2. Perseturuan

1153 Words
Pria itu, Sena, mempersempit jaraknya dengan Alle yang sudah berdiri menghadapnya. “Benar rupanya. Anda... Allesia Manangan.” Ucap Sena, setelah akhirnya sudah bisa mengamati lebih jelas siapa yang kini berhadapan dengannya. Ekspresi wajah Alle benar-benar sudah tidak bersahabat. Apalagi alasannya kalau bukan karena cara bicara pria itu tadi ketika memanggilnya, yang benar-benar membuat kekesalannya terpancing. “Benar, saya Allesia. Kenapa?” Suara Alle datar. Wanita itu berusaha sebisa mungkin untuk tidak menunjukan ekspresi yang signifikan agar apa yang ada di kepalanya tidak terbaca, mempersilakan lawan bicaranya memulai topik apa pun itu agar dia yang berusaha untuk menjelaskan situasinya sendiri, tanpa Alle bantu mempermudahnya. “Ekhm, Anda... tadi...” Lihat? Bagaimana pria itu terlihat kerepotan memilah kata? Kalau saja Alle mempelihatkan reaksi bahwa dirinya tahu apa yang akan pria itu katakan, Alle hanya akan mempermudah pria itu menuju inti pembicaraan mereka, kan? “Apa?” Desak Alle dengan kerutan di dahi. Pria itu mengamati Alle sejenak, membalas dengan kerutan serupa sebelum menarik napas dan menghembuskannya pelan hingga sesaat kemudian akhirnya terlihat lebih rileks. “Saya dengar tadi Anda meminta maaf, itu berarti Anda melihat apa yang saya dan dia lakukan.” Mata pria itu berisyarat ke sosok seseorang yang berada di belakangnya, tidak dekat, namun juga tidak terlalu jauh. Yang jelas Alle yakin sosok itu tetap bisa mendengar pembicaraan mereka. “Hm, lantas?” “Lantas?” Nada suara Sena lumayan naik, mendengar Alle yang membalas ucapanya dengan santai. “Ya lalu mau Anda apa? Anda ingin saya bagaimana setelah melihat Anda b******u dengan... seorang laki-laki?” Ucap Alle melirik sosok yang kini terlihat menundukan kepalanya di belakang Sena. Sena yang mendengar ucapan Allesia menggeluarkan hembusan napasnya kasar. Wanita ini... “Anda benar-benar melihatnya rupanya.” Tentu saja. Apa pria ini pikir Alle buta hingga tidak melihat hal yang sejelas itu? Lagi pula salah sendiri mereka melakukan hal seperti itu di tempat terbuka, kan? “Ini nggak seperti yang Anda pikir.” Sambung pria itu lagi, yang memancing tatapan remeh dari Alle karena penjelasan apa pun yang akan pria ini katakan pasti terdengar basi. “Saya serius! Nggak, mari kita duduk dan bicarakan ini baik-baik, saya bisa menjelaskannya sama kamu. Ah, ya. begini lebih baik, memakai “Anda” itu terdengar sangat kaku dan formal sekali, kan?” Rasanya Alle ingin sekali menertawakan kecanggungan sikap pria di hadapannya itu kini, hanya saja Alle merasa tidak ingin membuang-buang tenaganya hanya karena hal itu. “Nggak perlu, itu bukan urusan saya. Kenapa pula Anda harus menjelaskannya pada saya?” Balas Alle acuh. Yang wanita itu inginkan saat ini hanya pergi dari sana. Cepat-cepat pergi dari sana. Masa bodoh dengan apa yang terjadi di antara kedua pria itu. Masa bodoh dengan mereka yang mungkin memang menjalin kasih atau bahkan mungkn lebih dari itu. Masa bodoh, sungguh. Alle sudah sering dengar mengenai berita yang menimpa aktor di hadapannya ini, dari yang baik ataupun yang buruk. Meski Alle tidak secara khusus mendengarnya atau menanti-nantikan berita tentangnya, tapi akan ada saja hari di mana Alle mendengar berita mengenai pria ini dari orang-orang sekelilingnya. Itu kenapa, Alle sungguh tidak seterkejut itu jika mendapati hal semacam ini, karena sebelumnya rumor-rumor semacam ini sudah sering Alle dengar. Yang Alle tidak menyangka, tentu saja karena ternyata itu bukan hanya rumor semata, tapi... kenyataannya memang begitu. “Saya tahu, tapi—” “Saya udah bisa pergi dari sini, kan? Dengan begitu Anda dan dia,” sekali lagi Alle melirik ke arah pria satunya lagi yang berada di belakang Sena, “—bisa dengan bebas melakukan atau melanjutkan apa pun yang sedang kalian lakukan tadi.” Alle sudah membalik tubuhnya hendak pergi, tapi sesuatu melintas di kepalanya dan gatal untuk tidak Alle sampaikan hingga wanita itu memutuskan untuk berbalik dan menyampaikannya sebelum pergi. “Tapi sebaiknya kalian jangan melakukannya di tempat umum, karena kalau aja bukan saya yang melihat—berita ini pasti sudah menyebar kemana-mana. Percayalah. Jadi carilah tempat yang lebih private, hm?” Saran Alle, yang setelah mengatakannya menatap kedua pria itu bergantian kemudian baru berlalu pergi. Alle menghembuskan napasnya kasar, kenapa pula hari ini rasanya dia sial sekali. Sudah harus menghadiri pesta yang seperti ini, dengan kata lain pesta yang tidak Alle sukai meski ini mengenai kesusksesan film yang ia tulis, dan sekarang Alle harus menjadi saksi mata dari skandal seorang aktor besar? Yang bena saja! Apa tidak ada sesuatu yang lebih baik yang bisa Alle lihat?! Sedang sibuk Alle dengan pikirannya sendiri, seseorang tanpa Alle sadari rupanya mengikuti Alle dari belakang, mencengkram pergelangan tangan wanita itu hingga menariknya lumayan kasar dan memojokannya di salah satu tembok café tepat sebelum pintu keluar. “Apaan sih lo?!” Seru Alle, otomatis melupakan panggilan formalnya tadi dengan sosok yang sama. Iya, itu Sena. Masih seorang Bimasena yang sama yang entah dengan alasan apa memperlakukannya hingga sejauh ini. “Minggir, nggak sopan banget sih lo?!” Geram Alle, berusaha mendorong pria itu menjauh yang sialnya sama sekali tidak bergeming dengan gertakan Alle barusan. “Gue bilang lo tadi salah paham, jadi jangan berasumsi yang nggak-nggak dan sok nasehatin gue. Lo nggak punya hak untuk itu!” Sena mengeluarkan suara tegasnya, tatapan tajam penuh peringatan. Jarak di antara mereka berdua benar-benar bisa dikatakan sangat intim, bahkan tanpa Alle sadari lebih intim dari pada apa yang dilihatnya dari pria ini dan pria satunya lagi tadi. Sena benar-benar menghimpitnya di sana, dan entah bisa dikatakan beruntung atau tidak, café yang disewa ini cukup sepi pada bagian itu karena hampir semuanya berkumpul di bagian lebih dalam café yang lebih tertutup. Ah, haruskah Alle menganggap hal ini juga bagian dari kesialannya? Karena kalau ada yang lain di sana Alle sudah jelas bisa meminta pertolongan, tapi sebaliknya juga, situasi ini juga bisa menjadi busur panah yang berbalik padanya dan menjadikannya tumbal dari skandal baru mengenai aktor ini. Maka pilihan terbaiknya bukankah menyelesaikan ini baik-baik? Tanpa perlu mengundang keramaian? “Gue ngerti. Gue paham, oke? Jadi bisa lepasin gue dan menjauh dari gue sekarang? Gue mau pulang!” “Lo nggak bermaksud jual cerita ini sama media, kan? Nggak akan menyebarin apa yang lo lihat dan merangkai cerita bohong soal ini?” C-cerita bohong? Apa pria ini benar-benar menganggapnya bodoh atau apa? Sudah jelas apa yang Alle lihat tadi, masih saja Sena menganggap bahwa Alle bisa mempercayai ucapannya bahwa Alle salah paham? Well, tapi karena Alle tidak ingin memperpanjang masalah dan memang benar-benar ingin segera pulang dan tidur di kasur kesayangannya. Jadi mari turuti saja keinginan pria ini agar Alle bisa lekas pergi. “Gue salah paham dengan apa yang gue lihat. Gue nggak akan bicarain ini dengan siapapun, dan gimana kalau gue bilang gue juga nggak lihat apa pun tadi. Selesai, kan? Gue udah bisa pergi, kan?” Bukannya merasa lega karena mendengar pernyataan itu dari Alle, raut wajah Sena justru terlihat tidak senang. Pria itu seperti mendengar sebuah ejekkan dari Alle yang meremehkan kekhawatirannya, tapi ia juga tidak tahu sebenarnya respon macam apa yang dirinya harapkan dari hal ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD