2. Berlibur

1503 Words
"Agatha, ayo kita berangkat. Mengapa kau hanya diam saja." Agatha hampir me jatuhkan cermin nya karena Hana yang mengagetkannya. Dia berbalik, ingin melihat penguntit itu secara langsung. Namun, tempat keberadaan penguntit tadi sudah kosong. Dia sudah pergi entah kemana. Pikiran buruk memasuki otak Agatha. Dapat dipastikan bahwa saat ini dia sedang diincar oleh seseorang. "Malah melamun. Ayo Agatha, ini sudah ramai." Wajah Hana terlihat sangat kesal, bagaimana tidak sudah sedari tadi dia menunggu Agatha dan wanita itu masih asik dengan dunia nya sendiri. Grace dan Ara sudah pergi terlebih dahulu, mereka akan membeli minuman untuk menemani perjalanan mereka. Hana langsung menarik tangan Agatha. Dia sangat tak menyukai buang-buang waktu, mereka sudah sangat telat, dapat dipastikan Ara dan Grace pasti sedang menunggui saat ini. "Ada apa denganmu tadi? Tak biasanya kamu melamun seperti itu." Agatha merasa ragu untuk bercerita. Dia masih belum sepenuhnya yakin tentang orang itu. Bisa saja ini hanya kebetulan semata, bukan karena pria itu mengikutinya. "Jika ada seseorang yang mengikuti dirimu, apa yang kau lakukan?" "Aku akan menghubungi pihak berwajib. Aku yakin orang itu sangat tergila-gila denganku dan pastinya jauh lebih berbahaya." Hana melihat kapal Ferry yang mendekati daratan. "Cepat. Kita akan tertinggal kapal nantinya." Hana menarik tangan Agatha dengan kencang lalu berlari menuju kapal Ferry. Mereka harus mengantri untuk memasuki kapal Ferry. Bermenit-menit mengantri, akhirnya mereka dapat memasuki kapal. Hana melihat gadget nya, dimana Grace yang menunjukkan keberadaan mereka. "Itu mereka." Agatha menunjuk pada Grace dan Ara yang memakai masker untuk menutupi wajah mereka, agar orang-orang yang ada disini tak ada yang mengenali mereka. "Kalian lama sekali." "Ini Agatha, pakai melamun segala tadi." Agatha memicingkan matanya tak suka. Padahal dia memang salah karena telah melamun memikirkan seseorang penguntit. Agatha terdiam. Dia tak ingin menuntaskan keinginannya untuk memasang foto lagi di media sosial. Agatha jadi takut jika yang ada didalam pikirannya adalah sebuah kebenaran. Agatha tak ingin di ikuti terus oleh orang asing. Apa memang salahnya yang terlalu terbuka pada media sosial? Mungkin saja. Agatha bukanlah orang biasa, dia penyanyi besar. Pasti ada saja orang yang menyukainya dan ingin mendapatinya atau orang yang membencinya dan ingin menghancurkannya. Agatha merasa sangat bodoh. Harusnya dia mendengarkan ucapan Grace dan lainnya untuk membatasi bermain media sosial, jika sudah seperti ini, Agatha tak tahu harus melakukan apa. "Tumben kamu tak mengambil foto yang indah lalu memasukkan dalam media sosial." Grace terkekeh pelan melihat Agatha yang seperti seorang wanita pendiam, padahal sebelumnya Agatha termasuk wanita aktif dan tak bisa diam. "Aku malas, Grace. Lebih baik kau ikut mereka berfoto saja sana!" Agatha mengusir Grace. Dia sangat tak nyaman melihat tatapan Grace yang geli padanya. Memang ada uang salah darinya? Padahal kemarin saja dia ingin mengambil foto sebanyaknya, justru diceramahi oleh mereka dan sekarang mereka justru keheranan padanya yang diam. "Sepertinya kau ada masalah. Lebih baik lupakan dulu masalahmu, hari ini kita harus bersenang-senang. Ingat Agatha jangan menyia-nyiakan waktu." Sebenarnya Agatha juga ingin menikmati hari ini, dimana mereka akan berlibur. Namun, pikiran Agatha tak berhenti, seperti berusaha memerintahkannya untuk terus memikirkan masalah yang terjadi dengan mereka. "Hari ini akan sangat langka untuk beberapa waktu ke depan. Ayo." Agatha hanya pasrah disaat dirinya ditarik, menuju geladak kapal. Menikmati angin yang berhembus kencang dan dobrakan ombak pada kapal. Perlahan, Agatha mulai nyaman dan tak memikirkan masalahnya lagi. Di geladak kapal ini membuatnya sangat tenang, dibanding di dalam kapal. Di dalam kapal terdapat banyak pertunjukkan berakrobat dan berilah tubuh yang membuat keadaan sangat ramai. Sedangkan di geladak hanya ada beberapa orang saja yang ingin menikmati angin dan hamparan laut atau mengambil foto. Perjalanan menyebrangi pulau ini mungkin hanya menghabiskan lima belas menit saja. Kapal Ferry telah mendekati bibir laut. Agatha bersiap-siap untuk keluar dari kapal ini. Dia memegang tangan Ara, dia takut tersesat dan diculik oleh penguntit tersebut. Karena keadaan yang sangat ramai, membuat kondisi tak terkendali. Ada saja orang-orang yang melanggar peraturan dengan menerobos antrean yang membuat keadaan terdesak, terjadinya dorong-dorongan membuat Agatha harus menahan sabar. Dia semakin kuat menggenggam tangan Ara, agar tak terpisah. Ara berjalan cepat keluar dari kapal, napasnya berhembus lega karena telah keluar. "Huh, ada saja orang yang melanggar peraturan." Agatha mengangguk, dia membenarkan rambutnya yang berantakan. Masker yang menutupi wajahnya, Agatha turunkan sampai dagu, dia ingin mengambil napas sebanyaknya. Tak peduli jika ada orang-orang yang memergokinya, intinya saat ini Agatha merasa sesak. "Ayo kita nikmati pulau ini." Grace dan Hana juga tampak berantakan karena kejadian tadi. Grace memberikan masing-masing dari kami minuman yang dibelinya tadi. Mereka duduk sejenak, menikmati minuman soda yang memasuki tenggorokan dan mendarat di lambung. Segar rasanya, cuaca yang panas ini meminum minuman soda. Setelah selesai, mereka langsung berjalan, mengelilingi patung yang dirancang oleh Fredeic Bartholdi ini. Patung wanita yang satu tangannya memegang obor dan tangan lainnya memegang buku ini adalah sebuah Landmark Amerika yang menjadi kunjungan utama para pelancong, termasuk Agatha. Pada bagian bawah patung ini terdapat sebuah bangunan yang berarsitektur banteng, didalamnya juga terdapat fasilitas museum dan lift untuk ke puncak patung. Mereka menghabiskan waktu siang hanya untuk menjelajah patung ini, dimana ada sejarah di dalamnya yang mereka pelajari. Tak terasa waktu berjalan cepat, mereka telah menghabiskan waktu seharian berjalan-jalan kota New York. Mereka telah mengunjungi Battery Park untuk melihat matahari tenggelam dengan menghadap patung Liberty. Mereka juga telah mengunjungi gedung The Egg pada malam harinya. Mereka bukan hanya berlibur saja. Terkadang, sebuah ide menghampiri mereka dan saat itu mereka akan mencatat ide pada gadget masing-masing. Biasanya ide-ide itu akan mereka tuangkan dalam sebuah lagu. ••• Keesokkan paginya, mereka mulai membenahi pakaian masing-maing. Menaruh pada koper dan menunggu Brian datang. Mereka akan kembali ke London, dimana tempat mereka berada. Mobil yang kemarin mereka pakai hanya sewaan semata, bukan mobil milik mereka. Agatha membuka tas nya yang kemarin dibawa. Dia ingin mengambil cermin besar kesayangannya. Cermin yang kemarin memantulkan bayangan sang penguntit. Jika saja kemarin Agatha menggunakan gadget saat berkaca, pasti dai memiliki waktu untuk mengambil gambar pria itu. Disaat tangannya berhasil mengambil cermin, Agatha merasakan sebuah kertas yang menyentuh kulitnya. Dia mengerutkan dahinya bingung, selama ini dia tak pernah menaruh sembarangan kertas ke dalam tas. Jika ada kertas penting, maka yang akan ia lakukan adalah menaruh kertas tersebut masuk ke dalam dompet khusus. Agatha menaruh cermin yang diambilnya di atas kursi. Tangannya masuk lagi ke dalam tas, mengambil kertas itu. Bewarna putih dan terdapat bercak merah pada kertas tersebut. Agatha membuka kertas tersebut, melihat sebuah tulisan yang sangat buruk. "I found you." Warna merah seperti darah. Agatha mendekatkan kertas tersebut ke hidungnya, mencium bau anyir yang membuat Agatha ingin muntah. "Siapa yang memasuki ini?" pikiran Agatha bertanya. Tangannya gemetar, keberadaannya yang duduk di pojok ruangan membuat ketiga temannya tak mengetahui dengan apa yang Agatha lakukan. Ini benar-benar sebuah teror. Agatha tak akan membiarkan ini. Dia harus mencari siapa sang peneror yang telah menghantuinya. Agatha sangat menyesal tak mengikuti ucapan Grace untuk tidak terbuka di dunia maya, dan lihatlah saat ini dirinya mendapatkan karma. Dia sedang diteror seperti di film-film yang sangat mengerikan. Apa nantinya dia akan di bunuh juga? Agatha tak ingin mati. Dia masih ingin menikmatinya hidupnya ini. Agatha langsung menyimpan kertas itu lagi. Dia tak mungkin menghilangkan bukti yang didapatkannya. Agatha yakin, kertas ini nantinya pasti akan berguna. Dia langsung membawa kopernya, pasti Brian telah datang. Ketiga temannya juga sedang bersiap-siap untuk keluar dari apartemen ini. "Kita akan kembali ke London lagi," ucap Ara dengan lesunya. Wanita yang lahir di Korea selatan dan memiliki darah Korea itu memang sangat menyukai liburan. Dia seringkali mengeluh kepada member Smart yang lain tentang jadwal mereka yang sangat padat, membuat mereka tak dapat berlibur lebih lama. "Tak apa. Kamu nanti akan terbiasa lagi dengan jadwal kita." Agatha mengangguk mendengar ucapan Hana, wanita yang memiliki darah Jepang itu memang sangat pintar menenangkan seseorang Mereka telah sampai di depan gedung apartemen. Melihat Brian yang tengah bersandar di mobil dengan headset di telinganya. Seakan sadar dengan keberadaan keempat wanita cantik, Brian langsung mengangkat kepalanya, menengok pada member Smart. Dia langsung membantu Agatha dan Grace terlebih dahulu untuk membawa koper dan salah seorang supir juga ikut membantu membawakan koper Ara dan Hana. Mereka memakai mobil secara terpisah. Dimana Agatha bersama dengan Hana dan Grace bersama dengan Ara dan Brian. Agatha memasuki mobilnya. Dia sedikit merasa lega, dia akan meninggalkan kota ini dan pastinya penguntit itu tak lagi mengikutinya. Agatha merasa sangat lega akan hal itu, dia akan menjalani kehidupannya seperti awal, bekerja di dunia hiburan. Dia menyenderkan bahunya pada pintu mobil. Melihat ke arah luar, tanpa sengaja Agatha melirik ke kaca spion, dia memicingkan matanya, melihat lagi seorang yang memakai penutup wajah dan juga pakaian hitam. Jelas itu orang yang kemarin selalu mengikuti Agatha. Apakah dia masih ingin mengikuti Agatha ke London juga? Tidak mungkin. Agatha yakin orang itu hanya terobsesi padanya untuk sementara waktu saja, tidak untuk selama-lamanya. Agatha menutup matanya, dia ingin tidur. Di lain sisi, pria itu menelpon seseorang. "Dia akan kembali," ucap pria itu. "Lusa. Sebarkan rumor itu." "Baiklah." Pria itu menutup teleponnya. Dia menyeringai, menatap sebuah mobil yang sudah pergi jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD