“Lo apa-apaan sih bawa orang-orang itu ke sini? Pake kamera pula!” Bisik Alle di dalam selimutnya, begitu Sena menyelipkan kepalanya masuk ke dalam sana. “Nanya? Lo masih nanya? Tanya itu ke diri lo sendiri! Siapa yang bikin gue harus ngelakuin hal sejauh ini?” Geram Sena balik, menatap Alle yang kini benar-benar berada di depan matanya. Dan itu bukan Alle yang sedang terlelap lagi, tapi Alle yang juga melempar tatapan lurus ke arahnya. Jarak mereka hanya di pisahkan oleh ujung hidung keduanya, yang mana itu berarti benar-benar dekat. Tapi bukannya ada sesuatu romantis atau kecanggungan yang bisa saja dua orang rasakan jika hal itu terjadi pada orang lain, Alle dan Sena justru sama sekali tidak merasakannya, yang ada? Yang ada justru perasaan dongkol pada satu sama lain. “Apa maksud lo?

