilas. Mengisyaratkan jika Jesslyn tidak mau tidak perlu dipaksa. Sabian mengangkat alis, menahan komentar. Jesslyn melirik tajam ke arah Christian, nada suaranya jadi lebih sinis. “Wow, sejak kapan lo jadi sekretaris pribadi gue, Tian? Kayaknya gue nggak pernah minta lo atur jadwal, deh.” ucap Jesslyn sedikit mengejek. Terlihat jelas sekali jika disini Christian tidak suka dengan ajakan Hanna. Dia noaa diem aja gak sih , jangan banyak bicara yang akan membuat Hanna lebih curiga lagi pada mereka. Christian balik menatap, nada lebih dalam. “Gue cuma nggak mau lo memaksakan diri. Itu aja. Lagian kerjaan kantor banyak, belum lagi proyek yang harus Lo kerjakan juga belum kelar.” Jesslyn melongo mendengar hal itu, sejak kapan HRD pegang proyek? Dia hanya perlu merekrut banyak karyawan dan sebagainya. Terus dia bilang kalau aku harus ngurusin proyek? Dan satu lagi mereka tidak satu kantor, yang dimana Christian tidak memiliki hak untuk melarang dan memerintah Jesslyn seenaknya. Hanna menoleh dari Christian ke Jesslyn, bingung dengan ketegangan di antara keduanya. Ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Ya ampun, gue cuma ngajak santai kok. Nggak usah serius banget. Kalau Jess beneran sibuk… ya udah, lain kali aja.” kata Hanna akhirnya, mungkin benar jika wanita itu sibuk bekerja. Atau mungkin dia akan meminta pada Sabian untuk memberikan waktu luang pada Jesslyn agar mereka bisa pergi bersama. Jesslyn mengangguk kecil, tapi di dalam dadanya ada luka yang kembali berdarah. Melihat Hanna dan Christian duduk berdampingan membuatnya sesak. Kenapa harus berdampingan? Yang katanya bilang tidak suka dan terpaksa tapi duduknya bisa berdampingan layaknya suami istri. Apa mungkin sengaja biar tahu mau sekeras apapun Jesslyn dan Christian berusaha, yang jadi pemilik Christian dan menyandang status nyonya Miller adalah Hanna. Mungkin gambaran untuk Jesslyn, agar sadar diri dan pergi dari hidup Christian. Lain kali? Gue bahkan nggak yakin bisa lagi, Han. Dekat sama lo aja rasanya udah cukup untuk bikin hatiku berantakan. Ucap Jesslyn dalam hati. Sabian bersandar, menatap Jesslyn dengan sorot mata yang membaca. Ia tidak ikut campur, tapi jelas menyimpan banyak tanya. Apa yang wanita itu pikirkan sampai dia harus melakukan hal ini pada Christian dan juga Hanna. *** Jesslyn berdiri di depan Christian, wajahnya masam. Sementara Sabian tetap duduk di kursi, satu tangan menopang dagu, memperhatikan dengan tatapan penuh arti. Ketika Jesslyn hendak melangkah, Christian menoleh sekilas pada Sabian. Tatapannya singkat, tapi jelas menyimpan sesuatu—rasa tidak suka, rasa tidak rela. “Kenapa tatapannya gitu, Tian? Lo takut gue mengambil sesuatu yang seharusnya bukan punya gue?” ucap Sabian menohok. Jesslyn menoleh cepat ke arah Sabian, kaget sekaligus kesal karena kalimat itu seperti bensin disiram ke api. Jesslyn mendesah, menatap sinis. “Pak Sabian, jangan mulai…” Christian mendekat selangkah, matanya menajam. Interaksi mereka seperti ini yang membuat Christian tidak suka. Kenapa harus Sabian kenapa tidak dirinya saja. Wanita itu sudah banyak menguji kesabaran Christian seharian ini. “Gue cuma nggak suka kalau ada orang yang sok peduli, padahal nggak tahu apa-apa soal dia.” ucap Christian sinis. Sabian tertawa kecil, santai, bahkan meneguk kopinya. Dia tidak begitu peduli dengan cibiran itu. Dia memang tidak tahu apapun tentang Jesslyn. Sejak dulu waktu wanita itu mendekatinya pun Sabian tidak tertarik sama sekali. Melihat wajah Christian yang marah, kesal membuat Sabian puas. Sabian menatap Jesslyn sekilas. “Lucu. Soalnya gue justru tahu banyak. Mungkin lebih dari yang Lo kira.” Brengsek!! Itulah kata yang ingin Christian ucapkan. Tapi tertahan karena dia menghargai selain dia abangnya di lantai dua juga ada ibunya, yang mungkin akan mendengar pertengkaran mereka. Jesslyn merasa kepalanya berdenyut. Dua pria itu saling bertukar tatapan tajam, seakan siap bertarung dengan kata-kata atau bahkan lebih. Ia mengangkat tangan, berusaha menghentikan. “Cukup! Gue nggak butuh siapapun ribut buat gue. Kalau kalian berdua mau adu urat, silahkan di luar. Gue nggak peduli.” kata Jesslyn tegas dan bodoamat. Meskipun jantungnya ingin lepas setelah setelah mengatakan hal itu. Suasana membeku. Christian menggertakkan gigi, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, tatapan matanya ke Sabian jelas—cemburu, penuh peringatan, seolah berkata Dia milikku. Jangan coba-coba. Sabian hanya mengangkat bahu, meletakkan cangkir di meja dengan senyum samar. Secinta itu adiknya pada wanita yang bernama Jesslyn? “Yaudah, kalau gitu gue serahin sama yang paling ‘ngotot’ jagain dia.” ujar Sabian pelan tapi penuh dengan sindiran. Jesslyn menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah pintu. Christian otomatis mengikuti, tidak memberi kesempatan pada Sabian. Di belakang mereka, Sabian hanya menatap dengan tatapan penuh tanda tanya, sementara Jesslyn merasa dadanya sesak—bukan hanya karena Christian yang cemburu, tapi karena luka lama yang terus terbuka setiap kali Hanna ada di dekatnya. Tapi pada dasarnya Christian tidak tahu hal itu. Tidak jika Jesslyn marah hari ini karena hal kecil. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD