BAB 1 Keturunan Terakhir

1363 Words
Seorang nenek berjalan menysuri hutan. Dengan tubuh membungkuk sambil memegang tongkat dan tangan satunya lagi memegang kantong pelastik. Langkahnya terhenti menatap sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Rumah yang tak layak lagi dipakai, namun sang pemilik rumah masih betah untuk tinggal di sana. Nenek itu melangkahkan kakinya mendekati seorang gadis kecil yang bermain dengan binatang. Nenek itu tersenyum menatap kelakuan gadis kecil itu. Ingatannya kembali saat pertama kali bertemu dengan gadis kecil itu lima tahun lalu. Ia dibuang ke hutan oleh orang tuanya sendiri tampa membawa apapun. Nenek itu bertemu gadis kecil yang berusaha memanjat pohon buah, dengan pakaian lusuh dan kelaparan. Saat itu jugalah nenek itu membawanya kerumah kecilnya yang ada di tengah hutan. Hari demi hari mereka tinggal bersama dan pada akhirnya nenek itu menyadari bahwa gadis yang ia temukan tampa sengaja memiliki takdir yang sangat menyeramkan. “Keturunan terakhir,” lirihnya menatap sendu gadis kecil yang telah memiliki takdir yang tak bisa ia hindari. “Nenek, kau sudah pulang?” ujar gadis kedis kecil itu. Ia berlari kecil menghampiri nenek yang telah ia anggap keluarganya sendiri. “Ini aku bawakan makan.” Nenek itu memberikan nasi bungkus yang ia bawah. “Kenapa hanya satu?” “Aku sudah makan.” “Nenek pasti bohong, ayo kita makan bersama. Nasi bungkus ini bisa di bagi dua.” Gadis kecil itu menuntun sang nenek menuju ruang makan. Dengan beralaskan daun yang di jadikan sebagai piring ia membagi dua nasi bungkus itu. Sang nenek tersenyum menatap kelakuan gadis kecil itu. Mereka berdua makan dengan nikmat dan sesekali bercanda ria. Sang nenek terbatuk membuat gadis kecil itu mencemaskannya. “Nenek sakit? Jangan sakit yah, aku tak punya siapapun selain nenek.” Gadis kecil itu memeluk sang nenek dengan mata berkaca-kaca. Ia tak bisa membayangkan kalau nenek itu pergi, siapa yang akan menjaga dan merawatnya. Malam harinya sang nenek menidurkan gadis kecil itu, saat merasa gadis kecil itu telah tertidur pulas. Ia mematikan lampu dian yang ada di sampingnya. Lampu yang membakar sumbu dengan bagian bawahnya tercelup minyak tanah. Sehingga api kecil bisa bertahan di atas sumbu. Setelah lampu dian dimatikan, dengan pelan-pelan nenek itu keluar dari rumah kayu kecilnya. Sang nenek tua berjalan menyusuri sebuah hutan belantara dengan membawa sekop. Ia berhenti di sebuah gundukan tanah. “Haruskah aku meminta pertolongannya? Aku sudah hidup berabad-abad dan hidupku tak lama lagi. Aku tak bisa lagi menjaga keturunan terakhirmu. Maka dari itu aku kesini memberitahukanmu bahwa aku akan meminta pertolongannya.” Nenek itu berlutut pada gundukan yang merupakan makam sahabatnya yang telah meninggal. “Maafkan aku, hanya ini jalan satu-satunya yang dapat kulakukan untukmu dan keturunan terakhirmu.” Dengan sekop yang ia bawa ia menggali gundukan itu yang didalamnya terdapat peti mati. Ia membuka peti mati itu. Ia menatap sendu mayat sahabatnya yang masih utuh. Sekali lagi nenek itu meminta maaf sebelum mengambil potongan-potongan kecil daging sang sahabat dan memasukkannya dalam kantong pelastik hitam. Setelah itu, ia mengubur peti mati dan membuat gundukan baru. Dengan tubuh membungkuk sambil memegang tongkat ia melangkah untuk menaiki gunung tinggi yang ada di hutan. Saat tiba di atas gunung. Nenek tua itu mengambil kantong pelastik yang ada dalam kantong celananya. Ia menyalakan api. Ia membakar apa yang ada dalam kantong cenalanya tadi. Sepotong daging manusia. Aroma menyengat saat bagian tubuh manusia itu terbakar dan aromanya menyebar di segala arah. *** Seekor naga kini menikmati tidur panjangnya yang damai dalam sebuah gua terpencil. Bunyi tetesan air dalam gua yang lembab tak membuat naga itu bergeming. Ia tetap sibuk dalam tidur damainya yang panjang. Sudah berabad-abad lamanya sejak ia keluar dari goa itu. Saat seorang wanita yang sangat ia cintai masih hidup di dunia. Sayangnya wanita itu telah meninggal berabad-abad tahun yang lalu meninggalkannya seorang diri. Kini ia tak punya alasan untuk keluar dari sarangnya kecuali mencari makan. Naga besar berwarna hitam itu, membolak balikkan tubuhnya saat merasa lelah tertidur. Ia keluar dari goa untuk mencari makan sebelum kembali tidur. Namun saat ia terbang mengitari gunung-gunung yang tinggi. Sebuah aroma familiar mengagetkannya. "Aroma ini. Mirip dengannya." Ia mendarat di sebuah gunung tertinggi. Menatap seorang nenek yang membakar sesuatu. Dengan tubuh besarnya ia menginjak kobaran api yang di buat oleh nenek tersebut untuk menghilangkan api. Saat api telah menghilang. Sepotong daging yang hangus terbakar di temuinya dari kumpulan puin-puin kayu. Ia mengerang marah pada nenek tua yang hanya menatapnya sendu. Ia mengenal nenek tersebut. Seorang penyihir yang merupakan salah satu teman dari wanita yang ia sukai berabad-abad tahun yang lalu. “Apa yang telah kau lakukan?” Naga itu berubah menjadi sosok lelaki yang tampan, dengan kecepatan tinggi kini ia berada di depan nenek tua itu dengan mencekik lehernya. Tak memberikan ampun pada nenek tua yang telah memprovokasinya. “Aku sengaja membakar sebagian tubuh itu untuk memanggilmu.” “Aku membutuhkan sebuah pertolongan darimu,” Lanjut nenek tua itu. “Kau pikir aku akan melakukan apa yang kau mau.” “Kau tak akan bisa menolak.” "Wanita yang kau cintai dulu. Kini memiliki keturunan terakhir. Seorang gadis cantik yang berumur 15 tahun.” “Aku tak ingin berurusan lagi dengan manusia ataupun wanita itu.” “Kau tak akan bisa menolak.” “Tak lama lagi umurnya 18 tahun dan saat itu tiba semua makhluk akan berusaha mengincarnya dan ingin memilikinya.” “Aku ingin kau menjaganya sebagaimana yang telah kau lakukan dulu pada sahabatku.” “Aku tak mau, mengapa bukan kau saja.” “Aku tak bisa menjaganya lebih lama lagi. Umurku tak lama lagi. Hanya kau satu-satunya yang dapat menjaganya.” Lelaki tampan itu melempar sang nenek asal dan kembali berubah naga, meninggalkan nenek tua itu yang terbatuk-batuk. Matahari telah bersinar terang saat sang nenek kembali ke rumah kecilnya. Di sana sang gadis kecil telah menunggunya dengan wajah cemas. Saat menyadari kehadiran sang nenek. Gadis kecil itu berlari memeluk tubuh kurus sang nenek. “Nenek ke mana saja? Dari tadi aku cari tapi tak ketemu.” Nenek itu hanya tersenyum dan mengelus rambut sang gadis lembut. *** Dua tahun telah berlalu, kini sang gadis berumur tujuh belas tahun, dan sang nenek semakin hari semakin melemah. Gadis kecil itu dengan sabar merawat neneknya dan tiap hari masuk kehutan lebih dalam untuk mencari makan dan kayu bakar. Gadis kecil itu kini dapat mandiri, ia bisa memasak dan mencuci pakaian. Dengan s**u kambing yang ia pelihara ia turun kekota untuk menjualnnya dan pulang dengan membawa bahan makanan. Setelah memasak makanan, gadis kecil itu menghampiri sang nenek yang terbaring di kasur. Ia menyuapinya dengan hati-hati. “Enak tidak masakanku?” tanya gadis itu, sang nenek hanya tersenyum mengangguk. “Bisakah kau mengambil sebuah kotak yang ada dalam lemari.” Dengan segera sang gadis kecil mengambil kotak besar yang ia tak tahu isinya. Gadis itu sudah lama ingin membuka kotak tapi ia tak bisa membukanya. “Patentibus.” Sebuah matra yang diucapkan sang nenek untuk membuka kotak kayu membuat gadis kecil itu kaget. “Wahh, nenek bisa sihir?” tanyanya polos. “Buku ini aku berikan untukmu, aku harap kau bisa memperlajarinya,” ujar sang nenek sambil memperlihat sebuah buku tebal yang ada dalam kotak kayu. Sang gadis dengan antusias mengambil buku itu, saat membukanya ia menatap sang nenek bingung. “Kenapa tak ada tulisannya?” kata sang gadis. “Saat umurmu delapan belas tahun, saat itu juga kamu akan bisa membacanya.” Gadis kecil itu mengangguk paham. Hatinya berdebar-debar tak sabar mempelajari ilmu sihir. *** Satu bulan telah berlalu sejak sang nenek memberikannya buku sihir. Kini gadis kecil itu telah dewasa dan menjadi wanita yang cantik. Wanita itu menatap gundukan tanah di hadapannya dengan berlinangan air mata. Nenek yang telah menjaganya kini telah tiada. Ia sendirian di hutan. Wanita itu tak tahu apa yang harus ia lakukan. “Apa yang harus aku lakukan? Aku tak punya siapa-siapa lagi. Mengapa kau pergi meninggalkan ku seorang diri?” wanita itu meraung-raung berlinangan air mata. Sudah tiga hari wanita itu berada di gundukan itu tampa makan dan minum, membuat wanita cantik itu semakin kurus dan tak terawat. Tampa wanita itu sadari, seseorang lelaki tampan telah mengawasinya dari atas pohon besar. “Menyusahkan saja.” Batin lelaki itu dan melompat keudara. Saat ia melompat, saat itu juga ia berubah menjadi naga kecil terbang meninggalkan sang gadis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD