Rumah kecil itu terasa hangat siang itu. Jesslyn baru saja meletakkan hasil belanjaan dari pasar di atas meja makan. Keranjang rotan sudah kosong, tapi semangatnya justru turun. Bukan karena lelah, melainkan karena… masak.
“Ayo, cuci sayurannya, terus siapin bumbu. Kita masak bareng,” ucap Christian sambil menggulung lengan kemejanya. Suaranya santai tapi tegas, seperti biasa.
Jesslyn menatapnya sebentar, lalu mendengus. “Bareng apanya, yang bisa masak itu lo. Gue cuma bisa motong bawang terus nangis. Itu pun kadang bawangnya nggak kepotong, malah jari gue yang kepotong.”
Christian menoleh dengan alis terangkat, sinis tapi keren. “Jadi rencana lo apa? Duduk cantik nonton gue kerja kayak acara TV?”
Jesslyn langsung mendaratkan diri ke karpet ruang tamu yang letaknya tepat menghadap dapur mungil itu. Ia menarik bantal sofa, meletakkannya di bawah kepala, lalu menjawab dengan santai. “Exactly. Gue jadi penonton VIP. Lo masak, gue yang nikmatin hasilnya.”
Christian mendecak, tapi tidak berusaha membantah lagi. “Dasar manja.”
Dapur mungil itu segera dipenuhi suara: air mengalir, wajan beradu dengan spatula, aroma bawang putih yang ditumis menyeruak ke seluruh ruangan. Jesslyn memeluk bantal, matanya tanpa sadar mengikuti gerak tubuh Christian.
Pria itu tampak terbiasa dengan dapur. Gerakannya tenang, teratur, tidak terburu-buru. Lengan kemejanya tergulung hingga siku, memperlihatkan otot yang jelas terbentuk. Bahunya lebar, punggungnya tegak saat berdiri di depan kompor. Dari sudut pandang Jesslyn yang rebahan, punggung itu terlihat… terlalu nyaman untuk tidak dipeluk.
“Jess,” panggil Christian tanpa menoleh, “lo mau makan apa duluan? Ayam goreng atau sup sayur?”
Jesslyn berkedip cepat, buru-buru mengalihkan tatapannya. “Apa aja. Gue nggak picky kayak lo.”
“Lo sih nggak picky, tapi kalau rasanya nggak enak, mulut lo lebih pedes daripada cabai.”
Jesslyn terkekeh. “Ya salah lo sendiri kalau masaknya gagal.”
Christian hanya menggeleng kecil, lalu kembali sibuk di depan kompor.
Sementara itu, pikiran Jesslyn mulai berkelana. Bayangan muncul di kepalanya—tentang dirinya yang berdiri tepat di belakang Christian, menyelipkan kedua tangan ke d**a bidang pria itu, menyandarkan dagu di bahunya. Ia bisa membayangkan hangatnya tubuh itu, aroma maskulin bercampur bumbu dapur.
Bayangan itu terlalu hidup, sampai pipinya merona sendiri. Gila, kenapa pikiran gue malah ke sana sih… gumamnya dalam hati.
Christian yang sedang menuang kuah sup ke panci menoleh sekilas. “Lo kenapa diem? Biasanya mulut lo nggak bisa berhenti ngoceh.”
Jesslyn buru-buru menutup wajah dengan bantal. “Nggak, gue lagi… ehm, ngantuk.”
“Oh, ngantuk. Jadi gue masak capek-capek, lo tidur? Enak banget lo,” balas Christian ketus, tapi dari suaranya jelas ia menahan tawa.
Jesslyn mengintip sedikit dari balik bantal. “Kan gue bilang tadi, gue penonton VIP. Lo harusnya bangga masak ditonton gue.”
Christian meletakkan spatula, lalu mendekat beberapa langkah. Jesslyn sontak menegakkan badan, panik kalau pria itu bisa membaca wajah memerahnya. Tapi ternyata Christian hanya mengambil handuk kecil di dekat sofa. Sebelum kembali ke dapur, ia sempat menepuk pelan ubun-ubun Jesslyn.
“Jangan banyak ngelantur. Siap-siap aja makan siang nanti.”
Tepukan singkat itu sukses bikin jantung Jesslyn berdebar lebih kencang. Ia kembali rebahan, kali ini menutupi wajah dengan bantal lebih rapat.
Astaga, kalau kayak gini terus gue bisa beneran gila. Niatnya cuma masak siang, kenapa malah jadi drama hati begini?
Setengah jam kemudian, aroma ayam goreng, sup hangat, dan tumisan sayur memenuhi ruangan. Christian memanggil Jesslyn dengan nada ketus tapi menggoda.
“Hey, penonton VIP. Bangun. Makanannya udah siap.”
Jesslyn bangkit dengan wajah masih merah samar. “Kok cepet banget? Lo yakin nggak pake bumbu instan kan?”
Christian menarik kursi, menatapnya dengan senyum tipis penuh percaya diri. “Cobain dulu. Kalau rasanya bikin lo diem seribu bahasa, berarti gue berhasil.”
Jesslyn duduk perlahan, menatap hidangan yang tertata rapi di meja. Hatinya menghangat—bukan hanya karena makanan, tapi karena pria di depannya.
Dan untuk pertama kalinya, Jesslyn berpikir, mungkin ia memang bisa terbiasa melihat punggung itu di dapurnya setiap hari.
***
Suasana kantor siang itu ramai dengan derap sepatu pegawai yang keluar masuk ruang rapat. Jesslyn baru saja selesai mengecek laporan dari divisi HR ketika bayangan tinggi Christian sudah berdiri di depan pintunya. Laki-laki itu tak mengetuk, hanya bersandar dengan wajah tenangnya yang entah kenapa selalu berhasil bikin orang lain salah tingkah.
“Pulang bareng?” tanyanya datar, seakan kalimat itu hal kecil, padahal dampaknya besar sekali untuk hati Jesslyn.
Jesslyn menutup map di tangannya, menatap Christian dengan alis terangkat. “Pulang bareng naik mobil itu lagi? Mobil yang udah pernah dinaikin Hanna?” Nada sinisnya jelas menusuk, meski ia sendiri tidak sepenuhnya tega mengatakannya.
Christian mendesah, menegakkan tubuhnya. Tatapannya lurus, serius. “Jadi, cuma gara-gara mobil, lo nolak?”
“Bukan cuma gara-gara mobil, Tian,” sahut Jesslyn, menyilangkan tangan di d**a. “Itu masalah kenyamanan gue. Gue gak mau duduk di tempat yang sama, di kursi yang sama, apalagi kalau itu masih ada jejak dia.”
Hening sejenak. Beberapa staf yang lewat melambatkan langkah, sensing ada ketegangan. Tapi Christian tetap tenang. Laki-laki itu merogoh ponselnya, menekan beberapa angka, lalu bicara singkat pada seseorang di seberang.
“Siapin satu mobil baru. Hari ini juga. Jangan yang biasa dipakai. Khusus untuk saya… dan untuk dia.”
Nada suaranya dingin, otoritatif. Dalam hitungan detik, orang-orang yang mendengar hanya bisa saling pandang. Jesslyn, di sisi lain, tertegun.
“Tian!” serunya cepat. “Lo nggak bisa semaunya gitu. Gue gak pernah minta lo—”
“Lo gak minta,” potong Christian tajam, tapi matanya tak berpaling dari Jesslyn. “Tapi gue tahu lo butuh. Gue gak mau ada alasan lagi yang bikin lo ngerasa gak nyaman sama gue.”
Jesslyn menggertakkan gigi. Rasanya ingin sekali membalas, ingin menegaskan kalau laki-laki itu terlalu mendominasi, terlalu lancang mengambil keputusan. Tapi… ada sesuatu di suaranya barusan. Ada ketulusan yang bikin kata-kata Jesslyn tercekat di tenggorokannya.
“Lo pikir masalah gue cuma mobil?” tanyanya lebih pelan, seolah takut orang lain mendengar.
Christian tersenyum tipis, hampir seperti ejekan, tapi tatapannya dalam. “Nggak. Gue tahu masalah lo itu gue. Masalah lo itu Hanna. Dan semua hal yang pernah gue biarin salah. Tapi sekarang, Jess… gue lagi nyoba benerin satu per satu.”
Jesslyn menunduk, menatap meja kerja seakan butuh pegangan. Ia bisa merasakan wajahnya panas. Gila, kenapa laki-laki ini selalu berhasil bikin pertahanannya goyah? Padahal ia ingin tetap galak, ingin tetap menjaga jarak.
“Tian…” suaranya bergetar, bukan karena marah, tapi karena bingung. “Lo bikin semuanya makin ribet. Gue udah cukup pusing sama kerjaan, sama gosip kantor, sama—”
Christian melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Ia menunduk sedikit, cukup agar suara beratnya hanya terdengar untuk Jesslyn.
“Justru itu, gue ada di sini biar lo nggak ribet sendirian.”
Kalimat itu sederhana. Tapi bagi Jesslyn, rasanya seperti hantaman pelan di dadanya. Ia ingin sekali menolak, ingin sekali bilang kalau Christian cuma mempermainkan perasaan. Namun, tatapan serius itu—tatapan yang sama seperti dulu waktu mereka masih SMA—membuat semua pembelaan hancur begitu saja.
“Lo… lo nggak bisa bikin gue percaya lagi cuma dengan mobil baru, Tian,” ucap Jesslyn akhirnya, dengan nada lemah yang jarang sekali keluar dari bibirnya.
Christian tidak membantah. Ia hanya mengangguk kecil, seolah paham betul kalau jalan menuju hatinya memang tak bisa ditempuh dengan cara instan.
“Gue nggak minta lo percaya sekarang,” katanya lembut, tapi tegas. “Gue cuma minta lo lihat… setiap hal kecil yang gue lakuin, semuanya cuma buat lo.”
Jesslyn menghela napas panjang, menutup matanya sebentar. Sial. Bukannya lega, hatinya justru makin berat. Tapi dalam diam, ia tahu ada secuil bagian dari dirinya yang perlahan menyerah.
****